Jalan setelah kelulusan

Senyuman lebar menghiasi wajah manis Alia. Rambutnya yang hanya sepanjang dada diikat setengah ponytail, membagi rambut hitam bergelombangnya menjadi bagian terurai dan terikat. Alia juga menghias rambutnya dengan pita biru gelap. Keceriaan dapat didengar dari senandung pelannya sepanjang jalan.

"Hati-hati." Daniel yang berjalan di belakang Alia menggeleng pelan saat wanita itu hampir tersandung.

Mereka sudah melalui jalan yang jauh dari jalan raya. Setelah turun dari angkutan umum, mereka harus berjalan kaki untuk sampai ke rumah.

Hari ini hari pengumuman kelulusan Daniel sekaligus acara perpisahan. Sebab itu dirinya dan Alia memakai setelan pakaian yang lebih baik. Alia bahkan menata rambutnya agar terlihat lebih rapi.

"Apa memang harus sebahagia itu?" tanya Daniel heran.

Alia berhenti melangkah. Lalu berbalik sambil melotot. "Kakak sedang menghargai sesuatu yang tidak bisa tercapai dulu. Bagaimana bisa tidak bahagia?"

Daniel sudah bisa menyusul Alia dan berdiri tepat di depannya. Ia tiba-tiba memegang pundak Alia dan memutarnya. Daniel kemudian merangkul pundak kecil Alia dan merapatkan tubuh Alia di sisi kanannya.

Alia tidak memprotes. Ia tahu Daniel melakukannya agar Alia dapat berjalan dengan lebih benar dan hati-hati. Daniel dengan sengaja memperkecil langkahnya untuk menyesuaikan dengan langkah kaki Alia.

Di acara perpisahan tadi, memang ada bagian acara dimana disebutkan sepuluh besar siswa siswi berprestasi yang dirangking global satu angkatan. Alia sesungguhnya tidak terlalu terkejut saat Daniel membuatnya harus maju ke panggung untuk menerima penghargaannya sebagai wali. Yang membuatnya kagum, adalah posisinya yang mencolok karena maju di pemanggilan terakhir. Posisi yang memperoleh tepuk tangan dan sorakan terbanyak.

Prestasi Daniel melampaui pencapaian Alia di masa lalu. Tetapi Daniel yang memperoleh juara satu umum itu tidak terlihat menunjukkan ketertarikan sama sekali.

"Sepertinya kau punya banyak penggemar." Alia sengaja menggoda Daniel. Ia tersenyum lebar saat mengingat bagaimana Daniel benar-benar dikepung banyak gadis yang ingin mengucapkan selamat dan memberinya hadiah.

Respon Daniel sedikit menjengkelkan. Ia hanya mengangguk sedikit pada pujian dan ucapan selamat itu, sementara hadiah yang ditujukan padanya, semua ia tolak. Alia bahkan sempat melihat tatapan dingin Daniel pada seorang gadis yang memaksanya mengambil hadiah dari gadis itu.

"Kau ini jangan terlalu kaku pada wanita. Bagaimana nanti bisa mendapatkan pasangan?" Alia memberikan nasihat.

"Itu tidak penting untuk sekarang."

Alia menatap Daniel kesal dan menghela napas pelan.

"Kakak sendiri sepertinya berhasil memikat cukup banyak teman-temanku. Mereka tadi banyak yang mendatangi Kakak juga." Daniel membalas godaan Alia tadi.

Alia memang terlihat sederhana. Penampilannya bahkan tidak bisa disamakan dengan para gadis yang mengerubuti Daniel. Tapi kesederhanaannya itu yang membuatnya menarik di mata remaja laki-laki yang terbiasa hidup mewah dan terlalu sering melihat penampilan glamor orang disekitarnya. Alia seperti berlian langka diantara batu permata biasa lainnya.

Apalagi senyuman manis Alia yang menyebar secara cuma-cuma itu sangat memikat dan menenangkan siapapun yang melihatnya. Seakan senyumannya itu sedang mengumumkan kalau hari yang lebih baik akan datang.

"Tidak sebanyak penggemarmu. Tapi kalau kau tidak menghalangi mereka, bisa jadi penggemar Kakak akan lebih banyak." Alia tertawa kecil setelah mengucapkan itu dengan percaya diri. Ia tidak menyangka Daniel akan menanggapinya secara serius.

"Kakak jangan percaya dengan anak-anak itu. Mereka sejak kecil sudah ahli mempermainkan perempuan. Banyak gadis di sekolah yang sudah jadi korban mereka. Kakak hanya terlihat menarik di mata mereka saat ini, tapi selanjutnya Kakak hanya akan jadi mainan saja." Daniel terlihat serius walau ia tetap fokus melangkah ke depan.

Telinga Alia terasa panas. Mendapat nasihat konyol dari orang yang lebih muda daripada dirinya, terlebih tentang situasi percintaan membuat harga dirinya terluka.

"Kau terlalu serius. Tidak mungkin Kakak menyukai anak remaja seperti kalian. Selera Kakak tetap pria yang lebih dewasa daripada Kakak." Alia mengeluh kesal.

"Wow, benarkah? kukira Kakak sudah putus asa mencari pria yang cocok, jadi tertarik pada pria yang lebih muda." Daniel pura-pura terkejut, walau wajah datarnya tidak membantu sama sekali.

Alia mendadak ingin menendang Daniel masuk ke selokan. Namun, mustahil baginya yang bertubuh kecil untuk melakukan itu. Walau kata-katanya tajam, tapi Daniel juga yang membantunya selamat dari kumpulan remaja nakal yang mencoba mendekatinya tadi.

"Jangan mengganggu Kakakku, dasar tikus sialan."

