Gang kecil

Daniel menarik Alia hingga tiba di satu rumah yang terletak sedikit jauh dari gang itu. Rumah di daerah ini pada dasarnya hampir tersembunyi. Jarak rumah antara satu dengan yang lainnya juga berjauhan, sementara kondisi rumahnya memiliki satu kesamaan. Terlihat tua dengan kayu usang dan cat yang terkelupas.

"Eh, padahal tadi masih panas. Tapi sekarang sudah mulai gelap. Sepertinya nanti malam akan hujan," celetuk Alia saat menatap langit yang mulai meredup.

"Kakak sebaiknya mandi dulu." Daniel melepas genggamannya. Pandangannya tertuju pada satu titik. Tanpa menunda, Daniel menuju ke titik itu. Ia mengangkat boks kardus disana dan membalik badannya, menatap Alia tanpa berkata apapun.

"Oh, sudah datang? Bawa masuk saja sekalian." Alia yang bisa menerjemahkan arti tatapan Daniel melangkah masuk duluan setelah melepas sepatunya.

Daniel membawa masuk boks itu langsung menuju dapur. Ia membuka kardus itu dan mengeluarkan isinya. Berbagai jenis bahan kebutuhan dapur ada di dalamnya. Teh, gula, minyak, dan barang lainnya. Di bagian paling bawah, Daniel mengangkat karung beras dalam ukuran kecil yang dililit pita berwarna biru gelap.

Daniel melepas pita itu dan memandangnya lama sebelum meletakkan itu ke bahan lainnya. Ia memindahkan beras ke karung yang lebih besar. Setelah itu baru menyusun barang-barang lainnya.

"Daniel! Jangan dibuang!"

Daniel tidak terkejut sama sekali dengan teriakan Alia yang begitu tiba-tiba. Ia bahkan tidak perlu menoleh. Daniel mengangkat pita biru gelap yang hendak diletakkan di keranjang sampah tadi, kembali menaruhnya di meja dapur.

"Aduh, hampir saja. Kakak sudah berulang kali bilang, kan? Pitanya jangan dibuang." Alia bergegas ke tempat Daniel dan meraih pita itu dengan cepat.

"Kakak sudah punya banyak, kan?" Daniel kembali fokus memindahkan gula ke tempatnya.

"Tetap saja! Kakak suka warnanya tau!" seru Alia tidak terima.

Daniel untuk pertama kalinya berbalik. Ia harus menunduk untuk bisa menatap Alia yang hanya setinggi pundaknya. "Itu cuma pita warna biasa. Apa bagusnya warna itu."

Alia melebarkan matanya, langsung menyabet Daniel dengan handuk yang semula bergantung di lehernya. "Kalau kau berkata seperti itu di luar sana, bisa jadi kau langsung terbunuh seketika. Kau bilang apa bagusnya warna ini? Hei lihat dirimu yang punya warna bola mata sama itu. Kau mau tau berapa banyak orang yang memakai lensa demi punya warna mata yang sama denganmu?"

"Kakak suka warna itu karena sama dengan warna mataku?"

Alia menghela napas lelah, mulai memijit kepalanya dan mengalungkan handuk ke lehernya lagi. Memilih untuk tidak menjawab. Ia meletakkan beberapa bahan makanan lain yang dibawanya tadi di dalam tasnya.

"Padahal aku lebih suka warna hitam gelap seperti mata Kakak." Daniel bersandar pada meja dapur, tetapi pandangannya tajam pada dua mata Alia.

Alia yang merasa risih ditatap setajam itu jadi mengerutkan keningnya dan menoleh ke arah lain. Ia tidak berniat melanjutkan pertikaian ini, jadi memilih membalik badan dan melangkah menuju kamar mandi.

"Warna mata ini yang membuatku jadi merasa asing."

Alia berhenti melangkah. Ia menoleh untuk memeriksa ekspresi Daniel.

Jarang sekali bisa menjumpai senyuman Daniel yang sangat langka itu. Tapi siapapun tidak akan ingin melihat senyuman itu sekarang. Itu hanya sudut bibir yang sedikit terangkat dengan mata biru gelap yang menatap kosong ke arahnya.

"Jangan berpikir yang aneh-aneh, Daniel. Kita bicara setelah Kakak selesai mandi. Kau harus memberi penjelasan mengapa bisa ada di luar saat hari libur begini." Alia berusaha mengalihkan perhatian Daniel dari pikirannya lewat tatapan galaknya. Setelah itu ia berbalik dan menuju kamar mandi tanpa menoleh lagi.

Daniel mengembalikan fokusnya, menatap pintu kamar mandi yang ditutup dengan keras oleh Alia. Ia bergegas menyelesaikan pekerjaannya dan langsung pergi ke kamar. Daniel keluar lagi dengan membawa sesuatu di tangannya dan sebuah buku.

Ruang tamu yang kecil tetapi bersih, diisi oleh dua kursi kayu dan sebuah meja di dekat jendela. Tidak ada pemandangan spektakuler dari jendela yang terbuat dari kayu juga itu. Hanya ilalang tinggi yang belum sempat Daniel pangkas akibat kesibukan akhir-akhir ini. Ia meletakkan satu bungkusan yang dibawanya tadi ke atas meja dan mulai duduk membaca bukunya.

Beberapa menit berlalu. Daniel yang teramat fokus dengan bukunya masih tetap menyadari kedatangan Alia ke ruang tamu itu.

"Kau ingin makan sekarang, atau malam nanti?" tanya Alia yang langsung duduk di kursi yang berseberangan dengan Daniel.

Daniel mengangkat kepala. Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Daniel malah menggeser kursinya mendekati Alia. Ia mengambil tangan kanan Alia dan mengocek bungkusan di meja.

"Oh, Kakak bisa sendiri." Alia berniat menarik tangannya, tapi sebelum itu, Daniel sudah menguatkan pegangannya.

"Diam dulu," ujar Daniel santai. Ia membuka tutup petroleum jelly yang sebelumnya ada dalam bungkusan itu.

Mata Alia melebar. "Wah, apa-apaan? Kau membeli ini? Daniel! Uangnya lebih berharga untuk dibelikan jajanan untukmu di luar daripada membeli barang seperti ini!"

"Ini tidak semahal itu."

"Tetap saja! Ini tidak terlalu kita gunakan sehari-hari. Tidak mengenyangkan juga," protes Alia masih tidak terima.

"Kak Alia terlalu ceroboh. Kemarin lusa, Kakak juga hampir memotong jari sendiri. Minggu lalu, hampir membelah kaki. Waktu itu juga-"

"Stop! Stop! Tidak perlu dilanjutkan." Alia mengibaskan tangan dengan wajah memerah malu.

Daniel selesai mengoleskan petroleum jelly itu. Ia lalu mengambil kain kasa dan membalutnya pada luka Alia. Daniel baru melepas tangan Alia setelah selesai. Walau tidak mengubah ekspresi, sorot mata biru gelapnya menunjukkan kepuasan.

"Wah... Rapi sekali. Kalau begini, kau bisa saja jadi dokter atau minimal perawat. Atau apapun itu yang berhubungan dengan kesehatan." Alia mengangkat tangannya yang terlapisi kain kasa dan menatapnya kagum.

"Itu pengetahuan dasar. Semua orang harusnya tau." Daniel melipat kedua tangannya, bersandar di kursi dan menatap Alia prihatin.

"Apa maksud tatapanmu itu?" desis Alia sengit.

"Jangan sampai terkena air. Kain kasanya juga harus rutin diganti." Daniel mengalihkan pembicaraannya.

Alia mendengus. "Yang itu kakak juga tau. Tadi saja setelah dibersihkan, tangan diangkat setinggi ini agar tidak kena sabun." Alia memperagakan caranya mengangkat tangan.

"Susah, kan?"

"Iya tent-"

"Masih mau lewat gang itu lagi?" potong Daniel dingin.

Alia mengatupkan bibirnya, mengalihkan pandangan ke luar jendela. "Oh lihat, malam sepertinya datang lebih cepat. Sekarang saja sudah gelap sekali."

Daniel menghela napas. "Meski buru-buru sekalipun, Kakak tidak seharusnya lewat gang itu."

"Tapi kau tahu sendiri panasnya bagaimana tadi itu. Makanya mendungnya jadi setebal sekarang. Memang akan hujan." Alia berusaha membela diri.

"Gang itu jarang dilewati orang. Tempatnya juga sepi. Seperti kejadian tadi, ada banyak orang yang menyalahgunakan tempat itu untuk bermabuk-mabukan. Kakak belum dengar, kan? Katanya mereka juga pernah melecehkan perempuan disana. Aku peringatkan untuk tidak pernah melewati gang itu lagi. Saat berangkat kerja atau pulangnya. Kalau perlu sampai kapanpun itu. Jangan coba-coba lewat sana." Daniel menatap lurus, tidak menyisakan ruang untuk bermain-main.

Alia terdiam. Ia tidak bisa menatap wajah serius bercampur kemarahan Daniel. Ia sadar betul kesalahannya kali ini. Mengenai hal-hal buruk dari gang itu, Alia sudah tahu semuanya. Tetapi hanya karena dorongan kecil, ia memutuskan memotong jalan lewat tempat itu dan mengabaikan risiko bahayanya. Alia semula berpikir tidak akan ada hal besar yang terjadi di siang hari seperti tadi. Andaikan Daniel tidak datang tepat waktu, ia yakin yang akan didapatnya bukan hanya luka goresan di telapak tangan saja. Itu bahkan bisa merenggut kehormatannya.

Alia bergidik saat menyadari hal terakhir itu. Ia tidak membantah atau berkomentar lebih jauh. Itu memang kecerobohannya.

"Maaf," ujarnya lirih. Alia mendongak dan tersenyum simpul. "Terimakasih juga ya. Untung kau datang tadi."

Daniel tidak bisa mempertahankan kemarahannya lebih jauh setelah melihat senyum lembut Alia. Ia hanya menggeleng pelan dan mengendurkan tatapan tajamnya.

"Tidak akan melewati tempat itu lagi. Oke?"

"Janji!" Alia menyambut semangat.

"Selamanya?"

"Tidak. Sampai tempat itu aman," jawab Alia dengan senyum tak mau kalah.

Daniel menghela napas, tidak membahas lebih jauh. Ia baru akan bangkit saat menyadari raut muka Alia yang berubah.

"Oh, Daniel. Ngomong-ngomong, bagaimana bisa kau kebetulan lewat tempat itu juga?" Alia bertanya sambil melotot. Senyum lembutnya menjadi seringaian kejam.

"Aku ingin memotong jalan. Lewat jalan biasa itu terlalu jauh. Lewat sana, kan lebih cepat," jawab Daniel ringan.

"Curang!" Alia menunjuk tidak terima.

"Tidak curang. Aku punya kemampuan menjaga diri seandainya mereka mau menggangguku. Lagipula mereka takkan tertarik dengan laki-laki. Yang tidak boleh itu Kakak." Daniel menjawab, tidak mau kalah.

"Kalau begitu Kakak akan belajar bela diri juga."

"Itu tidak perlu. Masih berisiko," tolak Daniel mentah-mentah. Ia berdiri dari kursinya dan menyimpun buku serta bungkusan obat-obatannya tadi.

Alia menahan Daniel yang akan pergi. "Ada hal penting yang terlupa juga."

"Apa?"

"Kau bilang ingin memotong jalan. Kau dari luar? Seharian? Tidak ingat apa yang Kakak pesankan padamu?" Alia menunjukkan kemarahan besar.

Daniel melebarkan matanya. Meneguk ludah gugup. Ia ingat seharusnya tidak menyinggung itu. Alia melarangnya keluar rumah di hari libur seperti ini. Itu karena Alia sangat paham apa yang akan dilakukannya di hari begini.

"Ingin memotong jalan biar cepat pulang? Jangan-jangan kau sudah melakukan ini berulang kali setelah tahu jadwal kerja Kakak? Kau lewat gang itu agar Kakak tidak tau kegiatanmu diam-diam selama ini?" Alia bertanya dengan nada tinggi.

Daniel melepaskan tangan dari bungkusan dan bukunya, langsung melesat pergi sebelum Alia lanjut menahan dan menginterogasinya.

"Daniel!" teriak Alia.

"Aku akan mandi." Suara jawaban Daniel terdengar kecil.

Alia memijit kepalanya yang sudah setengah kering. "Bagaimana cara menjelaskan padanya kalau itu juga sangat berbahaya ya?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!