Alia menyusuri jalanan gelap di depannya dengan bantuan senter dan remang-remang cahaya rembulan. Ia baru saja pulang dari tempat kerjanya. Kali ini ia tidak melewati jalan pintas gang berbahaya seperti yang ia lakukan beberapa minggu yang lalu. Sudah cukup harga dirinya sebagai seorang kakak tersakiti saat dimarahi oleh adiknya sendiri. Lagipula, jika siang hari saja dirinya masih bisa diganggu, maka lewat tempat itu lagi di malam hari begini sama saja sedang mengantar nyawanya sendiri. Ia juga yakin tidak akan ada bantuan tak disangka seperti kemunculan Daniel saat itu.
Ini karena Alia sudah melarang Daniel mati-matian agar tidak keluar rumah jika ia belum pulang. Alasannya karena Daniel akan menghadapi ujian sekolah beberapa bulan lagi. Alia tidak akan menjelaskan alasan yang sebenarnya. Untungnya Daniel mau menurut.
"Sedikit lagi sampai rumah. Kira-kira Daniel sudah tidur atau belum ya? Ah biarlah. Nanti juga bisa dibangunkan." Alia mengangkat bungkusan yang mulai berembun karena uap panas dari makanan di dalamnya.
Alia semakin bergegas saat sudah bisa melihat rumahnya dari jauh. Akan tetapi, langkahnya melambat saat ia melihat seseorang berdiri di depan rumahnya. Penerangan redup di depan rumahnya sudah cukup untuknya memperhatikan sosok asing itu.
Alia mematikan senternya, mulai berjalan perlahan. Walau dikatakan terpencil, tetap saja daerah ini sudah mendapatkan listrik walau harus menyambung kesana sini. Beruntung bagian depan rumahnya sudah diberi lampu oleh Daniel beberapa waktu lalu. Alia jadi bisa memperhatikan sosok itu dengan cermat. Dari tinggi badan dan postur tubuhnya, Alia mengasumsikan bahwa sosok itu adalah seorang pria dewasa. Pria itu juga mengenakan setelan hitam dari atas hingga bawah.
Rambut hitamnya ditutupi topi hitam. Wajah pria itu juga mengenakan masker hitam, dan setelan pakaiannya juga berwarna senada. Kalau Alia sedang tidak setegang sekarang, ia pasti sudah bercanda dengan mengatakan kalau pria itu penggemar berat serial ninja. Satu hal yang Alia dapat dari penerangan terbatas itu adalah bekas luka panjang di punggung tangannya.
Jantung Alia berdegup kencang saat melihat pita biru gelap yang digenggam pria itu. Ia mengusap matanya, takut dirinya salah membuat kesimpulan.
Sosok pria itu tiba-tiba berbalik. Pandangannya bertemu dengan Alia. Matanya menunjukkan keterkejutan. Pria itu dengan cepat memasukkan pita ke saku celananya dan lari ke arah yang berlawanan.
Alia mematung sejenak sebelum mulai ikut mengejar.
"Hei! Tunggu!" Alia berteriak saat sudah lebih jauh dari rumah.
Pria itu berlari lebih cepat, meninggalkan Alia jauh di belakang. Alia tidak punya pilihan lain selain berhenti ketika pria itu mengambil jalan masuk gang yang sebelumnya Alia hindari. Ia menjadi ragu untuk melanjutkan pengejaran. Saat itu pula ia menyadari sesuatu.
"Ah, bodohnya aku. Harusnya aku memeriksa kondisi Daniel."
Walau lelah, Alia tetap memaksa diri untuk berlari lagi ke rumahnya. "Daniel!" teriaknya begitu sampai di depan pintu.
Alia semakin panik saat tidak mendengar jawaban dari dalam. Ia melempar sepatunya asal dan mendobrak pintu yang tidak terkunci. Kakinya menjadi lemas saat melihat Daniel sedang berdiri di dapur, menata isi dari dalam boks kardus.
"Kenapa?"
Alia menghela napas lega. Meski begitu, dalam hati ia mengumpat keras. Dirinya begitu panik saat Daniel tidak menjawab panggilannya, tetapi respon remaja itu hanya satu kata bernada datar.
"Kenapa kepalamu! Kau yang kenapa tidak menjawab panggilan Kakak? Mustahil kau tidak mendengar teriakan dari luar," omel Alia.
Daniel mengerutkan dahi. Memang dirinya mendengar teriakan itu. Tapi ia hanya mengira kalau Alia sedang bermain-main saja dengan memanggilnya sekeras tadi. Daniel tiba-tiba menjadi waspada.
"Ada yang mengikuti Kakak?" tanyanya sambil berlalu cepat. Ia sudah berdiri di sebelah Alia. Dari dapur, ia bisa melihat pintu depan yang masih terbuka. Tapi tiada seorangpun di depan.
"Tidak. Bukan itu." Alia menjatuhkan diri dalam posisi duduk. "Tolong tutupkan dulu pintunya."
