Dua sosok baru

Pohon beringin di tengah makam itu cukup besar untuk menyembunyikan dua tubuh orang dewasa disana. Seorang wanita yang terlihat berumur tiga puluhan tahun duduk di balik pohon itu. Paras cantik dan menawannya telah menipu usia aslinya yang berada di pertengahan kepala empat.

Wanita itu tidak terlihat tenang. Jantungnya berdebar dan keringat dingin membasahi pakaian hitam yang menutupinya. Ia mulai merangkai sebuah alasan andaikan persembunyiannya ini ketahuan.

Tadi wanita itu dikejutkan saat seorang remaja laki-laki yang ia perhatikan dari balik pohon itu tiba-tiba menatap sekeliling. Tetapi, setelah beberapa saat, tak ada yang memeriksa tempatnya duduk saat ini. Wanita itu berbalik dan perlahan menyembulkan kepalanya, mengintip dari balik pohon beringin.

Tubuhnya seketika mendingin saat melihat remaja itu sudah berdiri dengan posisi tubuh menghadap kepadanya. Tapi dirinya bersyukur saat tahu bahwa remaja itu tidak sedang menatap kearahnya. Remaja itu sedang memperhatikan seorang wanita dengan pita biru gelap yang sedang duduk di pinggir makam.

Tak perlu menunggu sampai ia ditemukan, wanita itu segera kembali ke posisi awalnya. Dirinya bersandar pada batang besar beringin itu sambil menggenggam erat keranjang bunganya yang sudah kosong.

Posisinya dengan dua orang di makam itu memang tak begitu jauh, tapi bukan berarti dekat juga. Wanita itu tak bisa mendengar dengan jelas obrolan keduanya dari tempatnya saat ini. Butuh waktu beberapa saat baginya untuk mengangkat nyali dan kembali mengintip dari balik pohon.

Dua orang itu masih muda. Keduanya sama-sama berparas menarik. Yang wanita punya senyum dan wajah yang manis serta menyenangkan. Sementara si remaja pria yang walau terlihat dingin, tetap menarik perhatian dengan parasnya yang tampan.

Wanita itu hampir menarik kata-katanya saat melihat remaja pria itu yang sedang menahan tawanya sampai wajahnya memerah. Tanpa sadar, ia ikut menyunggingkan senyum. Tatapannya juga ikut melembut, seakan seluruh kekhawatirannya menghilang begitu melihat kehangatan interaksi dua orang itu. Dirinya hampir lupa bagaimana cara tersenyum setulus dan selembut ini. Dua oang itu secara tak langsung sudah memberinya sesuatu yang berharga.

Dirinya bisa menyaksikan dua orang itu sepanjang hari, tetapi itu adalah hal yang mustahil dilakukan. Ia harus menjaga untuk tetap dalam keadaan bersembunyi, sementara keduanya juga tak mungkin menghabiskan waktu seharian di makam ini.

Wanita itu hanya bisa menatap kepergian keduanya dari makam itu dengan senyum getir. Saat mereka sudah menghilang, barulah ia keluar dari tempat persembunyiannya. Langkah kakinya menuju makam tempat dua orang tadi menghabiskan waktunya.

Ia mendekati salah satu makam dan meletakkan keranjang kosong di sebelahnya.

"Kak Astrid..."

Wanita itu hendak berkata lagi, tetapi ia kembali mengatupkan mulutnya hingga beberapa saat.

"Aku datang kemari untuk mencari ketenangan, Kak." Wanita itu tersenyum lembut. "Tak kusangka aku akan bertemu mereka di hari pertama kedatanganku ke makam kalian."

Wanita itu terus berbicara.

"Aku minta maaf sekali lagi. Aku tak pernah berani datang kesini. Jangankan itu, menyapa Alia saja aku tak punya nyali, apalagi sampai bertatapan dengan 'dia'." Mata wanita itu bergetar. Sorot matanya terlihat lelah, seakan di balik fisik sehatnya, ada mental yang sedang terkikis. Kesedihan dan kepedihan selalu menggantung di matanya yang beriris amber dengan warna kuning tembaga mempesona.

"Al masih sangat manis. Kurasa aku cukup paham alasannya memakai pita itu. Ah, sifatnya benar-benar sepertimu, Kak. Tapi bimbingan Senior Ezra juga membantunya jadi wanita yang kuat. Senior Ezra sangat hebat, sepertinya ia tak ingin Al jadi sebaik dan sepolos dirimu. Bagaimanapun, itu sangat benar. Semoga Alia tak bertemu dengan orang sepertiku yang selalu merepotkanmu dan Senior." Wanita itu mengusap wajahnya, terlihat frustasi. Ia merasa gila berbicara sepanjang itu pada gundukan tanah.

"Ah, selalu seperti ini. Sangat menyenangkan bisa bersama dan saling bercerita bersama kalian lagi." Wanita itu menghela napas. Meski terdengar gila, tapi ia tak ingat kapan terakhir kali bisa bercerita sebebas ini.

"Kalian tahu? Aku bahkan belum berani seterbuka ini dengan sahabat baruku. Dia juga sama baiknya dengan kalian. Enerjik dan sangat suka berbicara. Sayangnya ia salah memilih teman. Kedekatanku dengannya hanya akan membawanya ikut ke dalam masalah yang tak kunjung selesai ini," tambahnya lagi dengan senyum pahit.

Matahari mulai semakin tinggi dan menyengat. Wanita itu mengangkat tangannya dan menatap ke langit biru.

"Kukira ini hanya jadi kunjungan singkat. Tak kusangka, saat akan pulang justru hampir bertemu mereka. Untung aku sempat bersembunyi." Wanita itu lalu beranjak berdiri dari tempat duduknya.

"Rinda akan pamit pulang kalau begitu, Kak, Senior. Butuh waktu untuk menata ulang hatiku lagi. Ia punya begitu banyak kemiripan dengan Alex. Rasanya masih sakit, tapi tak mungkin aku terus membawa masalah ini terus menerus." Wanita bernama Rinda itu terlihat seperti membawa beban berat di pundaknya.

"Aku akan lebih sering berkunjung kesini dan mengunjungi anak-anakmu." Kepahitan memang masih membayanginya, tapi kobaran tekad juga mulai terbentuk di jejak yang ia tinggalkan.

...****************...

Kegelapan menyelimuti ruangan yang dimasuki oleh pria bermata hazel itu. Sorotnya tajam dan kejam. Walau sudah memasuki kepala lima, dirinya masih menjadi sosok yang ditakuti oleh orang-orang yang dibawahinya.

"Bawa mereka kemari!"

Salah seorang bawahannya yang memakai penutup mata berteriak keras. Membuat kumpulan penjaga kalang kabut menyiapkan hal yang perlu disediakan untuk kesenangan tuan mereka.

"Felix, langsung bawa ke tempat eksekusi." Pria bermata hazel itu memerintahkan. Tak ada emosi yang keluar dari perkataannya yang bersifat mutlak itu.

"Sesuai dengan yang anda inginkan, Tuan Rafka." Felix memberi hormat dengan membungkukkan badannya sedikit. Rambutnya yang panjang dan terawat membuat banyak orang yang lebih percaya kalau dirinya adalah seorang terpelajar dari reinkarnasi zaman dulu yang tersasar di sarang monster. Meski demikian, sangat pantas Felix menerima gelar monster itu sendiri mengingat sepak terjangnya disamping tuannya itu.

Rafka berjalan lebih dulu ke ruangan eksekusi yang ia sebutkan tadi. Pencahayaan di basement itu tidak begitu banyak, tapi bagi Rafka yang sudah melalui basement ini sepanjang hidupnya, tak ada tempat lain yang lebih familiar dari tempat ini. Basement itu sangat luas dan memiliki banyak kamar tanpa jendela. Dan di dalam kamar itu hanya ada kegelapan dan keheningan.

Rafka selalu menjadikan kamar itu sebagai simbolis bagi siapapun yang berani menentangnya, bahwa tak ada lagi cahaya harapan yang tersisa untuk mereka. Secara mental, itu adalah penjatuhan yang lebih kejam karena memainkan keputusasaan seseorang. Tak jarang Rafka membiarkan mereka membunuh diri mereka sendiri di dalam ruangan itu.

"Tuan Rafka, semua sudah siap."

Rafka disambut oleh beberapa penjaga begitu memasuki satu ruangan terluas. Ia diarahkan untuk menempati kursi terbaik di tengah ruangan. Penerangan di tempat itu jauh lebih baik daripada di luar. Di bawah cahaya itulah baru terlihat jelas wajah tampan yang tak mampu dihapuskan oleh usia. Rafka bahkan terlihat lebih muda dari usia aslinya.

Tak menunggu waktu lama hingga pintu ruangan itu kembali terbuka. Felix masuk dengan membawa seorang pria dan wanita yang dijaga oleh beberapa orang di belakangnya.

Felix membawa sebuah kotak perak di kedua tangannya. Berbeda dengan kedua orang itu yang dibawa ke bagian depan, Felix berjalan menuju Rafka dan menyerahkan kotak di tangannya.

Keheningan menyelimuti tempat itu saat Rafka mengeluarkan sebuah revolver perak dari dalam kotak.

Pria dan wanita yang dibawa sebelumnya duduk dalam kondisi terikat dan hanya berada dalam jarak 15 meter dari tempat duduk Rafka. Keduanya hanya memandang kosong pada moncong revolver yang diarahkan pada mereka.

"Inilah alasan mengapa aku membenci anak-anak muda zaman sekarang. Di usia kalian, aku bahkan sudah bisa memajukan perusahaanku menjadi yang terdepan di satu provinsi ini, tapi lihat kalian. Malah membuat kegaduhan dan meremehkan arahan orang yang seharusnya tidak kalian seinggung." Rafka berbicara dengan nada rendah. Meski begitu, sunyinya ruangan membuat suara Rafka mampu mencapai sudut ruangan.

Felix disampingnya tersenyum kecil. Dalam hatinya ia mengumpat sendiri. Bagaimana bisa orang biasa disamakan dengan monster seperti tuannya ini? Jelas sekali ada perbedaan seperti langit dan bumi. Dua pasangan pria dan wanita itu baru berusia dua puluhan. Itu berarti, Rafka di usia dua puluhan tak diragukan sebagai monster muda gila yang memiliki kekuatan dan kekuasaan besar. Sungguh tak berlebihan kalau Felix ingin mengoreksi kalimat Rafka, tapi dirinya sungguh masih sayang nyawa.

Walau sudah melayani Rafka selama bertahun-tahun, bukan berarti ia jadi sulit digantikan. Rafka tak pernah kekurangan orang untuk digantikan, termasuk Felix.

Dua pasangan itu tidak menjawab. Tak ada lagi sisa harapan dalam hidup mereka yang ceroboh. Mereka tak mencoba berteriak atau mengumpat seperti hari-hari sebelumnya. Tak ada gunanya. Mereka paham betul kalau nasib mereka takkan jauh berbeda dengan seluruh keluarga, atau anak buah mereka yang sudah dieksekusi di depan mata mereka sendiri.

"Aku tahu yang kau pikirkan. Tapi kematian terlalu mudah bagi kalian." Rafka berdiri dari tempat duduknya dan mendekati mereka. Ia mengarahkan pada pria yang sedang menunduk itu.

Duar!

"AAAHHGGGGG...."

Rafka tidak langsung membunuhnya, melainkan menembak paha kiri pria itu. Ia juga melakukan hal yang sama pada pasangannya sebelum kembali ke kursinya.

"Obati mereka. Lalu jaga, jangan sampai mereka bunuh diri. Setelah sembuh, lukai lagi kaki kanannya, dan obati lagi. Ulang terus pada bagian tubuh lainnya. Aku ingin mereka yang memohon kematian mereka sendiri. Setelah itu patahkan jari-jari mereka dan terakhir, ikatkan pisau di masing-masing tangan mereka, lalu biarkan mereka membunuh pasangan mereka sendiri," perintah Rafka dengan tenang.

Para bawahannya mendengar dengan seksama, tidak ingin melewatkan perintah itu. Mereka tidak sedikitpun terganggu dengan teriakan dua pasangan yang sudah berlumuran darah di bawah.

Dua pasangan itu sesuai perintah segera dibawa keluar dan diobati dengan arahan Felix sesuai perintah Rafka. Tidak ada perubahan dalam ekspresinya. Ia sudah terbiasa dengan tugas-tugas ini. Kadang, Rafka bisa memberikan tugas yang lebih kejam daripada ini.

"Dimana mereka?" tanya Rafka yang belum beranjak dari kursinya.

Felix menunduk perlahan. "Saya segera panggilkan, tuanku."

Empat orang dengan pakaian serba hitam memasuki ruangan saat Felix menyuruh salah seorang anak buah membawakan orang yang dimaksud. Empat orang itu tak bisa berhenti bergetar saat sudah tiba di depan Rafka, mereka bahkan tak berani mengangkat kepala.

"Satu tahun dari waktu yang kuberikan. Apa kalian menemukan wanita itu?" tanya Rafka dingin. Auranya lebih mengintimidasi daripada saat mengurus dua pasangan tadi.

"Beberapa bulan lagi, tuan Rafka. Kami janji-"

DUAR!

Dahi pria yang bicara itu sudah terlubangi timah panas. Darahnya muncrat mengenai teman-temannya, membuat mereka semakin ketakutan.

"Aku meminta setahun. Kalian pikir semua keunggulan dan kenyamanan yang didapat dalam tugas ini hanya untuk dinikmati tanpa ada keseriusan? Kalian sungguh tak bisa diharap." Rafka mendengus kesal.

Salah seorang diantara tiga yang tersisa segera berlutut. "Maafkan kami, tuan. Wanita yang tuan cari benar-benar sulit ditemukan. Bahkan jaringan internasional yang kami sisir juga tak berhasil menemukannya."

Rafka memiringkan kepala. "Kalau aku bilang mudah, bukankah tawaran dan imbalan yang kuberikan tak akan terlalu berlebihan seperti ini? Kurasa selain tak becus, kalian juga bodoh."

Duar!

Duar!

Duar!

Rafka membunuh langsung ketiganya tanpa berkedip. Hatinya yang keras takkan merasa iba sedikitpun pada nyawa yang ia ambil.

"Felix!"

"Ya, tuanku." Felix mendekat dengan keringat dingin.

"Aku memberimu waktu lima tahun untuk membuat kelompok yang mampu menemukannya. Ini tahun terakhirmu. Pastikan kelompok yang kau buat tidak lagi mengecewakanku, atau aku akan membuat perhitungan denganmu langsung."

Felix menelan ludah. "Tentu saja, Tuan Rafka. Saya akan melakukan yang terbaik untuk kali ini."

Rafka tidak menjawab. Ia hanya berdiri dan pergi meninggalkan ruangan itu dengan langkah ringan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!