Ucapannya tadi masih terngiang di telinga Alia. Daniel yang sempat terpisah dari Alia karena penggemar perempuannya langsung dengan cepat meloloskan diri saat Alia mulai didekati teman satu angkatannya itu. Daniel sebenarnya tidak suka menganggap remaja-remaja itu sebagai temannya. Baginya yang mempunyai kualifikasi pertemanan yang tinggi, anak-anak itu tak lebih seperti kumpulan anak kaya yang arogan dan hanya peduli dengan keuntungan mereka sendiri.

Daniel yang segera menarik tangan Alia dan menyembunyikannya di belakang tubuh, memberikan tatapan mengerikan pada remaja-remaja itu. Satu kalimat dinginnya mampu membuat mereka langsung pergi walau dengan wajah tak puas.

Meskipun merasa bangga diselamatkan dengan cara keren itu, Alia juga gatal ingin mengoreksi kata-kata terakhir Daniel yang terlalu kasar. Daniel dengan perangai seperti ini pastinya banyak membawa masalah. Tetapi rombongan remaja lelaki yang tertarik pada Alia itu tidak ingin berurusan dengan kepala sekolah yang melindungi Daniel. Mereka diam-diam waspada dengan latar belakang Daniel yang dianggap begitu misterius.

"Kakak sudah dua puluh satu tahun, kan? Usia ideal untuk menikah bagi wanita. Kalau Kakak sudah jatuh cinta pada seseorang, beritahukan calon suami yang Kakak pilih padaku. Aku yang akan menyeleksi kepantasannya untuk Kakak. " Daniel berkata santai. Tetapi tidak ada nada candaan di dalam kalimatnya.

"Astaga, kau sudah seperti teman-teman di tempat kerja. Berbicara tentang pria idaman, calon suami atau usia menikah. Kakak bahkan tidak pernah memikirkan itu," protes Alia. Ia memijit kepalanya yang mulai pening.

"Jangan mulai topik ini kalau begitu."

"Siapa yang memulai duluan?!"

"Kakak."

Alia terdiam seketika. Ia tidak bisa berkata-kata lagi.

Mereka melanjutkan langkah dalam senyap. Daniel masih merangkul Alia, sebisa mungkin menjaga agar Alia tetap nyaman berjalan.

"Nilai-nilaimu sangat luar biasa Daniel. Kakak jadi paham sumber kepercayaan dirimu untuk mendaftar kuliah di luar negeri itu," ujar Alia saat dirinya mengingat sesuatu.

Daniel tidak menanggapi. Baginya, ini bukan hal yang luar biasa, melainkan hanya salah satu anak tangga dari sekian rencana untuk mencapai tujuan.

"Kakak akan menggunakan uang tabungan kita untuk bekalmu. Rencananya, Kakak juga akan mengirim sejumlah uang untukmu tiap bulannya." Alia memberitahukan ini dengan semangat.

Daniel menggelengkan kepala. "Itu tidak perlu."

Alia ikut menggelengkan kepalanya juga. "Perlu. Kakak tahu kau punya banyak ide di kepalamu. Anggap Kakak sedang memberikan modal tambahannya."

"Aku bisa usaha sendiri. Kakak bisa membuka usaha toko kue dengan uang itu." Daniel tetap pada keinginannya.

"Hahaha, kau juga percaya kata-kata itu? Ayolah, Daniel. Ini tidak sulit sama sekali. Jangan menolak, ya?" bujuk Alia.

Daniel menatap Alia di sebelahnya. Kadang ia merasa usaha yang dilakukan Alia untuknya sangat berlebihan. Daniel juga khawatir karena tahu Alia tak akan sempat memikirkan kebaikan dirinya sendiri akibat terlalu memperhatikannya. Tetapi ia juga tahu kalau Alia tak akan menyerah sampai Daniel memberikan jawaban memuaskan.

"Katakan iya, Daniel."

Daniel tidak menjawab.

"Katakan iya!"

Daniel menghela napas. "Iya, baiklah."

Alia terlihat puas dengan jawaban itu. Ia tersenyum lebar, menampakkan gigi putihnya yang kecil dan rapi. "Good boy."

"Tapi jangan sampai memaksakan diri. Kalau tidak cukup untuk kebutuhan Kakak, maka jangan kirim." Daniel mengajukan syarat secara tak langsung.

"Sepakat!"

Daniel berusaha menahan senyumnya melihat Alia yang terlihat beberapa kali lebih bahagia.

"Kapan tes beasiswa itu diadakan?" tanya Alia lagi.

"Kira-kira sebulan lagi."

Alia mengangguk paham. "Kalau begitu, setelah tes itu dan sebelum keberangkatanmu, bagaimana kalau kita mengunjungi makam Ayah dan Ibu?"

Alia sudah sangat yakin Daniel bisa lolos dalam tes itu. Sebulan persiapan adalah waktu yang terlalu lama untuk belajar bagi Daniel.

"Itu bagus. Aku juga berpikir demikian."

Senyum kembali merekah di bibir kecil Alia. Sudah beberapa bulan sejak mereka mengunjungi makam. Alia senang dengan Daniel yang sepemikiran dengannya. Walau perlakuan kedua orang tuanya yang begitu membatasi ruang gerak Daniel dahulu, tidak pernah ada keluhan yang disampaikan pada mereka atau Alia sekalipun.

Walau tak pernah mendapat penjelasan. Daniel mengerti kalau keputusan orang tua mereka itu adalah untuk kebaikannya juga. Waktu yang dihabiskan di ruang lingkup yang kecil itu juga menjadi bagian favorit dalam kehidupannya, sepanjang yang bisa dirinya ingat.

Atau sebenarnya, sepanjang ingatan sejak ia terbangun di rumah sakit karena cedera kepala yang menimpanya di umur delapan tahun.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!