Beasiswa luar negeri

Alia berusaha untuk tidak membuat banyak suara ketika membuka pintu kamar Daniel. Tapi usahanya itu sia-sia. Si pemilik kamar sudah lebih dulu menyadari kedatangannya.

"Eh. Apa Kakak mengganggu?"

Daniel menatap Alia sebentar, lalu melihat tumpukan buku di depannya. Baru kemudian ia menggeleng dan kembali fokus pada coretannya. Alia melangkah masuk setelah reaksi itu. Ia membawa segelas teh hangat di tangannya.

"Jangan terlalu memaksakan diri, ya." Alia meletakkan gelas teh itu di meja. Ia lalu menarik kursi dan duduk di dekat Daniel tanpa mengucap apapun lagi.

Daniel tidak terganggu meski Alia terus menatapnya. Alia seringkali terkesan dengan kefokusan Daniel terhadap sesuatu yang dihadapinya. Kadang Alia juga heran, meski dalam keadaan fokus penuh sekalipun, Daniel tetap mampu bersikap waspada dengan sekitarnya. Itu terlihat seperti bakat alami sehingga Daniel sekalipun tidak merasa istimewa sama sekali.

"Ada apa?" tanya Daniel setelah menyelesaikan latihan soalnya. Ia mengubah posisi duduknya jadi menghadap Alia.

Alia tidak lekas menjawab. Ia hanya diam menatap Daniel sambil meletakkan kepalanya di meja. Meski begitu, tatapannya tidak fokus dan terlihat kosong.

Daniel pun tidak berkata apapun lagi. Ia hanya menatap manik hitam legam Alia yang senada dengan warna rambutnya. Daniel merasa lebih tenang. Alasan itu juga yang membuatnya suka menatap ke dalam mata hitam Alia diam-diam. Sesuatu di dalamnya membawa ketenangan yang tidak bisa didapatnya dari orang lain dengan warna mata yang sama.

"Daniel... Setelah lulus, apa kau tahu akan melanjutkan kuliah dimana?" tanya Alia. Ia mengerjap lembut, berusaha mendapatkan lagi fokusnya.

"Tidak tahu."

"Uh, bohong. Tak mungkin orang sepertimu belum memiliki rencana apapun." Alia merenggut kesal.

Diamnya Daniel berarti membenarkan pernyataan Alia. Daniel menimbang sejenak sebelum menarik selembar kertas dari tumpukan buku-bukunya. Ia lalu menyerahkan kertas itu pada Alia.

Raut wajah Alia sudah berubah saat membaca tulisan di kertas itu sekilas. Ia menatap bergantian antara Daniel dan kertas di tangannya. "Ini... sungguhan? Kau berniat kesini?"

Daniel diam sejenak, memperhatikan ekspresi yang dibuat Alia di wajah manisnya. "Bagaimana menurut Kakak?"

"Eh?" Alia sedikit terkejut saat Daniel menanyakan pendapatnya. "Um, bagaimana ya? Luar negeri terdengar jauh sekali."

Bukan terdengar jauh. Tapi memang jauh. Dengan Daniel menyerahkan kertas itu padanya, berarti remaja itu sudah memilih tujuannya. Alasan Daniel tidak segera memberitahukannya tentu karena ia harus meminta pendapat Alia tentang hal ini dan memiliki banyak pertimbangan sendiri.

"Beasiswa penuh kuliah di luar negeri. Bahkan ada uang saku yang diberikan setiap bulannya," tambah Daniel. Tidak terdengar seperti bujukan, tapi jika Daniel sampai memberitahukan ulang hal yang seharusnya sudah Alia baca di kertas itu seperti menandakan keinginan kuatnya pada pilihan ini.

Alia tidak segera menanggapi. Ia bahkan sedang berpikir keras sampai dahinya berkerut dalam.

Daniel tahu tujuan Alia datang ke kamarnya saat ini. Wanita itu pasti sedang cukup kebingungan saat ini. Alia biasa menelan masalahnya sendiri dan lebih banyak menyelesaikannya tanpa melibatkan Daniel. Tetapi, sesekali, Alia akan meminta pendapat Daniel yang terkadang jauh lebih jernih dari dirinya. Kedatangan Alia kali ini berkaitan dengan kelanjutan dari pendidikan Daniel.

