Hingga beberapa saat, Wilda tidak bergerak dari tempatnya dan hanya menatap kosong pada jalanan yang sepi. Ia baru saja memaksa Alia untuk pergi bersama seorang lelaki yang baru beberapa saat lalu ia ketahui identitasnya. Bukan hanya sekedar identitas lalu seperti nama atau tempat tinggal. Wilda mengetahui juga hal-hal kecil seperti pelanggaran lalu lintas yang dibuat atau lintas jejak keluarganya.
Kevin Reegan. Seorang pria yang hanya setahun lebih tua dari Alia itu merupakan anak dari seorang konglomerat terkenal di Kota Pusat. Keluarganya bekerja untuk pemerintahan, dan dikenal memiliki jejak yang jelas dan tidak mencurigakan. Wilda bisa yakin karena informasi yang didapatnya berasal dari sumber yang sangat bisa dipercaya.
"Semoga Alia baik-baik saja," gumamnya lirih.
Wilda tidak pernah suka jika perasaan khawatirnya menjadi kenyataan. Malam ini ia merasakan ketidaknyamanan yang begitu pekat, sampai ia harus mengernyit beberapa kali untuk menebak-nebak. Terlebih adanya laporan kejadian tadi siang, terkait dua tamu yang pergi akibat kecerobohan Risa sebelumnya.
Wilda menghela napas. Ia sungguh menyayangkan tidak bisa langsung menjaga Alia. Meskipun tidak bisa memiliki kemampuan khusus untuk membela diri, tapi setidaknya dengan memastikan keamanan Alia secara langsung ikut membuatnya lebih tenang.
"Kalau aku sendiri yang mengantarnya, apa perasaan tidak nyaman ini akan hilang." Wilda menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran buruknya.
Wilda mendongak, menatap langit berbintang yang tak tertutup. Cahaya bulan yang temaram itu bagi sebagian orang adalah berkah dan bantuan, tapi tidak sedikit yang menganggap itu tetap menakutkan. Wilda mengingat hari pertamanya bertemu Alia. Bandara, lima tahun lalu. Rinda adalah orang yang merekomendasikan wanita itu untuk bekerja di kafe yang dikelolanya. Pertama, ia menganggap itu sebagai hal biasa. Alia dekat dengan Rinda, dan Rinda akan membantu keadaannya dengan menjadi pekerja di kafe. Bagi Wilda, itu tetap akan menjadi hubungan pekerjaan normal. Ia tidak berniat memberikan perlakuan spesial sama sekali. Bahkan Wilda sempat bersikap sedikit sinis.
Senyum kecil terbit di bibir Wilda. Entah sejak kapan Alia berhasil membuatnya kagum. Ia tidak bisa menolak keinginan untuk menyayangi wanita itu. Alia menjadi bagian penting yang sejajar dengan keluarganya, atau bahkan lebih dari itu, menyamai Wilda saat menghargai Rinda. Alia seakan mempunyai pesona khusus yang membuatnya menjadi pusat kasih sayang. Setidaknya itu yang ia pahami dari sikap anak buahnya yang lain terhadap Alia. Tidak ada yang tidak menyukainya.
Lamunan Wilda baru tersudahi saat sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Ketika kaca mobil itu turun, seorang pria menyembulkan kepalanya dari dalam, menunggu respon lanjutan Wilda. Tetapi Wilda masih bergeming.
"Ayo cepat. Kak Rinda sudah menunggu. Dan sebaiknya kau menutup mulut itu atau seekor kumbang badak akan bisa masuk kesana."
Wilda mengatupkan mulutnya dengan cepat. Matanya melotot tajam. "Aku tidak membuka mulut selebar itu! Dasar Bram sialan. Pantas saja kau masih belum punya istri sampai sekarang," protesnya.
"Kau saja yang jadi istriku kalau begitu," jawab pria bernama Bram itu dengan santai. Ia memberi isyarat dengan kepala agar Wilda segera masuk ke mobil.
Wilda walau enggan, tetap berjalan mendekat dan membuka pintu mobil. Begitu masuk, ia langsung mengayunkan tas kecilnya dan mencoba memukul Bram, meskipun ia tahu akan sia-sia. Bram menangkis tanpa kesulitan seperti sudah memperkirakannya.
"Aku akan mengucapkan bela sungkawa dini pada siapapun yang akan menjadi istrimu nanti," ketus Wilda.
"Berarti kau akan berbela sungkawa untuk dirimu sendiri." Bram lagi-lagi menjawab dengan ringan. Ia sudah menjalankan mobilnya sebelum Wilda selesai memakai sabuk pengaman.
Wilda mengangkat bahunya. "Jangan sembarang bicara. Kalau jadi kenyataan bagaimana?"
"Aku akan senang."
Wilda menyipitkan matanya saat menatap Bram, tapi tidak berkata apapun.
"Kenapa? Apa aku terlihat tampan?" tanya Bram dengan senyum percaya diri.
Wilda mengerutkan dahi dan menggeleng pelan. "Kau terlihat gila. Apa kau baru minum-minum?"
"Aku sedang seratus persen sadar."
Wilda memutar bola mata. Menghempaskan tubuhnya pada kursi mobil. Bram tidak lagi berbicara, hanya menatap santai pada jalanan lengang.
Bram selalu terlihat santai dalam keadaan apapun. Itu membuat sangat sulit menemukan perbedaan antara ucapannya yang serius atau main-main. Tapi Wilda sangat yakin kalau pria itu baru saja bermain-main. Candaan seperti itu selalu dilontarkannya dimanapun mereka bertemu. Wilda tidak bisa selain menganggapnya sebagai angin lalu.
"Kenapa kau tak melepas sarung tanganmu?" tanya Wilda saat meliriknya.
Bram menatap dari ekor mata, lalu pandangannya tertuju pada sarung tangan yang dikenakannya. Ia membuat gerakan cepat untuk melepas sarung tangan itu dan melemparnya ke dashboard mobilnya dengan enteng.
Wilda menatap tangan Bram dan membandingkan dengan wajahnya yang terlihat tidak peduli. "Alia tidak pernah bertanya mengapa kau selalu memakai sarung tangan setiap saat?"
Bram memundurkan tubuhnya, lalu menoleh sebentar. "Alia tidak cerewet seperti dirimu. Dia tak pernah bertanya apapun."
Wilda menahan umpatan sampai alisnya naik turun. Ia kemudian menghela napas untuk yang kesekian kalinya sebelum membuang muka, menatap jalanan disebelahnya. Keheningan mengisi atmosfer mobil itu.
"Seperti inilah suasana setiap hari aku mengantar Alia pulang. Senyap."
Wilda kembali menoleh. Kini dengan kerutan dalam di dahinya. "Sungguh? Betapa canggungnya. Mengapa kau tidak melakukan sesuatu untuk mencairkan suasana?"
"Sudah kubilang, Alia itu tidak cerewet sepertimu," cibir Bram. "Dia malah terlihat senang dengan aku yang tidak berbicara apapun selama perjalanan."
Wilda menyunggingkan senyum masam. Ia merasa itu lebih baik, mengingat tiap kali Bram berbicara selalu membuatnya kepala dan hatinya panas. Bram termasuk cakap membolak-balik kata dan memancing amarah siapapun.
"Akhirnya aku bisa bertemu sosok kedua yang dikhawatirkan seorang Wilda selain Kak Rinda. Bagaimana bisa tiap-tiap orang itu memiliki sifat yang sangat bertolak belakang denganmu?" Bram pura-pura tidak memperhatikan keengganan Wilda untuk berdebat. Sebaliknya, ia sedang ingin mengganggu wanita itu.
Di luar prediksi Bram, Wilda tidak menanggapinya. Wanita itu malah mulai memijit kepalanya sambil bersandar.
"Apa ini tentang orang-orang asing itu?"
Wilda menatap Bram lalu mengangguk. Ia bisa yakin Bram melihatnya walau tatapannya seperti sedang fokus ke depan. "Risa pasti sudah memberitahumu. Dua orang yang datang ke kafe siang ini memang terlihat mencurigakan. Aku khawatir itu adalah orang-orangnya yang bisa membahayakan Alia."
Wilda teringat saat Risa mengambil waktu untuk berbicara empat mata dengannya. Tidak banyak yang tahu kalau Risa sesungguhnya tidak sesederhana yang terlihat dari statusnya sebagai pekerja sambilan disana. Tugas gadis itu adalah memastikan keamanan kafe secara langsung. Ia melakukan pengamatan pada setiap pengunjung yang datang, atau bahkan pada sesama pegawai di balik dapur.
Wajah ceria dan kecerobohan Risa menjadi topeng sempurna yang menyimpan seorang gadis yang cermat, tajam, dan teliti. Ia seringkali terlihat melakukan kesalahan, tapi sesungguhnya itu adalah caranya menguji orang-orang yang mencurigakan itu. Keributan yang ia perbuat siang tadi juga berkaitan dengan orang-orang yang terlihat mencurigakan.
"Seorang pria bernama Aslan dan gadis kecil yang dipanggil Carla. Entah ini nama asli atau hanya samaran. Tapi tindakan keduanya yang berusaha menyamar justru mengundang pertanyaan," analisis Bram. Ia mendapat laporan yang lebih rinci dari Risa dengan statusnya sebagai tuan asli dari gadis itu. "Risa melaporkan kalau keduanya memakai wig rambut dan softlens cokelat, tetapi itu tidak bisa menutupi karakter wajah mereka yang nampak asing di negara ini. Apa dia menyewa pembunuh bayaran dari luar negeri?"
Wilda langsung memucat dan duduk dengan tegak. Ia melotot dengan wajah tegang. "A-apa? Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan? Alia dalam bahaya, kan? Bram! bisa kau putar balik dan memastikan? Aku-"
"Wilda tenang," potong Bram lembut. Ia melirik tangan gemetar Wilda. Sebuah keinginan melintas di kepalanya, tapi disaat bersamaan, ia juga tidak ingin melakukannya. Ia hanya menggeleng pelan, berusaha menghilangkan pemikiran itu jauh-jauh.
"Orang itu tak akan melakukan apapun pada Alia. Itu tidak akan memberi keuntungan, malah bisa menjadi penghambat dalam pencariannya. Alia masih aman selama anak pejabat itu mengantarnya dengan benar. Aku sudah memberikan informasi yang sangat akurat. Anak itu juga tidak akan melakukan hal bodoh pada Alia. Kau harus tetap tenang."
Wilda kembali menyandarkan tubuhnya. Kini tangannya memeluk tubuh, masih terlihat cemas. "Tau begini, lebih baik aku pergi sendiri ke tempat Rinda. Dan kau tetap mengantar Alia seperti biasa."
Bram menggeleng, tapi tidak berkata apapun.
Saat itu barulah Wilda menyadari sesuatu. "Kalau Rinda ingin bertemu denganku, mengapa dia tidak langsung menelpon? Kalau dia menelepon, aku tak harus menunggu sampai pulang kerja seperti ini."
Bram tidak berkomentar, ia justru berusaha menghindar dari tatapan menuntut Wilda.
"Bukan Rinda yang memintaku datang. Kau yang mengarang itu, kan?!" tanya Wilda dengan menaikkan intonasi bicaranya.
Bram tidak menampik pernyataan itu. Tetapi juga tidak berusaha meminta maaf. "Kak Rinda membutuhkanmu."
Wilda tertegun. Ia menyadari maksud kalimat singkat itu. Kondisi Rinda akhir-akhir ini memang menurun dan Bram pasti menyadari hal itu. Membawa Wilda bisa dibilang merupakan langkah terakhirnya
Mengetahui itu, Wilda dengan segera mendapat ketenangannya lagi, meskipun tidak bertahan lama.
"Kalau begitu mengapa kau masih berkendara dengan kecepatan seperti ini, Bram bodoh! Lebih cepat!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments