Lima tahun kemudian

Alia menutup ponselnya. Lagi-lagi tak ada jawaban dari seberang. Kali ini ia sudah tidak lagi memasang wajah khawatir atau sedih seperti beberapa tahun lalu. Alia sedang sangat kesal.

"Beraninya kau mengabaikan teleponku. Lihat saja. Saat kita bertemu lagi, akan kupukul kepalamu," desisnya.

"Kak Alia!"

Sebuah seruan membuat Alia membalik tubuhnya dengan cepat. Seorang gadis remaja mendekat dengan senyum lebar. "Risa? Ada apa?" tanyanya.

"Bantu aku memasang ini," seru gadis bernama Risa itu dengan nada manja. Saat hanya berjarak beberapa langkah dari Alia, ia membalik tubuhnya dan menunjukkan mini apronnya yang belum terikat sempurna.

Alia tersenyum dan menuruti permintaan itu. Risa tertawa puas melihat hasil ikatan yang rapi itu.

"Risa, berhenti bermalas-malasan atau mengganggu senior Alia. Ada pesanan yang harus diantar." Seseorang meneriaki Risa ketika melihatnya masih santai di tengah kesibukan dapur. "Senior Alia boleh melakukan urusan pribadinya lebih lama. Sejak tadi Senior sudah bekerja keras."

Alia tersenyum canggung saat beberapa sedang menatapnya dengan hormat. Meski diperbolehkan mengambil waktu lebih lama, Alia jadi merasa tak enak. Ia menggaruk kepala dan menarik Risa untuk lanjut bekerja. Beberapa pekerja disana selalu tersenyum saat Alia melewati mereka.

Memang, selama lima tahun bekerja di WR Coffee sebagai waitress, tak pernah ada kesalahan atau perilaku Alia yang membuat teman kerjanya tidak nyaman. Alia juga tidak ragu memberi bantuan atau masukan bagi sesama rekan kerjanya. Oleh sebab itu, banyak yang menghormati Alia. Masa kerjanya yang bisa dikatakan cukup lama menyebabkan kata 'senior' selalu tersemat di nama panggilannya. Panggilan itu kadang membuat banyak yang merasa segan pada Alia.

Itu karena sebagai senior, Alia adalah panutan lewat sikapnya yang tak pernah bicara hal yang tidak perlu dan selalu menyelesaikan semua pekerjaannya dengan cekatan dan rapi. Beberapa bahkan lebih menghormati Alia daripada Wilda Naradani, pemilik WR Coffee itu sendiri.

"Senior Alia, seseorang sedang menunggu Kakak. Ini pesanan miliknya."

Alia menerima nampan itu dan segera berbalik untuk mengantar tanpa basa-basi lebih lanjut. Ia tak begitu memperhatikan kalimat lain selain informasi mengenai meja tujuannya.

"Ehem!" deham Risa yang tiba-tiba sudah ikut berjalan disampingnya.

"Perhatikan jalan."

Risa tidak mendengarkan nasihat itu. Ia justru sedang tersenyum geli. "Ciee... Kak Alia akan ketemuan dengan pria tampan itu lagi."

Alia mengangkat alis. Ia menatap nomor dari pesanan yang dibawanya dan meja tujuan di nomor itu. Seorang pria dengan paras tampan sedang duduk sendiri di meja itu sembari memainkan ponselnya.

"Semangat, Kak!" Risa mengedipkan satu matanya sebelum berpisah arah.

Hembusan napas Alia dikeluarkannya pelan-pelan. Ia menggelengkan kepala melihat kelakuan teman-teman kerjanya. Diantara para perempuan yang bekerja disini, memang hanya sisa dirinya, wanita matang yang masih belum menikah. Sisanya sudah berkeluarga, dan sebagian masih berusia terlalu muda seperti Risa. Akibatnya, teman-temannya itu dengan sengaja selalu menjodoh-jodohkan ia dengan pria tampan yang datang berkunjung dengan menyuruh Alia membawakan pesanan mereka.

"Permisi, ini pesanannya."

Alia dengan cekatan memindahkan makanan dari nampan ke meja. Ia mempertahankan senyum standar profesionalnya hingga saat membalik badan.

"Alia!" panggil pria itu.

Meski sedikit terganggu dengan panggilan itu, Alia tetap berbalik dan menyunggingkan senyum. "Ya? Apa ada yang bisa saya bantu?"

"Ah, tidak, maaf. Maksudku bukan itu. Hanya saja..." Pria itu tampak ragu. Terlihat dari kegugupannya saat menggosok tengkuknya canggung. "Alia... Apa kau punya waktu luang?"

"Tidak ada," jawab Alia cepat, masih dengan senyuman.

Pria itu tersenyum pahit. Tak mungkin ia melewatkan keengganan tipis yang ditunjukkan Alia padanya. "Benar juga, memang terlihat seperti itu. Kau terlalu sibuk sampai memblokir nomor kontakku saat aku pertama kali menghubungimu."

Alia tidak memperhatikan ucapan pria itu lagi. Saat ini fokusnya ada pada sebuah keributan kecil yang terjadi di bagian tengah. Ia bisa melihat Risa disana dengan wajah paniknya. Sepertinya gadis itu melakukan kesalahan lagi.

"Maaf, Kevin. Saya rasa, kita bisa membicarakan ini nanti. Ada yang harus saya urus terlebih dahulu," ujar Alia dengan sedikit terburu-buru.

Pria bernama Kevin itu mencekal pergelangan tangan Alia saat wanita itu beranjak pergi. Ia baru melepas pegangannya saat Alia menoleh dengan tatapan tajam.

"Ah, maaf. Aku tidak bermaksud apa-apa." Kevin mengibaskan tangan dengan wajah memerah malu dan senang. Ia sedikit terkejut sekaligus antusias melihat ekspresi galak Alia yang baru pertama kali ditunjukkan padanya itu. "Satu hal saja lagi, Alia. Hanya satu."

Alia menunggu dengan tidak sabar. Senyumnya memudar sudah sejak tadi.

"Apa aku boleh mengantarmu pulang sehabis kau bekerja?" tanya Kevin penuh harap.

Alia dengan lugas menggeleng. "Tidak perlu, Kevin. Ada yang mengantar saya pulang setiap harinya. Saya harap kau bisa mengerti dan membiarkan saya pergi sekarang."

"Ah, iya, maaf. Silakan pergi," tanggap Kevin cepat.

Alia tanpa berkata lagi langsung pergi dari meja itu, meninggalkan Kevin yang menunduk dan tersenyum-senyum sendiri.

"Sepertinya dia marah, tapi kenapa kelihatannya menggemaskan sekali? Astaga ada yang salah dengan kepalaku," gumam Kevin setelah Alia sudah terlalu jauh untuk mendengar.

Alia memang sudah tak ingin berurusan dengan Kevin lagi, jadi ia tak peduli sama sekali. Alia berjalan cepat menuju sumber keributan.

"Mengganggu saja!" seru seorang anak perempuan berusia belasan tahun.

"Carla, hentikan. Kita tidak disini untuk membuat keributan." Seorang pria dewasa disamping anak itu menggaruk kepalanya.

Alia mendapati Risa yang sedang menunduk dalam. Ia terus menerus mengulang kata maaf pada dua orang di depannya itu.

"Bajuku jadi kotor karena pelayan ini! Bagaimana kau akan bertanggung jawab, Aslan bodoh?" Gadis itu terus berbicara dan mengumpat, membuat pengunjung lain jadi menatap pada mereka.

"Ada apa?" bisik Alia saat ia mendekat pada Risa. Meski bertanya begitu, sesungguhnya Alia sudah mengetahui garis besar kejadian itu. Bercak kotor di baju si gadis itu dan pecahan cangkir kopi di lantai sudah memberikan jawabannya.

Risa mendongak. Matanya berkaca-kaca, nyaris menangis. Alia yang melihat itu segera mengambil tindakan dengan menyembunyikan Risa di belakangnya.

"Maaf untuk ketidaknyamanannya. Kami akan memberikan ganti rugi yang setimpal untuk baju itu. Karena itu, bisakah kita membicarakan ini dengan suasana yang lebih tenang?" Alia mencoba mengambil alih situasi.

"Baju ini bukan dilihat dari harganya, dasar sialan! Apa kau pikir aku begitu kekurangan uang sampai harus meminta ganti rugi padamu?" bentak gadis itu dengan nada yang semakin tinggi.

"Carla!" peringat pria disampingnya.

"Kau diam, Aslan!" Gadis bernama Carla itu ikut membentuk Aslan, pria yang membersamainya disini.

Alia sudah beberapa kali bertemu dengan kasus seperti ini. Ia tahu, sebagian besar orang-orang dengan kekuasaan dan uang, sangat tidak suka diremehkan. Oleh sebab itu ia tetap berusaha menurunkan nada bicaranya.

"Tentu saja, nona. Kami akan mengusahakan hal lain yang membuat nona nyaman. Mari ikut kami ke ruang VIP dan melanjutkan masalah ini di ruangan yang lebih baik." Alia menyunggingkan senyum manisnya.

Mata cokelat gadis itu menyusuri Alia dengan lama. Tidak seperti tadi, ia tampak lebih tenang. Aslan bahkan ikut memperhatikan Alia dengan teliti.

Alia mengira mereka akan lanjut melayangkan protes. Tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari keduanya.

"Lupakan. Aku akan pergi," ujar Carla membuang muka. Wajahnya yang kesal tidak semakin membaik, tetapi ia segera pergi dari tempat itu sambil menarik tangan Aslan.

Alia tidak berusaha menahan mereka. Ia melihat sekeliling dan menghela napas lega saat beberapa rekannya yang lain sudah mengkondisikan beberapa tamu yang sempat penasaran dan dengan cekatan membereskan kekacauan yang terjadi. Alia menatap Risa yang pandangannya masih kosong. Setitik air mata yang hampir jatuh diusap oleh Alia.

"Tidak disini, ayo ke belakang," ucap Alia lembut. Ia menuntun Risa menuju dapur dan ke bagian yang tidak begitu terdampak oleh kesibukan disana. Di tempat itu barulah Risa menangis sepuasnya. Alia tidak berkata apapun dan hanya menepuk pundak gadis itu perlahan.

Butuh waktu cukup lama hingga tangisannya berubah jadi sesenggukan. Saat itu, seseorang datang menghampiri mereka.

"Si kecil ini melakukan kesalahan lagi?"

Alia mendongak saat mendengar suara yang familiar ini. Wilda yang sedang berdiri melipat tangannya di atas dada. Ia menggelengkan kepala pelan.

"Bu Wilda, maafkan saya," rengek Risa yang dalam sekejab sudah memegang kaki Wilda.

"Aduh, sudah beberapa kali dikatakan. Panggil Kak Wilda. Bisa-bisa aku mengamuk karena panggilanmu itu daripada kesalahan yang kau buat kali ini." Wilda bergeser risih setelah Risa melepaskan tangannya.

Risa menggaruk kepala. Jejak air mata masih terlihat jelas di pipinya. "Tapi panggilan 'Kak' itu tidak cocok sekali."

"Ucapkan sekali lagi dan akan kuputar lehermu," ujar Wilda yang geram dan sudah memegang rahang Risa dengan mata melotot.

Alia menengahi keduanya. Wilda terkadang akan bersikap kekanakan, sementara Risa tetap tidak melupakan sifat kurang ajarnya meski dalam keadaan merengek sekalipun.

"Ingat, kau harus melaporkan detailnya nanti." Wilda memberi tatapan serius pada Risa. Sorotnya penuh dengan makna.

Risa mengangguk-angguk dan tersenyum cerah, seakan tangisnya sejak tadi hanya akting semata.

Kali ini, Wilda yang giliran menatap Alia. "Alia, maaf. Aku dapat kabar dari Bram kalau dia tidak bisa mengantarmu sepulang kerja hari ini."

Alia mengangguk ringan dan tersenyum. "Tak masalah, Kak. Lagipula sejak awal, diantar setiap hari juga terdengar berlebihan. Aku akan baik-baik saja."

Wilda tidak terlihat puas. Ia sempat berpikir sejenak. "Oh! Bagaimana kalau kau menerima tawaran pria bernama Kevin itu? Dia tadi menawarimu tumpangan pulang, kan?"

"Ah, iya! Kak Alia harus menerima tawaran itu," celetuk Risa bersemangat. Sisa air mata yang membekas di pipinya jadi seperti lelucon.

Alia tercengang. Kecepatan informasi antar pekerja disini sangat mengerikan. Ia tak tahu bagaimana Wilda bisa mendapatkan berita itu secepat ini. Alia hanya bisa memaklumi Risa yang cepat paham hanya di situasi seperti ini.

"Tidak. Aku tidak mau," tegas Alia sambil menggelengkan kepala.

Wilda dan Risa sama-sama menghela napas pelan. Mereka tidak heran dengan jawaban itu. Setidaknya selama mereka mengenal Alia, memang sulit membuat wanita itu dekat dengan pria manapun.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!