Alia mulai menyesali keputusannya. Seharusnya ia membiarkan Kevin mengantar hingga rumah. Meskipun terjebak seperti ini, setidaknya ada kemungkinan mereka berhasil meloloskan diri. Dia sendiri tidak yakin bisa melewati beberapa pria di depannya ini.
Penyesalan Alia kembali menumpuk. Situasi ini tak akan pernah terjadi jika ia memilih jalur normal menuju rumahnya. Bukankah dulu ia pernah berjanji tentang hal ini dengan Daniel? Bahwa ia tak akan pernah melewati gang ini lagi.
Berbeda dengan lima tahun lalu, Alia merasa semangat juangnya tak bersisa dan kandas sepenuhnya. Ia sudah cukup kelelahan dengan pekerjaan, ditambah dirinya tidak memiliki kesempatan untuk menerobos.
"Daniel," lirihnya.
Satu hal yang sangat mengganggunya adalah pemuda itu. Adiknya saat ini tak mungkin mengetahui situasi yang kembali terjadi padanya. Alia tak bisa berharap akan diselamatkan oleh Daniel lagi. Itu terlalu mustahil, dan Alia tidak ingin berkhayal sesuatu yang membuatnya gembira untuk kemudian menjatuhkannya dengan sangat keras.
"Kau mencoba memanggil penyelamatmu, heh?" sinis seseorang di belakang Alia yang diikuti oleh tawa beberapa pria. Mereka pasti mendengar gumaman Alia. "Kau boleh coba teriak. Itu tak akan berguna."
"Bos! Kalau dia teriak, polisi disekitar bisa datang lagi," sela seseorang.
Pria yang dipanggil bos itu melebarkan mata panik dan langsung melangkah maju dengan cepat. Ia menyambar salah satu tangan Alia dan mencoba membungkam mulut wanita itu dengan satu tangannya lagi.
Alia bergerak tanpa berpikir. Sentuhan pria itu terasa sangat menjijikkan sehingga alih-alih tubuhnya bergetar karena takut, ia justru merasa sangat kesal. Alia memutar tubuhnya, gerakan yang tidak disangka oleh pria yang merupakan bos kumpulan preman itu. Pria itu tidak siap sehingga ia hanya bisa melihat dua jari Alia yang masih bebas melesat ke matanya.
"Akh! Wanita sialan! Berani-beraninya!" erangnya sambil memegang matanya yang Alia tusuk menggunakan jari.
Alia tidak menghiraukan umpatan itu dan memanfaatkan keterkejutan preman lain untuk membuat celah melarikan diri.
"Kalian yang sialan. Aku sudah ingin menyerah, tapi kalian tiba-tiba menyentuhku. Menjijikan," omelnya saat berhasil melesat pergi. "Aku bahkan tidak sempat menyesalkan diri dengan lebih lama."
Alia memang terlalu lelah untuk berpikir akan berhasil meloloskan diri dengan cara seperti ini. Tetapi semangatnya terpantik oleh kekesalan akibat bos preman tadi. Para preman itu semula mengira Alia hanya wanita lemah. Terlebih saat dirinya sempat menunjukkan ekspresi pasrah. Sebab itu para preman yang tersisa menjadi terkejut oleh pergerakan Alia yang tiba-tiba.
Tubuh Alia yang kecil bisa membuatnya cukup gesit, tetapi ia tetap tidak percaya diri saat para preman yang sudah pulih dari keterkejutannya, mulai mengejar.
"Tolooong!" teriak Alia. Ia sebelumnya menahan diri untuk tidak menyadarkan preman itu, tapi melihat mereka mulai mengejar membuat Alia merasa tidak perlu lagi menunda teriakan.
Seorang pria yang bisa berlari dengan lebih kencang sudah berhasil menyusul Alia. Dengan satu gerakan, ia menangkap tangan Alia dan melemparnya ke samping, pada tembok tinggi besar di depan halaman sebuah pabrik kosong.
Alia terlalu kaget dan menabrak tembok itu tanpa sempat melindungi diri. Ia jatuh terduduk dan memegangi dahinya. Darah segar mengalir dari luka sobekan di dahinya itu. Alia meringis sambil mengusap sedikit darah yang terbendung alis.
"Kalau tidak begitu, kau tak akan jera dan terus melawan. Kalau kau tenang sedikit, kami mungkin bisa ikut melunak dan memberikanmu malam yang memuaskan." Pria itu tertawa kecil dan mulai mendekati Alia.
Alia merinding oleh rasa jijik, apalagi saat pria itu sudah berjongkok di depannya dan mencoba meraih wajah Alia.
Pria itu jelas tidak menyangka Alia masih memiliki tenaga untuk melemparkan pasir ke wajahnya. Alia meringsut pergi dan mencoba kembali berlari.
Namun, matanya melotot saat menyadari lukanya yang berdenyut sakit dan kepalanya yang dihantam pusing hebat. Alia tidak bisa berlari. Berjalanpun ia sempoyongan. Matanya tidak bisa melihat jelas pada pria yang mulai mengelilinginya lagi. Mata kanannya mulai perih karena darah sudah tidak mampu ditampung oleh alis tebalnya.
Tenaga Alia sungguh habis. Bahkan untuk merasakan apapun. Ia tidak melawan saat bos preman itu datang dengan amarah dan mencengkram erat tangan dan lehernya.
Alia kesulitan bernapas. Ia tidak mampu melawan. Perlahan air matanya menitik. Bukan sebab ia takut akan apa yang terjadi selanjutnya, atau karena perasaan putus asa yang seharusnya menghujamnya.
Saat berbahaya seperti ini, Alia justru teringat pada seseorang. Ia menyesal tidak bisa bertemu dengannya lagi. Ia sedih karena jika kabar tentang dirinya setelah ini tersebar, tak akan ada respon baik dari pemuda yang ia pikirkan ini.
"Da-ugh. Daniel-" Alia bergumam di sela kepayahannya.
Kesadaran mulai meninggalkan Alia. Saat ia merasa bisa mati karena kekurangan oksigen, saat itu juga cekikan di lehernya melonggar hingga lepas sama sekali.
"Hei! Cepat bereskan dia. Kau!" teriak bos preman itu dengan panik.
Alia jatuh tersungkur. Oksigen disekitar bagaikan harta paling berharga yang Alia coba ambil sebanyak-banyaknya. Ia terbatuk-batuk dan mencoba membuka mata kirinya. Dalam buram, ia melihat keributan yang tidak dipahaminya. Termasuk saat seorang gadis kecil melangkah ke arahnya dan menatapnya dari atas.
Jangankan untuk mendongak, Menggerakkan tangannya saja sudah sangat sulit. Alia mulai kehilangan suara ribut di sekitarnya. Sakit kepalanya semakin menjadi-jadi dan pilihan terbaik baginya adalah menutup mata dan membiarkan kegelapan mengambil alih dengan cepat.
"Sialan, ucapanku malah tidak didengarkannya. Ya sudahlah." Gadis terakhir yang disebut Alia mengendurkan bahu dan duduk di dekat kepala Alia, menyaksikan preman-preman di depannya jatuh satu persatu lewat mata biru cerahnya.
"Bagaimana sebenarnya cara kerja kepolisian itu? Bisa-bisanya mereka melewatkan orang-orang biadap ini?" Seorang pria yang berdiri diantara tumpukan preman itu memperbaiki kacamatanya.
"Riki, kau itu terlalu banyak berkomentar untuk seseorang yang hanya menjatuhkan tiga preman kecil," dengus temannya yang melangkah mendekat. Rambut merah dan matanya yang berwarna kuning keemasan terlihat mencolok di bawah sinar rembulan saat ia melepaskan tudung jaketnya. Jemarinya menunjuk ke belakang, pada seorang pria yang menatap datar dari lokasi yang lebih jauh. "Aku dan Dichey masing-masing melawan enam orang."
Dichey, pria yang dimaksud hanya mengangguk ringan. Terlihat mengikuti percakapan, padahal ia tak mengerti sama sekali.
"Meskipun begitu, kau tetap lebih berguna daripada Carla yang hanya duduk disana." Pria berambut merah itu melirik gadis kecil disebelah Alia.
"Berisik, Aslan. Kalau tidak ada larangan untuk membunuh mereka, sudah kutembak kepala mereka satu per satu," decak gadis yang dipanggil Carla itu.
Aslan, pria berambut merah itu mengangkat bahu. "Kalau boleh membunuh juga aku sendirian bisa menghadapi teri-teri ini."
Pria berkacamata, Riki, menggelengkan kepala pelan dan melangkah mendekati Alia. Ia berdecak kesal saat Carla lagi-lagi tidak melakukan apa yang menjadi tugasnya.
"Sudah kubilang, kan? Jaga nona ini dengan benar." Riki memperbaiki posisi tubuh Alia dan menopangnya. Dengan hati-hati ia membersihkan debu yang menempel dan menghentikan pendarahan di dahi Alia.
"Aku sudah menjaganya. Dia tidak kenapa-kenapa," elak Carla sambil membuang muka.
Riki menatap Carla dengan tajam. "Kau sadar, kan? Kalau aku melaporkan kelalaianmu ini, dia bisa marah padamu. Nona ini, 'orang miliknya' yang berharga."
Carla terlihat tidak peduli, tapi sebenarnya cukup was-was. Rambutnya pirang platinumnya mengayun pelan saat ia kembali menatap Riki. "Jangan laporkan kalau begitu."
"Kau harus melaporkannya, Riki. Kalau tidak, dia bisa makin tidak bertanggung jawab," tuntut Aslan yang sejak tadi mendengarkan. Ia dan Dichey sudah berjalan mendekat.
Carla melotot tak terima, ia hendak menyangkal lagi tapi merasakan seseorang berjalan dari belakang. Tiga pria di dekatnya justru sudah menyadari lebih dulu.
Seorang pemuda muncul dari kegelapan. Topi yang dikenakannya menahan amarah dingin yang terpancar dari mata biru gelapnya. Tidak ada yang bersuara hingga pemuda itu mendekati Riki.
Tanpa banyak kata, ia mengambil alih tubuh Alia dan mengangkatnya tanpa beban, seakan yang ia bawa hanya ruang kosong. Tidak ada yang menghentikan pemuda itu. Mereka hanya ikut berdiri dan menunggu.
Mata biru gelap pemuda itu menelisik wajah lelah Alia, hingga terfokus pada luka di dahi wanita itu. Ia berdecak pelan dengan ekspresi yang menunjukkan ketidaksukaan. Perlahan ia mengangkat kepalanya dan berjalan pelan melewati empat orang itu.
"Ayo kembali ke Kota Pusat."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments