Sisterzone

Sisterzone

Dua Saudara

Jalan di gang kecil itu berdebu.

Alia menatap ke bawah, pada langkah kecilnya yang berbalut sepatu lusuh. Sesekali ia menendang debu, menyebabkan celana panjangnya ikut kotor.

Matahari musim kemarau masih menyengat walau hari sudah menjelang sore. Alia menyeka peluh dan menyingkirkan anak rambut di dahinya. Sesekali ia memperbaiki tasnya yang diselempangkan di salah satu pundak.

Alia mendongakkan kepalanya saat mendengar suara ramai di kelokan gang. Ia sempat dilanda ragu sejenak sebelum memutuskan untuk tetap berjalan. Jalan gang itu melebar dan disisi tembok perumahan kosong, terdapat kursi kayu panjang yang diisi beberapa pria.

Tanpa merubah ekspresinya, Alia berjalan tanpa menoleh atau melirik sekalipun. Rombongan pria setengah mabuk itu bisa menyebabkan masalah baginya, jadi ia mempercepat langkah. Baru beberapa langkah, Alia mengetatkan bibir saat seorang pria dari rombongan itu bersuara

"Hei cantik! Mengapa terburu-buru? Ayo temani kami disini. Ada barang enak disini, kau pasti suka."

Alia tidak menghiraukannya dan semakin mempercepat kakinya.

"Sialan! Beraninya j****g ini mengabaikanku."

Sebuah tangan menyambar lengan mungil Alia. Ia menoleh cepat dan mengangkat tangannya tinggi. Pria yang tadi memanggilnya mengangkat alis terkejut. Setahunya, wanita yang terjebak dalam situasi seperti ini akan memasang raut wajah takut dan memelas. Ekspresi itulah bagian paling menyenangkan untuk dinikmati.

Tapi tatapan Alia tidak menyiratkan rasa takut sama sekali. Alis tebalnya yang turun dengan tajam mengubah wajah dinginnya menjadi garang. Alia menyentakkan lengan dan tanpa kesulitan membebaskannya dari cengkeraman pria itu.

"Dasar gila. Apa yang ingin kau lakukan?!" seru Alia.

"Apa kau sedang berpura-pura berani? Dengar, kau bisa berpikir kalau dengan cara itu, aku tidak jadi membawamu merapat. Tapi itu tidak bergun- HEII!"

Alia yang langsung berbalik tanpa menunggu kalimat itu diselesaikan kembali ditahan. Kali ini pria itu mencengkram bahu Alia dengan kuat. Bahu kecil itu seakan bisa remuk kapan saja. Pria itu tidak main-main sekarang.

Tapi Alia juga tidak berminat untuk bermain-main.

Alia segera berbalik dan menendang benda diantara kedua paha pria itu sekuat tenaganya. "Sekali-kali kau harus mengerti rasa tendangan penghancur masa depan itu."

Pria itu tak ayal segera berguling di tanah sambil mengerang dan mengumpat. Kedua tangannya rapat memegang selangkangannya. Rekan rombongannya yang baru menyadari saat temannya mulai berteriak-teriak, segera berdiri dan mendekat.

Alia tidak harus menunggu masalah menjadi lebih besar. Dengan segera, ia lari sekuat tenaganya setelah melepas sepatu lusuh yang sebenarnya kebesaran itu.

"Kejar wanita itu! Kita buat mampus dia malam ini!" Pria yang terbaring di tanah memerintah teman-temannya. Segera rombongan yang berisi lima orang pria itu mengejar dengan kekuatan penuh.

Alia yang sudah lama berlari tetap tidak bisa dibandingkan dengan pria-pria itu. Hanya dalam hitungan detik ia hampir tersusul. Alia paham kalau menuju rumahnya hanya akan membawa bahaya lebih lanjut, jadi ia mengambil jalan lain yang berlawanan arah di persimpangan dan berhenti disana.