Daniel menatap Alia yang sedang mengatur napasnya sedikit lama, baru kemudian ia pergi menutup pintu depan sekaligus menguncinya.
"Kakak lari dari apa?" tanya Daniel begitu ia kembali ke dapur.
'Bukan lari dari apa! Pertanyaanmu yang benar itu harusnya, aku lari untuk apa!' batin Alia.
"Hantu. Ya, hantu. Ada yang bilang pernah melihat penampakan di jam segini." Alia menjawab asal. Bisa repot kalau ia memberitahukan hal yang sebenarnya.
Daniel berjongkok di dekatnya dengan membawa segelas air. Wajahnya yang minim ekspresi terlihat tidak percaya sama sekali. Daniel menyerahkan gelas itu sambil menelisik kebohongan dari raut Alia. Setahunya, Alia tidak pernah takut dengan hal mistis yang di luar nalar itu. Bahkan, Alia termasuk yang tidak akan percaya begitu saja dengan rumor gaib yang tersebar.
"Kalau begitu, besok tidak perlu pulang sampai jam segini, kan?" Daniel mengambil kembali gelas kosong yang airnya dihabiskan Alia dalam beberapa teguk.
Alia menyeka bibirnya, tersenyum pahit. "Tadi ada teman Kakak yang minta tolong menggantikan separuh shiftnya. Dia ada urusan penting dan tidak sempat meminta izin ke atasan. Sebagai gantinya, pendapatan miliknya hari ini diberikan pada Kakak lebih dari setengahnya. Dia juga membawakan ini."
Alia mengangkat bungkusan di tangannya.
Alia bekerja di sebuah toserba besar yang buka 24 jam dan berjarak tak begitu jauh dari rumah. Ia hanya perlu naik angkutan umum sekali untuk bisa mencapai tempat bekerjanya itu. Shift kerja Alia harusnya dimulai pagi hingga sore hari. Shift malam biasanya diisi anak-anak kuliah yang sedang magang. Alia hanya membantu setengah dari jam kerja temannya itu yang bertugas di shift malam.
"Padahal besok masih harus berangkat pagi lagi. Harusnya permintaan teman Kakak tadi ditolak saja." Daniel menjawab acuh tak acuh. Ia kembali mengurus boks kardus di atas meja dapur.
"Mau bagaimana lagi? Kita masih harus lebih banyak menabung. Tidak rugi juga membantu teman. Nanti kita akan terbantu juga jika suatu saat mengalami hal serupa," jawab Alia. Meski begitu, ia diam-diam mengakui rasa lelahnya saat ini. Alia memijit pundaknya sendiri dan menonton Daniel dari belakang.
Remaja itu memiliki postur yang bagus. Alia yang mempunyai tinggi rata-rata selalu merasa iri dengan tinggi badan Daniel. Padahal dirinya lebih tua tiga tahun dari Daniel. Ia tidak tahu aktivitas atau latihan apa yang Daniel lakukan untuk mendapatkan badan tegap dan kokoh itu. Alia bisa melihat otot bisep Daniel yang sedikit berkontraksi dengan pergerakan kecilnya.
Alia bersandar pada dinding di samping pintu dapur. Saat Daniel sedang tidak melihatnya seperti ini, Alia akan menunjukkan ekspresi yang selalu ditutupinya selama ini. Wajahnya terlihat sangat lelah dan kesedihan seperti menggantung di wajah manisnya. Ia hanya menyayangkan tubuh Daniel yang sedikit kurus, padahal Alia selalu menyuruhnya untuk makan lebih banyak. Tapi Daniel yang mengerti kondisi mereka tanpa perlu dijelaskan, menjadi seperti orang dewasa dan ikut mengontrol siasat penghematan mereka.
Hal inilah yang membuat Alia kesal dan sedih di saat bersamaan. Ia kesal karena kondisi mereka ini membuat nasihatnya selalu dianggap angin lalu oleh Daniel. Alia sedih karena sebagai kakak, ia belum bisa memberikan hal maksimal untuk mendukung Daniel sepenuhnya. Alia merasa dadanya sesak oleh frustasi.
Saat Alia kembali melirik, baru ia menyadari sesuatu yang membuatnya terkesiap. Alia menata ekspresinya sebelum bertanya dengan nadanya yang biasa. "Oh, sudah diantar ya?"
Daniel menoleh. Mengangkat karung beras kecil. "Aku tidak membuangnya. Kali ini, memang tidak ada pita birunya."
"Ah, itu memang disengaja." Alia tersenyum santai. Padahal jantungnya mulai berdebar. Pita biru tua yang harusnya menghiasi karung beras itu pasti yang tadi ada di tangan pria misterius.
"Oh, dan kali ini boksnya diberikan langsung oleh pengirimnya," tambah Daniel. "kalau Kakak melihatnya pasti sudah mengira orang itu ninja."
Alia merasa jantungnya sedang terancam. Makin lama degupannya makin tidak karuan. "Apa orang itu mengatakan sesuatu?"
Daniel menggeleng. "Setelah memastikan identitasku, dia langsung memberikan boks ini."
