Jalan di gang kecil itu berdebu.
Alia menatap ke bawah, pada langkah kecilnya yang berbalut sepatu lusuh. Sesekali ia menendang debu, menyebabkan celana panjangnya ikut kotor.
Matahari musim kemarau masih menyengat walau hari sudah menjelang sore. Alia menyeka peluh dan menyingkirkan anak rambut di dahinya. Sesekali ia memperbaiki tasnya yang diselempangkan di salah satu pundak.
Alia mendongakkan kepalanya saat mendengar suara ramai di kelokan gang. Ia sempat dilanda ragu sejenak sebelum memutuskan untuk tetap berjalan. Jalan gang itu melebar dan disisi tembok perumahan kosong, terdapat kursi kayu panjang yang diisi beberapa pria.
Tanpa merubah ekspresinya, Alia berjalan tanpa menoleh atau melirik sekalipun. Rombongan pria setengah mabuk itu bisa menyebabkan masalah baginya, jadi ia mempercepat langkah. Baru beberapa langkah, Alia mengetatkan bibir saat seorang pria dari rombongan itu bersuara
"Hei cantik! Mengapa terburu-buru? Ayo temani kami disini. Ada barang enak disini, kau pasti suka."
Alia tidak menghiraukannya dan semakin mempercepat kakinya.
"Sialan! Beraninya j****g ini mengabaikanku."
Sebuah tangan menyambar lengan mungil Alia. Ia menoleh cepat dan mengangkat tangannya tinggi. Pria yang tadi memanggilnya mengangkat alis terkejut. Setahunya, wanita yang terjebak dalam situasi seperti ini akan memasang raut wajah takut dan memelas. Ekspresi itulah bagian paling menyenangkan untuk dinikmati.
Tapi tatapan Alia tidak menyiratkan rasa takut sama sekali. Alis tebalnya yang turun dengan tajam mengubah wajah dinginnya menjadi garang. Alia menyentakkan lengan dan tanpa kesulitan membebaskannya dari cengkeraman pria itu.
"Dasar gila. Apa yang ingin kau lakukan?!" seru Alia.
"Apa kau sedang berpura-pura berani? Dengar, kau bisa berpikir kalau dengan cara itu, aku tidak jadi membawamu merapat. Tapi itu tidak bergun- HEII!"
Alia yang langsung berbalik tanpa menunggu kalimat itu diselesaikan kembali ditahan. Kali ini pria itu mencengkram bahu Alia dengan kuat. Bahu kecil itu seakan bisa remuk kapan saja. Pria itu tidak main-main sekarang.
Tapi Alia juga tidak berminat untuk bermain-main.
Alia segera berbalik dan menendang benda diantara kedua paha pria itu sekuat tenaganya. "Sekali-kali kau harus mengerti rasa tendangan penghancur masa depan itu."
Pria itu tak ayal segera berguling di tanah sambil mengerang dan mengumpat. Kedua tangannya rapat memegang selangkangannya. Rekan rombongannya yang baru menyadari saat temannya mulai berteriak-teriak, segera berdiri dan mendekat.
Alia tidak harus menunggu masalah menjadi lebih besar. Dengan segera, ia lari sekuat tenaganya setelah melepas sepatu lusuh yang sebenarnya kebesaran itu.
"Kejar wanita itu! Kita buat mampus dia malam ini!" Pria yang terbaring di tanah memerintah teman-temannya. Segera rombongan yang berisi lima orang pria itu mengejar dengan kekuatan penuh.
Alia yang sudah lama berlari tetap tidak bisa dibandingkan dengan pria-pria itu. Hanya dalam hitungan detik ia hampir tersusul. Alia paham kalau menuju rumahnya hanya akan membawa bahaya lebih lanjut, jadi ia mengambil jalan lain yang berlawanan arah di persimpangan dan berhenti disana.
Rombongan itu sempat melihat Alia berbelok sehingga tidak khawatir akan kehilangannya. Tapi mereka sama sekali tidak menyangka hal yang mereka temui di depan tepat saat mereka berbelok.
Sebuah balok seukuran lengan menghantam wajah dua pria terdepan. Satu meringis kesakitan sementara satu lagi terbaring pingsan. Saat yang lain masih terkejut, banyak batu beterbangan menuju mereka dan melukai satu orang lagi. Alia berdiri tidak jauh dengan balok ditangan kiri dan batu di tangan kanannya. Ia tersenyum lebar.
"Jangan kira wanita tidak bisa bertindak brutal ya," kekeh Alia sedikit puas. Ia tahu kalau terus berlari tidak akan berguna. Jadi saat ia berhenti, dengan cekatan ia mengumpulkan batu-batu berukuran sedang dan menemukan sebuah balok kayu yang cukup berat. Setelah siap, Alia langsung berdiri di dekat kelokan.
Sekarang, walau ia sudah cukup bergaya, tetap saja mustahil mengalahkan orang-orang ini. "TOLONG!!!" teriaknya keras.
Alia tersenyum lebih lebar. Gang kecil sialan ini memang memiliki sisi perumahan yang kosong, tapi di daerah mereka saat ini, akan cukup dekat dengan beberapa rumah warga dan dengan itu, Alia berharap teriakannya bisa menarik perhatian dan menyelamatkannya dari situasi ini
"Wanita sialan! Kalau kami menangkapmu, kau akan menerima hukuman dan rasa takut yang tidak pernah kau bayangkan seumur hidupmu!" Salah seorang pria yang masih sehat menunjuk kesal.
Alia tidak mendengarkan dan langsung merangsek maju. Ia berniat memberi satu pukulan lagi dengan balok di tangannya, tapi sebelum kena, balok itu sudah ditangkis oleh kawan pria itu. Tanpa ampun segera melempar Alia jatuh diantara debu yang berterbangan.
Telapak tangan Alia terasa perih. Garis-garis merah halus terbentuk di telapaknya. Tapi ia harus mendapat posisi duduk untuk bisa berhadapan dengan dua pria yang masih berdiri itu.
"Kau memukul dua teman kami dengan balok ini, kan? Kalau begitu kau juga akan merasakan hal yang sama dua kali lipat!"
Alia mengangkat tangan untuk menutupi kepala saat balok itu ganti mengayun ke arahnya. Daripada pasrah, Alia jauh lebih kesal karena harus berada di situasi seperti ini.
Kalau saja ia tadi tidak memilih jalan pintas seperti ini, mungkin sekarang ia sudah separuh perjalanan ke rumahnya. Sekarang ia tak tahu bagaimana nasibnya jika balok itu menghantam kepalanya.
Tapi tidak ada yang terjadi.
Menyadari sesuatu, Alia menurunkan tangannya dan mengintip dari sela lengan. Balok yang dinantikannya tidak kunjung datang. Pria tadi juga tidak ada dihadapannya.
"Eh?" Alia menurunkan penuh tangannya dan menatap ke depan.
Hanya satu orang yang berdiri disana, diantara lima orang yang jatuh tak bergerak. Alia menemukan baloknya tadi ada di dekat kakinya.
"Ini hal paling berbahaya yang menimpa Kakak selama dua tahun belakangan."
kepala Alia seketika kaku. Dengan kikuk ia menoleh ke arah remaja laki-laki tinggi yang berdiri disana. Ia sedikit tersentak saat remaja itu menoleh dengan cepat.
Bukan karena hidung tinggi sempurnanya yang membuat Alia mematung. Bukan pula rahang tegas, bibir indah, alis tajam atau mata biru gelapnya yang menyebabkan Alia meringis. Ada hal lain yang membuat Alia tidak berharap penolongnya adalah orang itu.
Remaja itu mendekat dengan langkah besar. Tidak sulit melakukan itu dengan kaki panjangnya. Wajahnya diliputi kemarahan dan hawa dingin yang menusuk. Alia segera memalingkan wajahnya.
"Ayo pulang."
Remaja itu menarik tangan Alia melewati lima pria yang sedang terbaring tidak sadarkan diri. Alia bisa tahu kalau tiga pria yang terluka tetapi masih sadar karena serangannya tadi dibuat sepenuhnya pingsan oleh remaja yang sedang menariknya saat ini. Dua sisanya juga bernasib sama.
Mereka ditumbangkan hanya dalam waktu beberapa detik. Walau tidak melihat, Alia tahu kalau orang-orang itu dilumpuhkan hanya dalam beberapa gerakan saja.
"Pelan, Daniel!" seru Alia kecil.
Daniel Anggara, remaja pria jangkung itu langsung berhenti. Ia menoleh dengan ekspresi datar dan diam sejenak sebelum menunjuk sepatu yang ditenteng Alia. Beruntungnya Alia sempat menyambar barangnya sebelum Daniel menyeretnya tadi.
"Pakai."
Alia melepas tangannya dari cengkeraman Daniel dengan kasar. Ia sedikit tidak terima saat diperintah seseorang yang lebih muda darinya. Ia melempar sepatu ke tanah dan segera memakainya. Alia sedikit berhati-hati karena telapak kanannya yang tadi terluka. Daniel hanya memperhatikan dengan manik biru gelapnya yang setajam elang saat melihat luka itu.
"Sudah." Alia tersenyum setengah hati. Ia sempat memperbaiki ikat rambutnya yang semula berantakan.
Daniel segera mencengkram pergelangan tangan Alia lagi saat wanita itu mencoba berjalan mendahuluinya. Alia yang tidak ingin membuat perkelahian panjang di rumah nanti, hanya diam saja saat dirinya ditarik paksa seperti seorang anak kecil yang habis memecahkan kaca tetangga.