Rombongan itu sempat melihat Alia berbelok sehingga tidak khawatir akan kehilangannya. Tapi mereka sama sekali tidak menyangka hal yang mereka temui di depan tepat saat mereka berbelok.

Sebuah balok seukuran lengan menghantam wajah dua pria terdepan. Satu meringis kesakitan sementara satu lagi terbaring pingsan. Saat yang lain masih terkejut, banyak batu beterbangan menuju mereka dan melukai satu orang lagi. Alia berdiri tidak jauh dengan balok ditangan kiri dan batu di tangan kanannya. Ia tersenyum lebar.

"Jangan kira wanita tidak bisa bertindak brutal ya," kekeh Alia sedikit puas. Ia tahu kalau terus berlari tidak akan berguna. Jadi saat ia berhenti, dengan cekatan ia mengumpulkan batu-batu berukuran sedang dan menemukan sebuah balok kayu yang cukup berat. Setelah siap, Alia langsung berdiri di dekat kelokan.

Sekarang, walau ia sudah cukup bergaya, tetap saja mustahil mengalahkan orang-orang ini. "TOLONG!!!" teriaknya keras.

Alia tersenyum lebih lebar. Gang kecil sialan ini memang memiliki sisi perumahan yang kosong, tapi di daerah mereka saat ini, akan cukup dekat dengan beberapa rumah warga dan dengan itu, Alia berharap teriakannya bisa menarik perhatian dan menyelamatkannya dari situasi ini

"Wanita sialan! Kalau kami menangkapmu, kau akan menerima hukuman dan rasa takut yang tidak pernah kau bayangkan seumur hidupmu!" Salah seorang pria yang masih sehat menunjuk kesal.

Alia tidak mendengarkan dan langsung merangsek maju. Ia berniat memberi satu pukulan lagi dengan balok di tangannya, tapi sebelum kena, balok itu sudah ditangkis oleh kawan pria itu. Tanpa ampun segera melempar Alia jatuh diantara debu yang berterbangan.

Telapak tangan Alia terasa perih. Garis-garis merah halus terbentuk di telapaknya. Tapi ia harus mendapat posisi duduk untuk bisa berhadapan dengan dua pria yang masih berdiri itu.

"Kau memukul dua teman kami dengan balok ini, kan? Kalau begitu kau juga akan merasakan hal yang sama dua kali lipat!"

Alia mengangkat tangan untuk menutupi kepala saat balok itu ganti mengayun ke arahnya. Daripada pasrah, Alia jauh lebih kesal karena harus berada di situasi seperti ini.

Kalau saja ia tadi tidak memilih jalan pintas seperti ini, mungkin sekarang ia sudah separuh perjalanan ke rumahnya. Sekarang ia tak tahu bagaimana nasibnya jika balok itu menghantam kepalanya.

Tapi tidak ada yang terjadi.

Menyadari sesuatu, Alia menurunkan tangannya dan mengintip dari sela lengan. Balok yang dinantikannya tidak kunjung datang. Pria tadi juga tidak ada dihadapannya.

"Eh?" Alia menurunkan penuh tangannya dan menatap ke depan.

Hanya satu orang yang berdiri disana, diantara lima orang yang jatuh tak bergerak. Alia menemukan baloknya tadi ada di dekat kakinya.

"Ini hal paling berbahaya yang menimpa Kakak selama dua tahun belakangan."

kepala Alia seketika kaku. Dengan kikuk ia menoleh ke arah remaja laki-laki tinggi yang berdiri disana. Ia sedikit tersentak saat remaja itu menoleh dengan cepat.

Bukan karena hidung tinggi sempurnanya yang membuat Alia mematung. Bukan pula rahang tegas, bibir indah, alis tajam atau mata biru gelapnya yang menyebabkan Alia meringis. Ada hal lain yang membuat Alia tidak berharap penolongnya adalah orang itu.