"Hanya itu?"
"Memangnya ada apa lagi selain 'itu'?" Daniel menatap setajam analisisnya.
Alia paling khawatir dengan intuisi Daniel yang seperti ini. Kalau begini terus, bisa-bisa semuanya terungkap.
"Siapa tau dia orang yang suka urusan orang lain." Alia mengangkat bahu. Sekali lagi berusaha terlihat santai walau bulir keringat dingin mulai terbentuk di punggungnya.
Daniel masih terlihat curiga. Tetapi memilih untuk tidak melanjutkannya saat menyadari kelelahan yang sedang coba ditutupi Alia. "Kakak sebaiknya segera membersihkan diri lalu lanjut istirahat."
Alia mengangkat alis, lalu tersenyum lebar. Wajah manisnya seperti bunga yang merekah setelah disiram hujan. Teduh dan indah. "Ayo sini. Kita habiskan ini dulu."
Daniel mendekat saat Alia membuka bungkusan itu. Ia mengerutkan kening saat melihat bentuknya yang tidak beraturan. Bisa Daniel tebak kalau Alia benar-benar lari sekuat tenaganya dan melupakan makanan yang dibawanya saat berlari.
"Hadap sana." Daniel menunjuk bagian belakang Alia.
"Tidak. Makan ini saja."
"Hadap sana."
Alia tidak melanjutkan penolakannya. Ia tahu yang akan dilakukan Daniel. Alia akhirnya mengalah dan membalik tubuhnya, membiarkan Daniel yang menggantikan tangannya memijit pundak.
"Buka mulutmu."
Daniel kali ini menurut agar semua cepat selesai dan Alia bisa segera beristirahat. Ia menerima suapan dari Alia dengan cepat.
Keheningan tercipta diantara mereka.
Alia masih cemas tentang pria misterius tadi. Meski begitu, ia tahu bahwa pria itu tidak bermaksud menyakiti Daniel. Pria itu bisa langsung melakukannya sejak awal dan Alia tidak bisa menemukan alasan yang masuk akal andai pria itu sengaja menunda niat buruknya. Kalau begitu, kemungkinan pria itu berkaitan dekat dengan pengirim boks kardus berisi bahan perlengkapan dapur itu.
Selama ini Alia berbohong dan mengatakan kalau boks kardus itu adalah pesanannya. Padahal kedatangan boks itu adalah suatu misteri baginya juga. Kediaman mereka akan kedatangan boks ini setiap setengah bulan sekali. Hal ini konstan dan sudah berlangsung cukup lama. Hanya saja, Daniel baru-baru saja menyadarinya saat ia mulai turun ke dapur. Mustahil bisa menipu ketajaman Daniel selamanya. Daniel bahkan sudah mulai curiga sekarang.
Alia juga mulai menyimpan pita biru itu sejak Daniel mengetahui hal yang ia rahasiakan ini.
Alasan Alia berbohong dari Daniel dan tidak mencoba mencari tahu kebenaran dari pengirim itu adalah pesan dari ibunya sebelum beliau wafat menyusul ayahnya.
"Jika ada yang mengirim sesuatu kemari, terima dan jangan tanyakan asal atau identitas pengirimnya. Kau juga harus merahasiakan ini dari orang lain, bahkan dari Daniel sekalipun."
Hari ini, Alia hampir melanggar itu dengan mengejar pria misterius tadi. Tapi ia sungguh dihajar penasaran. Kelompok atau individu manakah yang begitu berbaik hati memberikan barang seperti ini dengan rutin dan tanpa putus sekalipun? Mengapa harus dirahasiakan?
Namun, setiap kali pertanyaan dan rasa penasarannya membesar, Alia juga selalu mengingat pesan Ibunya yang lain. Hal yang membuatnya menyuruh Daniel untuk tetap di rumah dan mengurangi interaksi di luar.
"Ini hanya ketenangan sebelum badai, sayangku, Al. Kau harus tahu ada banyak hal yang berbahaya di luar sana. Bagi kita, itu tak kasat mata. Tapi bagi Daniel, itu nyata dan sungguh akan terjadi. Lindungi dia. Lindungi adikmu dengan baik ya, sayang?"
Alia tidak berani mencoba membuktikan kebenaran kata-kata itu. Ia takkan mampu menghadap wajah Ibunya kelak jika sampai Daniel terluka karena kecerobohannya.
"Pitanya untuk ikat rambut ya," gumam Daniel saat melihat pita biru gelap yang mengumpulkan rambut legam Alia menjadi satu. "Kakak sungguh suka pita ini."
Alia tidak ingin memicu pertengkaran atau adu sarkas saat ini. Batin dan fisiknya sudah lelah. Ia hanya mengangguk membenarkan. Ia memang suka pita itu. Tapi Alia juga punya alasan sampingan. Ia hanya ingin menunjukkan rasa terimakasihnya pada siapapun yang memberikan barang-barang dalam boks kardus itu dengan menghargai simbolis pita ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments