Keheningan adalah hal paling umum yang dirasakan Rinda selama bertahun-tahun. Terlalu sepi. Terlalu kosong. Jendela kaca di ruangan kerjanya itu berderit pelan oleh ketukan angin. Rembulan malam itu menjadi satu-satunya penerang di ruangan kerjanya yang gelap gulita. Sinarnya yang temaram masuk lewat jendela kacanya yang tidak tertutup.
Keadaan Rinda tidak jauh lebih baik. Ia frustasi lagi, pada tahap yang tidak seburuk lima belas tahun lalu. Namun, tetap ini titik terendahnya sejak beberapa tahun terakhir. Perasaan tertekan ini bahkan tidak bisa disalurkan oleh air mata. Atau bahwa kenyataan yang sebenarnya adalah apa yang ia kenal sebagai air mata, sudah mengering sejak lama. Rinda terlalu lelah.
Tangannya meraih botol kaca kecil di balik laci mejanya yang terbuka. Ia menatap botol itu lama sambil menghela napas. Benda di dalam botol ini bukan hal yang asing baginya lima belas tahun lalu. Tapi efeknya memang sulit untuk dihilangkan. Butuh tahun-tahun berikutnya untuk Rinda bisa benar-benar bersih dari pengaruhnya.
Rinda baru hendak membuka tutup botol itu saat pintu masuk ruangan kerjanya terbanting terbuka. Seseorang yang amat dikenalnya masuk dengan langkah cepat dan langsung merampas botol itu dari tangannya.
"Wilda!"
pranggg
Botol kaca itu sudah tak berbentuk lagi setelah Wilda membantingnya tanpa ampun. Diantara pecahan kaca itu terlihat benda bulat berwarna putih. Wilda yang melihatnya langsung berjalan mendekat dan menginjakkan sepatunya dengan kuat di atas benda itu. Tak peduli pada pecahan kaca yang bisa membuatnya terluka.
"Apa yang kau lakukan?" lirih Rinda.
"Apa yang aku lakukan?!" beo Wilda dengan nada tinggi. "Apa yang kau lakukan!"
Rinda tidak melawan saat Wilda mendekatinya dan mencengkram kerah kemejanya dengan kuat. Ia bisa melihat mata sembab sahabatnya itu.
"Apa ini caramu menyelesaikan masalah, huh? Dengan obat terlarang?!" tanya Wilda, melontarkan kata-kata yang dahulu melekat di jiwanya.
Rinda tertegun. Tahu benar kalau itu adalah kata-kata kepunyaannya yang ia ucapkan pada Wilda dulu. "Aku..."
"Apa aku seburuk itu sampai kau tak pernah mempercayaiku? Apa kau sungguh menganggapku sebagai sahabatmu, hah?!" Kali ini Wilda tak kuasa menahan air matanya. Tetapi daripada kecewa, ia lebih merasa sedih. Tidak ada sahabat yang bisa bersikap biasa saja saat melihat salah satunya sedang dalam keadaan terendah seperti ini.
"Wilda. Ini tidak sesederhana itu-"
"Aku tahu kalau masalahmu begitu berat sampai kau tak pernah bercerita lengkap padaku. Aku paham kau melakukannya agar tidak begitu jauh melibatkanku." Intonasi suara Wilda mulai merendah. "Aku sadar aku bukan sahabat sehebat Kak Astridmu itu."
Rinda meneguk ludah. Ia menangkap tubuh Wilda yang merosot ke bawah. Wanita itu mulai menangis seperti anak kecil dengan suara tangis yang keras.
"Bukan seperti itu. Kau tetap sahabat yang heba-"
"Kalau begitu, biarkan aku terlibat!" rengek Wilda kembali memotong ucapan Rinda.
Rinda tidak langsung berkomentar. permintaan Wilda itu adalah hal yang tidak akan pernah ingin ia lakukan.
Wilda tahu tentang itu. Tapi ia takkan membiarkan Rinda kembali menanggung semuanya sendirian lagi. "Kumohon, Rin. Biarkan aku membalas budimu setidaknya sekali."
Rinda terdiam, lalu mengangguk. Bukan sebab ia setuju, tapi karena ia ingin Wilda lebih tenang dahulu. "Iya. Sekarang kau tenang dulu, Wil."