Remaja itu mendekat dengan langkah besar. Tidak sulit melakukan itu dengan kaki panjangnya. Wajahnya diliputi kemarahan dan hawa dingin yang menusuk. Alia segera memalingkan wajahnya.

"Ayo pulang."

Remaja itu menarik tangan Alia melewati lima pria yang sedang terbaring tidak sadarkan diri. Alia bisa tahu kalau tiga pria yang terluka tetapi masih sadar karena serangannya tadi dibuat sepenuhnya pingsan oleh remaja yang sedang menariknya saat ini. Dua sisanya juga bernasib sama.

Mereka ditumbangkan hanya dalam waktu beberapa detik. Walau tidak melihat, Alia tahu kalau orang-orang itu dilumpuhkan hanya dalam beberapa gerakan saja.

"Pelan, Daniel!" seru Alia kecil.

Daniel Anggara, remaja pria jangkung itu langsung berhenti. Ia menoleh dengan ekspresi datar dan diam sejenak sebelum menunjuk sepatu yang ditenteng Alia. Beruntungnya Alia sempat menyambar barangnya sebelum Daniel menyeretnya tadi.

"Pakai."

Alia melepas tangannya dari cengkeraman Daniel dengan kasar. Ia sedikit tidak terima saat diperintah seseorang yang lebih muda darinya. Ia melempar sepatu ke tanah dan segera memakainya. Alia sedikit berhati-hati karena telapak kanannya yang tadi terluka. Daniel hanya memperhatikan dengan manik biru gelapnya yang setajam elang saat melihat luka itu.

"Sudah." Alia tersenyum setengah hati. Ia sempat memperbaiki ikat rambutnya yang semula berantakan.

Daniel segera mencengkram pergelangan tangan Alia lagi saat wanita itu mencoba berjalan mendahuluinya. Alia yang tidak ingin membuat perkelahian panjang di rumah nanti, hanya diam saja saat dirinya ditarik paksa seperti seorang anak kecil yang habis memecahkan kaca tetangga.

Alia masih bisa tersenyum kecil. Walau bersikap dingin dan acuh tak acuh, Daniel tetap satu-satunya orang yang paling peduli dengannya. Alia bisa merasakan perbedaan dari cara Daniel mencengkram tangannya. Setelah melihat luka tadi, Daniel menarik tangannya dengan lebih lembut dan berjalan dengan kecepatan yang menyamai langkah kecilnya.

"Oh iya, Daniel! Kakak tadi membeli bahan makanan loh. Malam ini kita bisa memakan masakan kesukaanmu itu. Dan juga..." Alia mulai mengoceh untuk memecah hening diantara mereka. Walau sedikit kesal ditarik seperti ini, ia tetap sadar kalau Daniel lebih berhak marah daripada dirinya.

Daniel tidak menunjukkan adanya perubahan wajah sama sekali. Meski begitu, Alia tahu kalau Daniel sedang mendengarkannya dengan cermat. Sikap Daniel yang seperti ini memang makanan sehari-harinya. Walau terkesan tidak peduli, perlakuan seperti ini termasuk hal hangat yang bisa ia lakukan. Biasanya, Daniel akan jauh lebih cuek jika itu bukan Alia.

Daniel juga tidak terganggu dengan ocehan Alia yang tiada henti meski hal buruk baru saja menimpanya. Walau tidak menunjukkannya, Daniel jauh lebih lega jika Alia bisa bersikap normal seperti ini walau hampir melalui hal mengerikan itu. Daniel suka mendengar ocehan-ocehan itu keluar dari bibir mungil Alia. Itu karena ia tahu, Alia bukan orang yang secerewet itu jika berada diantara orang lain, bukan saat mereka hanya berdua seperti ini.

Dua kepribadian saling bertolak belakang itu entah bagaimana bisa berakhir dengan ikatan saudara diantara keduanya.

Ya benar.

Daniel Anggara dan Alia Redalia adalah saudara kandung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!