Alia masih bisa tersenyum kecil. Walau bersikap dingin dan acuh tak acuh, Daniel tetap satu-satunya orang yang paling peduli dengannya. Alia bisa merasakan perbedaan dari cara Daniel mencengkram tangannya. Setelah melihat luka tadi, Daniel menarik tangannya dengan lebih lembut dan berjalan dengan kecepatan yang menyamai langkah kecilnya.
"Oh iya, Daniel! Kakak tadi membeli bahan makanan loh. Malam ini kita bisa memakan masakan kesukaanmu itu. Dan juga..." Alia mulai mengoceh untuk memecah hening diantara mereka. Walau sedikit kesal ditarik seperti ini, ia tetap sadar kalau Daniel lebih berhak marah daripada dirinya.
Daniel tidak menunjukkan adanya perubahan wajah sama sekali. Meski begitu, Alia tahu kalau Daniel sedang mendengarkannya dengan cermat. Sikap Daniel yang seperti ini memang makanan sehari-harinya. Walau terkesan tidak peduli, perlakuan seperti ini termasuk hal hangat yang bisa ia lakukan. Biasanya, Daniel akan jauh lebih cuek jika itu bukan Alia.
Daniel juga tidak terganggu dengan ocehan Alia yang tiada henti meski hal buruk baru saja menimpanya. Walau tidak menunjukkannya, Daniel jauh lebih lega jika Alia bisa bersikap normal seperti ini walau hampir melalui hal mengerikan itu. Daniel suka mendengar ocehan-ocehan itu keluar dari bibir mungil Alia. Itu karena ia tahu, Alia bukan orang yang secerewet itu jika berada diantara orang lain, bukan saat mereka hanya berdua seperti ini.
Dua kepribadian saling bertolak belakang itu entah bagaimana bisa berakhir dengan ikatan saudara diantara keduanya.
Ya benar.
Daniel Anggara dan Alia Redalia adalah saudara kandung.
Daniel menarik Alia hingga tiba di satu rumah yang terletak sedikit jauh dari gang itu. Rumah di daerah ini pada dasarnya hampir tersembunyi. Jarak rumah antara satu dengan yang lainnya juga berjauhan, sementara kondisi rumahnya memiliki satu kesamaan. Terlihat tua dengan kayu usang dan cat yang terkelupas.
"Eh, padahal tadi masih panas. Tapi sekarang sudah mulai gelap. Sepertinya nanti malam akan hujan," celetuk Alia saat menatap langit yang mulai meredup.
"Kakak sebaiknya mandi dulu." Daniel melepas genggamannya. Pandangannya tertuju pada satu titik. Tanpa menunda, Daniel menuju ke titik itu. Ia mengangkat boks kardus disana dan membalik badannya, menatap Alia tanpa berkata apapun.
"Oh, sudah datang? Bawa masuk saja sekalian." Alia yang bisa menerjemahkan arti tatapan Daniel melangkah masuk duluan setelah melepas sepatunya.
Daniel membawa masuk boks itu langsung menuju dapur. Ia membuka kardus itu dan mengeluarkan isinya. Berbagai jenis bahan kebutuhan dapur ada di dalamnya. Teh, gula, minyak, dan barang lainnya. Di bagian paling bawah, Daniel mengangkat karung beras dalam ukuran kecil yang dililit pita berwarna biru gelap.
Daniel melepas pita itu dan memandangnya lama sebelum meletakkan itu ke bahan lainnya. Ia memindahkan beras ke karung yang lebih besar. Setelah itu baru menyusun barang-barang lainnya.
"Daniel! Jangan dibuang!"
Daniel tidak terkejut sama sekali dengan teriakan Alia yang begitu tiba-tiba. Ia bahkan tidak perlu menoleh. Daniel mengangkat pita biru gelap yang hendak diletakkan di keranjang sampah tadi, kembali menaruhnya di meja dapur.
"Aduh, hampir saja. Kakak sudah berulang kali bilang, kan? Pitanya jangan dibuang." Alia bergegas ke tempat Daniel dan meraih pita itu dengan cepat.
"Kakak sudah punya banyak, kan?" Daniel kembali fokus memindahkan gula ke tempatnya.
"Tetap saja! Kakak suka warnanya tau!" seru Alia tidak terima.
Daniel untuk pertama kalinya berbalik. Ia harus menunduk untuk bisa menatap Alia yang hanya setinggi pundaknya. "Itu cuma pita warna biasa. Apa bagusnya warna itu."
Alia melebarkan matanya, langsung menyabet Daniel dengan handuk yang semula bergantung di lehernya. "Kalau kau berkata seperti itu di luar sana, bisa jadi kau langsung terbunuh seketika. Kau bilang apa bagusnya warna ini? Hei lihat dirimu yang punya warna bola mata sama itu. Kau mau tau berapa banyak orang yang memakai lensa demi punya warna mata yang sama denganmu?"
"Kakak suka warna itu karena sama dengan warna mataku?"