"Walau sudah menabung sekeras apapun, pasti tetap sulit untuk memenuhi kebutuhan kuliahku. Aku juga akan menolak keras jika Kakak mengambil lebih banyak pekerjaan paruh waktu seperti tahun lalu. Waktu untuk istirahat jadi terlalu sedikit dan malah jatuh sakit." Daniel mengambil tehnya yang sudah mulai mendingin. "Pasti aku akan tetap dilarang ikut bekerja. Apalagi alasannya? Aku harus fokus dengan kuliahku seperti aku harus fokus pada sekolahku."

Alia merasa terhujam oleh kalimat-kalimat itu. Ia tersenyum pahit, diam-diam ingin meraup buku paling tebal di depannya dan menghantam kepala Daniel dengan itu.

Bukan karena ucapan Daniel itu salah. Sebaliknya, yang Daniel katakan adalah apa yang Alia ingin utarakan sebelumnya. Daniel sudah membantah sekaligus menebak jalur pikirannya. Alia sampai takut kalau-kalau ternyata isi pikirannya memang tertulis di dahinya, mengingat begitu mudah Daniel membacanya.

Bukan hanya alasan fokus belajar yang membuat Alia melarang Daniel untuk bekerja. Dengan kemampuan Daniel, ia harusnya tidak perlu mengkhawatirkan situasi akademik adiknya itu. Apalagi Daniel sendiri yang meminta untuk ikut bekerja.

Alasan lain yang lebih kuat berkaitan dengan pesan Ibunya yang sampai saat ini masih ia pegang.

"Ini hanya ketenangan sebelum badai, sayangku, Al. Kau harus tahu ada banyak hal yang berbahaya di luar sana. Bagi kita, itu tak kasat mata. Tapi bagi Daniel, itu nyata dan sungguh akan terjadi. Lindungi dia. Lindungi adikmu dengan baik ya, sayang?"

Alia tidak sempat menanyakan banyak hal tentang pesan itu pada Ibunya. Yang ia tahu, Daniel sejak kecil memang tidak pernah mendapat banyak interaksi dari orang di luar keluarga kecil mereka. Sejauh ini, Daniel tidak pernah sekalipun terlibat hal-hal buruk kecuali pertengkaran kecil dengan teman sebayanya yang iri pada Daniel.

Sekarang Alia dilanda ragu. Ia tidak tahu jenis bahaya seperti apa yang membuat ibunya bersikeras menjaga keselamatan Daniel. Tapi kalau berkuliah di luar negeri bisa meminimalisir bahaya itu, Alia bisa mempertimbangkannya lagi. Jangkauan bahaya yang bisa ia pikirkan tidak akan berdampak pada Daniel yang berada di luar negeri. Sebelumnya, ia tidak menyangka Daniel akan cukup berambisi untuk mengejar beasiswa itu.

Sebenarnya, Alia sanggup saja membiayai kuliah Daniel. Terlebih Daniel pasti lebih mudah memperoleh beasiswa di universitas manapun yang ia pilih mengingat sejumlah prestasi belajarnya. Tetapi Alia ragu bisa menyelesaikan masalah lain dengan kondisi keuangannya saat ini maupun di masa depan.

"Kak, acara perpisahan juga membutuhkan biaya." Daniel memecah keheningan yang dibuat Alia selama berpikir. "Kalau aku kuliah disini, uang tabungan Kakak bisa untuk hal lain. Aku akan cukup dengan uang saku dari beasiswa itu. Apa Kakak tidak berpikir untuk berkuliah?"

Alia menghela napas. "Kau tahu, kan? Kakak tidak tertarik dengan dunia akademis lagi."

Daniel terdiam. Jawaban Alia tidak akan seperti itu jika Daniel menanyakannya beberapa tahun lalu. Ia tahu Alia juga ingin merasakan bangku kuliah seperti temannya yang lain. Tetapi waktu sudah menghapus keinginan itu. Daniel selalu merasa bersalah. Karena dirinya, Alia harus bekerja keras memenuhi kebutuhan mereka dan menabung demi masa depan Daniel.

"Sungguh tidak ada keinginan lain?"

Alia berpikir sejenak, lalu tersenyum ceria, seakan semua beban pikirannya tadi hilang sempurna. "Membuka toko kue!"

Itu jawaban yang terkesan asal-asalan. Tapi Daniel menyadari, memang ketertarikan Alia di bidang ini. Daniel juga mengakui keterampilan Alia disini.

"Uang tabungannya untuk itu aja berarti," simpul Daniel.

Alia menghela napasnya. "Kalau kau berpikir tentang biaya akhir sekolahmu, Kakak sudah mempersiapkannya juga. Gara-gara ini, uang tabungan kita jadi tidak begitu banyak. Huuh... bagaimana bisa Ibu dan Ayah memasukkan kita ke sekolah mahal itu? Padahal sekolah negeri biasapun bisa."