"Kau bohong." Wilda tidak mungkin tidak menyadari niat Rinda yang sebenarnya.
Ada alasan mengapa Wilda memaksa melakukan semua ini. Bukan hanya dia paham perasaan Rinda, tapi ia memang pernah mengalaminya. Perasaan rendah dan depresi yang begitu kuat. Sampai-sampai hampir terjerumus pada obat-obatan terlarang.
Satu hal yang Wilda tahu adalah Rinda sudah pernah mengalami hal ini sebelumnya. Tapi hal apa yang lebih menyakitkan daripada melihat hubungan persahabatan yang tidak berguna disaat seperti ini? Wilda tidak ingin Rinda mengulang rasa sakit itu disaat ia menjadi sahabatnya. Wilda ingin, menjadi berguna. Ia ingin menyelamatkan seperti dulu ia diselamatkan.
Alasan persahabatan mereka berdua terjalin sebenarnya berasal dari kejadian yang cukup ekstrem.
Wilda mengingatnya sebagai malam paling kelam sekaligus malam paling bersinarnya. Titik terendahnya saat melihat suami yang dicintainya menghabiskan malam berdua dengan adiknya.
Perasaan terbuang, rendah diri, kesal, marah, dan tak berdaya. Wilda larut dalam emosi tak beraturan yang kian hari kian merusak mentalnya. Ia memang memilih bungkam karena rasa cintanya sebesar rasa bencinya. Tapi ia terlalu frustasi untuk menyimpannya sendirian.
"Apa ini caramu menyelesaikan masalah? Dengan obat terlarang?"
Kata-kata itu keluar dari mulut seorang penolongnya. Di satu jembatan sepi yang tiada seorangpun akan melewati. Wilda cukup terkejut melihat seseorang bisa berada disana selain dirinya.
"Bukan urusanmu," jawab Wilda acuh tak acuh.
"Maaf, tapi aku memilih untuk ikut campur dalam urusanmu."
Itu adalah kalimat terakhir sebelum Wilda berteriak dan mengumpati wanita asing itu. Tiada lain sebab obat yang ia beli dengan seluruh tabungan dari profesinya sebagai pekerja kantoran itu direbut dan dibuang dengan entengnya melewati jembatan. Masuk ke dalam sungai yang tenang.
"Mengapa kau tidak langsung lompat saja? Bukankah itu yang kau inginkan setelah selesai mengonsumsi obat itu?" cecarnya dengan kata-kata yang tepat sasaran.
Wilda tertegun. Rambutnya yang panjang saat itu sangat berantakan saat ia tambah mengacaknya dan mulai menangis. Ia takut mati. Ia sungguh takut kematian. Tapi Wilda juga tak sanggup bertahan hidup dengan perasaan tertekan ini.
"Namaku Asmarinda. Aku bisa membantumu." Wanita itu mengulurkan tangannya, tak peduli oleh tangisan Wilda.
"KAU TIDAK TAHU APA-APA! KAU TIDAK MENGERTI APA YANG KURASAKAN!"
Rinda mengangguk, masih bersikap tenang. "Kau benar. Aku tidak tahu apa-apa tentang masalahmu. Tapi aku mengerti apa yang kaurasakan. Aku sudah pernah mengalaminya dan itu sangat buruk. Aku lebih senior dalam penggunaan obat itu. Tapi percayalah, kau tidak akan menyukai hasil akhirnya."
Rinda berlutut di dekat Wilda, tak peduli jika pakaiannya menjadi kotor. "Aku seperti melihat diriku di masa itu dalam sosokmu sekarang ini. Saat itu aku sangat membutuhkan seseorang untuk membantu, tapi nyatanya tidak ada. Aku memang berhasil bangkit, tapi perasaan menyakitkan itu tidak bisa hilang. Setidaknya biarkan aku menjadi orang yang membantu sosokku di masa lalu itu."
Wilda tidak langsung percaya. Tapi Rinda tidak terlihat berbohong. "Bagaimana caramu membantuku?"
Senyuman terbit di bibir Rinda. "Sederhana. Pertama, aku hanya butuh kau menceritakan semua padaku. Lalu kita akan mengurus sisanya dengan lebih mudah."