Alia menghela napas lelah, mulai memijit kepalanya dan mengalungkan handuk ke lehernya lagi. Memilih untuk tidak menjawab. Ia meletakkan beberapa bahan makanan lain yang dibawanya tadi di dalam tasnya.
"Padahal aku lebih suka warna hitam gelap seperti mata Kakak." Daniel bersandar pada meja dapur, tetapi pandangannya tajam pada dua mata Alia.
Alia yang merasa risih ditatap setajam itu jadi mengerutkan keningnya dan menoleh ke arah lain. Ia tidak berniat melanjutkan pertikaian ini, jadi memilih membalik badan dan melangkah menuju kamar mandi.
"Warna mata ini yang membuatku jadi merasa asing."
Alia berhenti melangkah. Ia menoleh untuk memeriksa ekspresi Daniel.
Jarang sekali bisa menjumpai senyuman Daniel yang sangat langka itu. Tapi siapapun tidak akan ingin melihat senyuman itu sekarang. Itu hanya sudut bibir yang sedikit terangkat dengan mata biru gelap yang menatap kosong ke arahnya.
"Jangan berpikir yang aneh-aneh, Daniel. Kita bicara setelah Kakak selesai mandi. Kau harus memberi penjelasan mengapa bisa ada di luar saat hari libur begini." Alia berusaha mengalihkan perhatian Daniel dari pikirannya lewat tatapan galaknya. Setelah itu ia berbalik dan menuju kamar mandi tanpa menoleh lagi.
Daniel mengembalikan fokusnya, menatap pintu kamar mandi yang ditutup dengan keras oleh Alia. Ia bergegas menyelesaikan pekerjaannya dan langsung pergi ke kamar. Daniel keluar lagi dengan membawa sesuatu di tangannya dan sebuah buku.
Ruang tamu yang kecil tetapi bersih, diisi oleh dua kursi kayu dan sebuah meja di dekat jendela. Tidak ada pemandangan spektakuler dari jendela yang terbuat dari kayu juga itu. Hanya ilalang tinggi yang belum sempat Daniel pangkas akibat kesibukan akhir-akhir ini. Ia meletakkan satu bungkusan yang dibawanya tadi ke atas meja dan mulai duduk membaca bukunya.
Beberapa menit berlalu. Daniel yang teramat fokus dengan bukunya masih tetap menyadari kedatangan Alia ke ruang tamu itu.
"Kau ingin makan sekarang, atau malam nanti?" tanya Alia yang langsung duduk di kursi yang berseberangan dengan Daniel.
Daniel mengangkat kepala. Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Daniel malah menggeser kursinya mendekati Alia. Ia mengambil tangan kanan Alia dan mengocek bungkusan di meja.
"Oh, Kakak bisa sendiri." Alia berniat menarik tangannya, tapi sebelum itu, Daniel sudah menguatkan pegangannya.
"Diam dulu," ujar Daniel santai. Ia membuka tutup petroleum jelly yang sebelumnya ada dalam bungkusan itu.
Mata Alia melebar. "Wah, apa-apaan? Kau membeli ini? Daniel! Uangnya lebih berharga untuk dibelikan jajanan untukmu di luar daripada membeli barang seperti ini!"
"Ini tidak semahal itu."
"Tetap saja! Ini tidak terlalu kita gunakan sehari-hari. Tidak mengenyangkan juga," protes Alia masih tidak terima.
"Kak Alia terlalu ceroboh. Kemarin lusa, Kakak juga hampir memotong jari sendiri. Minggu lalu, hampir membelah kaki. Waktu itu juga-"
"Stop! Stop! Tidak perlu dilanjutkan." Alia mengibaskan tangan dengan wajah memerah malu.
Daniel selesai mengoleskan petroleum jelly itu. Ia lalu mengambil kain kasa dan membalutnya pada luka Alia. Daniel baru melepas tangan Alia setelah selesai. Walau tidak mengubah ekspresi, sorot mata biru gelapnya menunjukkan kepuasan.
"Wah... Rapi sekali. Kalau begini, kau bisa saja jadi dokter atau minimal perawat. Atau apapun itu yang berhubungan dengan kesehatan." Alia mengangkat tangannya yang terlapisi kain kasa dan menatapnya kagum.
"Itu pengetahuan dasar. Semua orang harusnya tau." Daniel melipat kedua tangannya, bersandar di kursi dan menatap Alia prihatin.
"Apa maksud tatapanmu itu?" desis Alia sengit.
"Jangan sampai terkena air. Kain kasanya juga harus rutin diganti." Daniel mengalihkan pembicaraannya.
Alia mendengus. "Yang itu kakak juga tau. Tadi saja setelah dibersihkan, tangan diangkat setinggi ini agar tidak kena sabun." Alia memperagakan caranya mengangkat tangan.
"Susah, kan?"
"Iya tent-"
"Masih mau lewat gang itu lagi?" potong Daniel dingin.
Alia mengatupkan bibirnya, mengalihkan pandangan ke luar jendela. "Oh lihat, malam sepertinya datang lebih cepat. Sekarang saja sudah gelap sekali."
Daniel menghela napas. "Meski buru-buru sekalipun, Kakak tidak seharusnya lewat gang itu."
"Tapi kau tahu sendiri panasnya bagaimana tadi itu. Makanya mendungnya jadi setebal sekarang. Memang akan hujan." Alia berusaha membela diri.
"Gang itu jarang dilewati orang. Tempatnya juga sepi. Seperti kejadian tadi, ada banyak orang yang menyalahgunakan tempat itu untuk bermabuk-mabukan. Kakak belum dengar, kan? Katanya mereka juga pernah melecehkan perempuan disana. Aku peringatkan untuk tidak pernah melewati gang itu lagi. Saat berangkat kerja atau pulangnya. Kalau perlu sampai kapanpun itu. Jangan coba-coba lewat sana." Daniel menatap lurus, tidak menyisakan ruang untuk bermain-main.
Alia terdiam. Ia tidak bisa menatap wajah serius bercampur kemarahan Daniel. Ia sadar betul kesalahannya kali ini. Mengenai hal-hal buruk dari gang itu, Alia sudah tahu semuanya. Tetapi hanya karena dorongan kecil, ia memutuskan memotong jalan lewat tempat itu dan mengabaikan risiko bahayanya. Alia semula berpikir tidak akan ada hal besar yang terjadi di siang hari seperti tadi. Andaikan Daniel tidak datang tepat waktu, ia yakin yang akan didapatnya bukan hanya luka goresan di telapak tangan saja. Itu bahkan bisa merenggut kehormatannya.
Alia bergidik saat menyadari hal terakhir itu. Ia tidak membantah atau berkomentar lebih jauh. Itu memang kecerobohannya.
"Maaf," ujarnya lirih. Alia mendongak dan tersenyum simpul. "Terimakasih juga ya. Untung kau datang tadi."
Daniel tidak bisa mempertahankan kemarahannya lebih jauh setelah melihat senyum lembut Alia. Ia hanya menggeleng pelan dan mengendurkan tatapan tajamnya.
"Tidak akan melewati tempat itu lagi. Oke?"
"Janji!" Alia menyambut semangat.
"Selamanya?"
"Tidak. Sampai tempat itu aman," jawab Alia dengan senyum tak mau kalah.
Daniel menghela napas, tidak membahas lebih jauh. Ia baru akan bangkit saat menyadari raut muka Alia yang berubah.
"Oh, Daniel. Ngomong-ngomong, bagaimana bisa kau kebetulan lewat tempat itu juga?" Alia bertanya sambil melotot. Senyum lembutnya menjadi seringaian kejam.
"Aku ingin memotong jalan. Lewat jalan biasa itu terlalu jauh. Lewat sana, kan lebih cepat," jawab Daniel ringan.
"Curang!" Alia menunjuk tidak terima.
"Tidak curang. Aku punya kemampuan menjaga diri seandainya mereka mau menggangguku. Lagipula mereka takkan tertarik dengan laki-laki. Yang tidak boleh itu Kakak." Daniel menjawab, tidak mau kalah.
"Kalau begitu Kakak akan belajar bela diri juga."
"Itu tidak perlu. Masih berisiko," tolak Daniel mentah-mentah. Ia berdiri dari kursinya dan menyimpun buku serta bungkusan obat-obatannya tadi.
Alia menahan Daniel yang akan pergi. "Ada hal penting yang terlupa juga."
"Apa?"
"Kau bilang ingin memotong jalan. Kau dari luar? Seharian? Tidak ingat apa yang Kakak pesankan padamu?" Alia menunjukkan kemarahan besar.
Daniel melebarkan matanya. Meneguk ludah gugup. Ia ingat seharusnya tidak menyinggung itu. Alia melarangnya keluar rumah di hari libur seperti ini. Itu karena Alia sangat paham apa yang akan dilakukannya di hari begini.
"Ingin memotong jalan biar cepat pulang? Jangan-jangan kau sudah melakukan ini berulang kali setelah tahu jadwal kerja Kakak? Kau lewat gang itu agar Kakak tidak tau kegiatanmu diam-diam selama ini?" Alia bertanya dengan nada tinggi.
Daniel melepaskan tangan dari bungkusan dan bukunya, langsung melesat pergi sebelum Alia lanjut menahan dan menginterogasinya.
"Daniel!" teriak Alia.
"Aku akan mandi." Suara jawaban Daniel terdengar kecil.
Alia memijit kepalanya yang sudah setengah kering. "Bagaimana cara menjelaskan padanya kalau itu juga sangat berbahaya ya?"
Alia menyusuri jalanan gelap di depannya dengan bantuan senter dan remang-remang cahaya rembulan. Ia baru saja pulang dari tempat kerjanya. Kali ini ia tidak melewati jalan pintas gang berbahaya seperti yang ia lakukan beberapa minggu yang lalu. Sudah cukup harga dirinya sebagai seorang kakak tersakiti saat dimarahi oleh adiknya sendiri. Lagipula, jika siang hari saja dirinya masih bisa diganggu, maka lewat tempat itu lagi di malam hari begini sama saja sedang mengantar nyawanya sendiri. Ia juga yakin tidak akan ada bantuan tak disangka seperti kemunculan Daniel saat itu.
Ini karena Alia sudah melarang Daniel mati-matian agar tidak keluar rumah jika ia belum pulang. Alasannya karena Daniel akan menghadapi ujian sekolah beberapa bulan lagi. Alia tidak akan menjelaskan alasan yang sebenarnya. Untungnya Daniel mau menurut.
"Sedikit lagi sampai rumah. Kira-kira Daniel sudah tidur atau belum ya? Ah biarlah. Nanti juga bisa dibangunkan." Alia mengangkat bungkusan yang mulai berembun karena uap panas dari makanan di dalamnya.
Alia semakin bergegas saat sudah bisa melihat rumahnya dari jauh. Akan tetapi, langkahnya melambat saat ia melihat seseorang berdiri di depan rumahnya. Penerangan redup di depan rumahnya sudah cukup untuknya memperhatikan sosok asing itu.
Alia mematikan senternya, mulai berjalan perlahan. Walau dikatakan terpencil, tetap saja daerah ini sudah mendapatkan listrik walau harus menyambung kesana sini. Beruntung bagian depan rumahnya sudah diberi lampu oleh Daniel beberapa waktu lalu. Alia jadi bisa memperhatikan sosok itu dengan cermat. Dari tinggi badan dan postur tubuhnya, Alia mengasumsikan bahwa sosok itu adalah seorang pria dewasa. Pria itu juga mengenakan setelan hitam dari atas hingga bawah.
Rambut hitamnya ditutupi topi hitam. Wajah pria itu juga mengenakan masker hitam, dan setelan pakaiannya juga berwarna senada. Kalau Alia sedang tidak setegang sekarang, ia pasti sudah bercanda dengan mengatakan kalau pria itu penggemar berat serial ninja. Satu hal yang Alia dapat dari penerangan terbatas itu adalah bekas luka panjang di punggung tangannya.
Jantung Alia berdegup kencang saat melihat pita biru gelap yang digenggam pria itu. Ia mengusap matanya, takut dirinya salah membuat kesimpulan.
Sosok pria itu tiba-tiba berbalik. Pandangannya bertemu dengan Alia. Matanya menunjukkan keterkejutan. Pria itu dengan cepat memasukkan pita ke saku celananya dan lari ke arah yang berlawanan.
Alia mematung sejenak sebelum mulai ikut mengejar.
"Hei! Tunggu!" Alia berteriak saat sudah lebih jauh dari rumah.
Pria itu berlari lebih cepat, meninggalkan Alia jauh di belakang. Alia tidak punya pilihan lain selain berhenti ketika pria itu mengambil jalan masuk gang yang sebelumnya Alia hindari. Ia menjadi ragu untuk melanjutkan pengejaran. Saat itu pula ia menyadari sesuatu.
"Ah, bodohnya aku. Harusnya aku memeriksa kondisi Daniel."
Walau lelah, Alia tetap memaksa diri untuk berlari lagi ke rumahnya. "Daniel!" teriaknya begitu sampai di depan pintu.
Alia semakin panik saat tidak mendengar jawaban dari dalam. Ia melempar sepatunya asal dan mendobrak pintu yang tidak terkunci. Kakinya menjadi lemas saat melihat Daniel sedang berdiri di dapur, menata isi dari dalam boks kardus.
"Kenapa?"
Alia menghela napas lega. Meski begitu, dalam hati ia mengumpat keras. Dirinya begitu panik saat Daniel tidak menjawab panggilannya, tetapi respon remaja itu hanya satu kata bernada datar.
"Kenapa kepalamu! Kau yang kenapa tidak menjawab panggilan Kakak? Mustahil kau tidak mendengar teriakan dari luar," omel Alia.
Daniel mengerutkan dahi. Memang dirinya mendengar teriakan itu. Tapi ia hanya mengira kalau Alia sedang bermain-main saja dengan memanggilnya sekeras tadi. Daniel tiba-tiba menjadi waspada.
"Ada yang mengikuti Kakak?" tanyanya sambil berlalu cepat. Ia sudah berdiri di sebelah Alia. Dari dapur, ia bisa melihat pintu depan yang masih terbuka. Tapi tiada seorangpun di depan.
"Tidak. Bukan itu." Alia menjatuhkan diri dalam posisi duduk. "Tolong tutupkan dulu pintunya."
Daniel menatap Alia yang sedang mengatur napasnya sedikit lama, baru kemudian ia pergi menutup pintu depan sekaligus menguncinya.
"Kakak lari dari apa?" tanya Daniel begitu ia kembali ke dapur.
'Bukan lari dari apa! Pertanyaanmu yang benar itu harusnya, aku lari untuk apa!' batin Alia.
"Hantu. Ya, hantu. Ada yang bilang pernah melihat penampakan di jam segini." Alia menjawab asal. Bisa repot kalau ia memberitahukan hal yang sebenarnya.
Daniel berjongkok di dekatnya dengan membawa segelas air. Wajahnya yang minim ekspresi terlihat tidak percaya sama sekali. Daniel menyerahkan gelas itu sambil menelisik kebohongan dari raut Alia. Setahunya, Alia tidak pernah takut dengan hal mistis yang di luar nalar itu. Bahkan, Alia termasuk yang tidak akan percaya begitu saja dengan rumor gaib yang tersebar.
"Kalau begitu, besok tidak perlu pulang sampai jam segini, kan?" Daniel mengambil kembali gelas kosong yang airnya dihabiskan Alia dalam beberapa teguk.
Alia menyeka bibirnya, tersenyum pahit. "Tadi ada teman Kakak yang minta tolong menggantikan separuh shiftnya. Dia ada urusan penting dan tidak sempat meminta izin ke atasan. Sebagai gantinya, pendapatan miliknya hari ini diberikan pada Kakak lebih dari setengahnya. Dia juga membawakan ini."
Alia mengangkat bungkusan di tangannya.
Alia bekerja di sebuah toserba besar yang buka 24 jam dan berjarak tak begitu jauh dari rumah. Ia hanya perlu naik angkutan umum sekali untuk bisa mencapai tempat bekerjanya itu. Shift kerja Alia harusnya dimulai pagi hingga sore hari. Shift malam biasanya diisi anak-anak kuliah yang sedang magang. Alia hanya membantu setengah dari jam kerja temannya itu yang bertugas di shift malam.
"Padahal besok masih harus berangkat pagi lagi. Harusnya permintaan teman Kakak tadi ditolak saja." Daniel menjawab acuh tak acuh. Ia kembali mengurus boks kardus di atas meja dapur.
"Mau bagaimana lagi? Kita masih harus lebih banyak menabung. Tidak rugi juga membantu teman. Nanti kita akan terbantu juga jika suatu saat mengalami hal serupa," jawab Alia. Meski begitu, ia diam-diam mengakui rasa lelahnya saat ini. Alia memijit pundaknya sendiri dan menonton Daniel dari belakang.
Remaja itu memiliki postur yang bagus. Alia yang mempunyai tinggi rata-rata selalu merasa iri dengan tinggi badan Daniel. Padahal dirinya lebih tua tiga tahun dari Daniel. Ia tidak tahu aktivitas atau latihan apa yang Daniel lakukan untuk mendapatkan badan tegap dan kokoh itu. Alia bisa melihat otot bisep Daniel yang sedikit berkontraksi dengan pergerakan kecilnya.
Alia bersandar pada dinding di samping pintu dapur. Saat Daniel sedang tidak melihatnya seperti ini, Alia akan menunjukkan ekspresi yang selalu ditutupinya selama ini. Wajahnya terlihat sangat lelah dan kesedihan seperti menggantung di wajah manisnya. Ia hanya menyayangkan tubuh Daniel yang sedikit kurus, padahal Alia selalu menyuruhnya untuk makan lebih banyak. Tapi Daniel yang mengerti kondisi mereka tanpa perlu dijelaskan, menjadi seperti orang dewasa dan ikut mengontrol siasat penghematan mereka.
Hal inilah yang membuat Alia kesal dan sedih di saat bersamaan. Ia kesal karena kondisi mereka ini membuat nasihatnya selalu dianggap angin lalu oleh Daniel. Alia sedih karena sebagai kakak, ia belum bisa memberikan hal maksimal untuk mendukung Daniel sepenuhnya. Alia merasa dadanya sesak oleh frustasi.
Saat Alia kembali melirik, baru ia menyadari sesuatu yang membuatnya terkesiap. Alia menata ekspresinya sebelum bertanya dengan nadanya yang biasa. "Oh, sudah diantar ya?"
Daniel menoleh. Mengangkat karung beras kecil. "Aku tidak membuangnya. Kali ini, memang tidak ada pita birunya."
"Ah, itu memang disengaja." Alia tersenyum santai. Padahal jantungnya mulai berdebar. Pita biru tua yang harusnya menghiasi karung beras itu pasti yang tadi ada di tangan pria misterius.
"Oh, dan kali ini boksnya diberikan langsung oleh pengirimnya," tambah Daniel. "kalau Kakak melihatnya pasti sudah mengira orang itu ninja."
Alia merasa jantungnya sedang terancam. Makin lama degupannya makin tidak karuan. "Apa orang itu mengatakan sesuatu?"
Daniel menggeleng. "Setelah memastikan identitasku, dia langsung memberikan boks ini."
"Hanya itu?"
"Memangnya ada apa lagi selain 'itu'?" Daniel menatap setajam analisisnya.
Alia paling khawatir dengan intuisi Daniel yang seperti ini. Kalau begini terus, bisa-bisa semuanya terungkap.
"Siapa tau dia orang yang suka urusan orang lain." Alia mengangkat bahu. Sekali lagi berusaha terlihat santai walau bulir keringat dingin mulai terbentuk di punggungnya.
Daniel masih terlihat curiga. Tetapi memilih untuk tidak melanjutkannya saat menyadari kelelahan yang sedang coba ditutupi Alia. "Kakak sebaiknya segera membersihkan diri lalu lanjut istirahat."
Alia mengangkat alis, lalu tersenyum lebar. Wajah manisnya seperti bunga yang merekah setelah disiram hujan. Teduh dan indah. "Ayo sini. Kita habiskan ini dulu."
Daniel mendekat saat Alia membuka bungkusan itu. Ia mengerutkan kening saat melihat bentuknya yang tidak beraturan. Bisa Daniel tebak kalau Alia benar-benar lari sekuat tenaganya dan melupakan makanan yang dibawanya saat berlari.
"Hadap sana." Daniel menunjuk bagian belakang Alia.
"Tidak. Makan ini saja."
"Hadap sana."
Alia tidak melanjutkan penolakannya. Ia tahu yang akan dilakukan Daniel. Alia akhirnya mengalah dan membalik tubuhnya, membiarkan Daniel yang menggantikan tangannya memijit pundak.
"Buka mulutmu."
Daniel kali ini menurut agar semua cepat selesai dan Alia bisa segera beristirahat. Ia menerima suapan dari Alia dengan cepat.
Keheningan tercipta diantara mereka.
Alia masih cemas tentang pria misterius tadi. Meski begitu, ia tahu bahwa pria itu tidak bermaksud menyakiti Daniel. Pria itu bisa langsung melakukannya sejak awal dan Alia tidak bisa menemukan alasan yang masuk akal andai pria itu sengaja menunda niat buruknya. Kalau begitu, kemungkinan pria itu berkaitan dekat dengan pengirim boks kardus berisi bahan perlengkapan dapur itu.
Selama ini Alia berbohong dan mengatakan kalau boks kardus itu adalah pesanannya. Padahal kedatangan boks itu adalah suatu misteri baginya juga. Kediaman mereka akan kedatangan boks ini setiap setengah bulan sekali. Hal ini konstan dan sudah berlangsung cukup lama. Hanya saja, Daniel baru-baru saja menyadarinya saat ia mulai turun ke dapur. Mustahil bisa menipu ketajaman Daniel selamanya. Daniel bahkan sudah mulai curiga sekarang.
Alia juga mulai menyimpan pita biru itu sejak Daniel mengetahui hal yang ia rahasiakan ini.
Alasan Alia berbohong dari Daniel dan tidak mencoba mencari tahu kebenaran dari pengirim itu adalah pesan dari ibunya sebelum beliau wafat menyusul ayahnya.
"Jika ada yang mengirim sesuatu kemari, terima dan jangan tanyakan asal atau identitas pengirimnya. Kau juga harus merahasiakan ini dari orang lain, bahkan dari Daniel sekalipun."
Hari ini, Alia hampir melanggar itu dengan mengejar pria misterius tadi. Tapi ia sungguh dihajar penasaran. Kelompok atau individu manakah yang begitu berbaik hati memberikan barang seperti ini dengan rutin dan tanpa putus sekalipun? Mengapa harus dirahasiakan?
Namun, setiap kali pertanyaan dan rasa penasarannya membesar, Alia juga selalu mengingat pesan Ibunya yang lain. Hal yang membuatnya menyuruh Daniel untuk tetap di rumah dan mengurangi interaksi di luar.
"Ini hanya ketenangan sebelum badai, sayangku, Al. Kau harus tahu ada banyak hal yang berbahaya di luar sana. Bagi kita, itu tak kasat mata. Tapi bagi Daniel, itu nyata dan sungguh akan terjadi. Lindungi dia. Lindungi adikmu dengan baik ya, sayang?"
Alia tidak berani mencoba membuktikan kebenaran kata-kata itu. Ia takkan mampu menghadap wajah Ibunya kelak jika sampai Daniel terluka karena kecerobohannya.
"Pitanya untuk ikat rambut ya," gumam Daniel saat melihat pita biru gelap yang mengumpulkan rambut legam Alia menjadi satu. "Kakak sungguh suka pita ini."
Alia tidak ingin memicu pertengkaran atau adu sarkas saat ini. Batin dan fisiknya sudah lelah. Ia hanya mengangguk membenarkan. Ia memang suka pita itu. Tapi Alia juga punya alasan sampingan. Ia hanya ingin menunjukkan rasa terimakasihnya pada siapapun yang memberikan barang-barang dalam boks kardus itu dengan menghargai simbolis pita ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!