Tempat sekolah Alia dan Daniel memang sama. Sebuah sekolah elit yang mahal. Alia tidak tahu bagaimana orang tuanya mengurus pembiayaan di sekolah itu. Satu hal yang ia tahu, dirinya dan Daniel memang mendapat keistimewaan disana. Salah satunya adalah perlindungan langsung dari kepala sekolahnya. Sebab itu Alia dan Daniel bisa menjalani hidup persekolahan yang tenang, tanpa ada gangguan maupun bully-an. Alia dan Daniel juga termasuk siswa yang berprestasi.

Akan tetapi, Alia tidak bisa berbangga diri jika membandingkan dirinya dengan Daniel. Ia yang mendapat juara tiga umum di tengah ketatnya persaingan, seperti tidak ada apa-apanya dibanding Daniel yang seperti monster. Menguasai banyak bidang dengan sempurna.

Alia meletakkan kepalanya lagi di meja. Tangannya masih memegang kertas tentang beasiswa itu. Sementara Daniel kembali menatap buku-bukunya.

"Eh, kota ini..."

"Benar sekali."

Alia membelalakkan matanya. Ia menegakkan tubuhnya lagi dan menatap Daniel lebih serius.

"Tempat kuliah disana ada di kota yang sama dengan sahabat Kakak dulu." Daniel sudah bisa menebak alasan dari reaksi Alia. "Siapa namanya? Ghea?"

"Kak Ghea. Dia tetap seniormu."

Daniel mengangkat bahu. Ia melihat secercah sinar di mata hitam Alia yang masih terlihat mendung beberapa saat lalu. Meski begitu, ia bisa melihat gelengan samar Alia.

Alia punya banyak teman, tetapi ia hanya punya seorang sahabat yang setelah bertahun-tahun tidak pernah ada kabar sama sekali. Daniel pernah mendengar ceritanya, sebab Alia pada saat itu sampai menangis dan murung hingga seminggu penuh.

Ghea tidak menyelesaikan sekolahnya karena tersandung kasus serius, sehingga harus dikeluarkan dari sekolah saat tahun kedua SMA. Alia tidak akan sesedih itu kalau bukan karena Ghea harus dibawa ke luar negeri untuk menjalani pengobatan kejiwaan oleh keluarganya. Daniel tidak terlalu mengerti, tapi setiap Alia membahasnya, ia akan selalu menekankan kalau Ghea adalah orang baik yang tak akan mungkin melakukan hal bodoh sehingga membuatnya dikeluarkan dari sekolah. Kabar terakhir yang Alia tahu adalah nama kota tempat Ghea menjalani proses pengobatannya.

"Jadi bagaimana? Apa aku boleh mencoba beasiswa ini?" tanya Daniel.

Alia kembali diam. Tapi tidak membutuhkan waktu lama untuknya mengangguk yakin.

"Kau berhak mencoba, Daniel." Alia tersenyum lembut. "Kakak akan mendukung pilihanmu."

Alia semula mengkhawatirkan biaya kuliah ini, tapi Daniel membawakan solusi yang memudahkannya. Alia juga yakin, bahaya apapun yang mengincar Daniel seperti yang ibunya pesankan tak akan menjangkaunya di luar negeri sana.

Alia hanya tidak cukup paham kekuatan di balik bahaya yang ibunya sebutkan itu.

Senyum lembut Alia membantu Daniel menarik sudut bibirnya juga. Meski sudah menebak kalau Alia akan menyetujui keinginannya, ia tetap tidak bisa menahan senyumannya walau tipis. "Terimakasih kalau begitu."

Alia bangkit dari kursinya dan berdiri di samping Daniel, lalu mengacak rambutnya. "Kau jadi jauh lebih tampan kalau tersenyum begitu, Daniel. Jangan terlalu pelit senyum."

Selesai mengacaukan rambut Daniel, Alia langsung melenggang pergi. Saat di depan pintu baru ia kembali menatap Daniel yang masih memandangnya. "Jangan tidur terlalu malam. Belajar secukupnya saja."

Daniel masih terus menatap sampai Alia menutup kembali pintu kamarnya. Ia memegang rambutnya yang acak-acakan selama beberapa saat sebelum kembali memfokuskan diri pada beberapa soal di bukunya.

Dua minggu lagi dirinya akan menghadapi ujian akhir sekolah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!