"Hah? Apa kau bisa dipercaya?"
"Apa kau punya orang lain yang bisa lebih kau percaya?"
Wilda tertohok. Ia dikhianati oleh dua orang yang sangat dipedulikannya. Ia tak punya siapapun untuk dipercaya lagi. Memilih percaya atau tidak pada wanita asing bukanlah taruhan yang buruk disituasinya saat ini.
"Aku akan mencoba."
Rinda tak berkata apapun selain menyunggingkan senyum senang. Ia membantu Wilda berdiri dan membawanya ke mobil yang ia parkir tak jauh dari jembatan itu.
Wilda masih sempat meratapi uang tabungannya yang melayang di jembatan itu dalam bentuk obat. Sedikit menyesali keputusannya.
"Kau mau kemana sampai melewati daerah sepi seperti ini?" tanya Wilda sedikit heran.
Rinda tak langsung menjawab, melainkan hanya tersenyum kikuk. "Aku tersesat. Awalnya aku berniat menanyakan jalan di dekat sini dan menemukanmu di jembatan sana."
Wilda melotot dan hampir muntah darah akibat kesal. Sekarang ia hampir ragu pada keputusannya menerima tawaran Rinda.
Namun, keraguan Wilda tidak bertahan lama. Rinda benar-benar membantunya menyelesaikan semua permasalahan sesuai yang diinginkannya. Ia bercerai dan sebelum itu menyiasatkan sesuatu untuk mempermalukan pasangan menjijikan itu, suami dan adiknya.
Rinda tahu segala hal tentang Wilda. Tapi tidak dengan Wilda. Rinda tak banyak bercerita tentang masa lalunya. Yang Wilda tahu, suami Rinda yang wafat lima belas tahun itu menjadi salah satu penyebab depresinya. Wilda juga tahu kalau Rinda memiliki masalah dengan seseorang dan berusaha bersembunyi darinya. Bukan sembarang orang, melainkan Rafka Alexan. Pemilik kekuatan ekonomi di belakang layar yang paling besar. Mereka yang mengenal Rafka adalah orang-orang yang tahu pengendalian ekonomi sesungguhnya di negara ini.
"Ceritakan semua," todong Wilda.
Rinda merasa lemas. Ia memijit kepalanya yang kembali sakit. Sebelumnya, Wilda tidak pernah memaksa dirinya bercerita seperti ini. Tapi apa yang hendak dilakukannya pasti sudah membuat Wilda sangat kesal.
Rinda tidak punya pilihan selain menceritakan seluruh masalahnya. Jika ia berusaha menutupi sesuatu, Wilda akan dengan cepat menyadarinya dan melotot dengan penuh dedikasi, membuat Rinda tidak bisa berkelit.
Selesai Rinda menceritakan semua, Wilda tidak bisa menutup mulutnya.
"Terkejut, kan? Sebab itu aku tidak ingin ceri-"
"TENTU SAJA AKU TERKEJUT, BODOH! Kau gila menyembunyikan hal-hal penting seperti ini dariku. Teganya kau," geram Wilda sambil menggoyangkan pundak Rinda dengan keras. Membuat empunya semakin sakit kepala. "Setelah ini aku tak akan membiarkanmu di apartemen sendirian. Aku akan mengganggumu sepanjang hari."
Rinda mencoba menarik napas. Udara yang dihirupnya tidak seburuh beberapa saat lalu. Menceritakan masalah pada orang yang dipercaya memang sangat membantu. Rinda memang merasa lega setelah mengungkapkan semua. Tapi ia jadi memiliki kekhawatiran lain mengenai keselamatan Wilda yang membawa informasi sebesar itu. Jadi ia tak berkomentar saat Wilda berencana tinggal sementara di apartemennya.
"Ah, uangku," ratap Rinda dengan suara kecil saat melihat obat putih yang hancur secara brutal oleh Wilda tadi.
"Ah, benar. Akhirnya aku punya kesempatan untuk balas dendam setelah kejadian di jembatan waktu itu." Berbeda dengan Rinda, Wilda justru tertawa bangga.
Rinda hanya bisa tersenyum pahit melihat kegembiraan itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments