"Ternyata kau sependapat denganku," ucap Henritz sumringah.
"Aku juga penasaran Hen dengan makhluk yang telah mencuri kantong darah itu. Apakah dia sebangsa denganmu, sebangsa denganku ataukah manusia serigala seperti dugaanmu, tapi feeling-ku mengatakan bahkan lebih kuat ke arah manusia yang hanya menginginkanku keluar dari rumah sakit itu."
"Kecurigaanmu wajar, bisa saja memang benar. Selama kita belum menangkap pencurinya kita bisa berspekulasi apapun."
Valenesh mengangguk.
"Sudahlah kita masak hari ini, memangnya kau mau berpuasa," goda Henritz.
"Aku pesan online saja ya Hen, entah kenapa tiba-tiba rasa malasku melanda," ujar Valenesh lalu terkekeh.
"Terserah kamulah Vale, aku nurut saja." Henritz ikut terkekeh.
"Ah kamu, jangan gitu dong Hen, dikit-dikit nurut. Aku berasa kayak menguasaimu saja. Kau berhak berpendapat," ujar Valenesh merasa tidak enak.
"Terus kalau aku komplain memang aku bisa masak?" tanya Henritz lalu cekikikan.
"Ya sudah deh, aku pesan online saja."
Henritz mengangguk setuju.
Sambil menunggu makanan itu datang mandi sana!" perintah Valenesh pada Henritz.
"Baik Tuan putri," jawab Henritz lalu berlari ke arah kamarnya.
"Hmm, meskipun kamu vampir, tapi karena kau hidup di dunia manusia maka kau juga harus mandi seperti manusia," gumam Valenesh lalu berjalan menapaki tangga menuju kamarnya sendiri.
Selesai mandi keduanya tiduran di atas sofa ruang tamu sambil menunggu pesanan makan datang.
Bel rumah tampak berdering membuat Valenesh langsung bangkit berdiri dengan membuka pintu.
"Nona pria ini ingin mengantarkan makanan," lapor satpam pada Valenesh.
Pria yang ditunjuk pak satpam mengangguk lalu menyodorkan kotak makanan ke arah Valenesh.
"Terima kasih, ini uangnya." Valenesh menyodorkan uang ke arah kurir itu.
"Pak ini uangnya," ujar Valenesh sambil menyodorkan uang ke tangan kurir itu.
"Eh, iya Nona," ujar kurir itu sebab sedari tadi tidak fokus pada Valenesh melainkan menatap ke dalam rumah, terutama pada Henritz yang tiduran di atas sofa.
"Oh ya Nona, boleh saya foto sebagai bukti bahwa pemesan telah menerima makanannya?"
"Harus ya Pak?"
"Ya peraturan di perusahaan tempat saya bekerja mengharuskan itu."
"Baiklah."
Jawaban Valenesh membuat kurir itu tersenyum licik.
"Pak satpam, wakilkan ya!" pinta Valenesh dan pak satpam langsung mengangguk setuju.
"Ini makanannya dan setelah selesai bawa ke dalam ya. Sorry ya Pak, saya demam kamera," ujar Valenesh pada kurir lalu melenggang masuk ke dalam rumah.
Kurir itu menatap Valenesh dengan raut wajah yang kecewa.
"Ayo Pak, katanya mau foto," ujar pak satpam.
"Ah iya, mari."
Sesudah mengambil foto satpam kurir itu masih terdiam di tempat.
"Tidak ada perlu lagi, kan? Maaf majikan saya tidak suka ada orang asing yang terlalu lama di rumah ini," ujar pak satpam sebab mencurigai lirikan mata kurir tersebut yang jelalatan kemana-mana. Pak satpam hanya takut pria itu pencuri atau perampok yang sedang mengincar rumah majikannya.
"Sudah, permisi!" Pria itu langsung melenggang pergi.
"Mencurigakan," gumam pak satpam.
"Dasar satpam jelek kurang ajar, dia mengusirku rupanya," ujar kurir mengumpat dalam hati lalu pergi dari rumah Valenesh.
Setelah memastikan kurir itu pergi, barulah pak satpam masuk ke dalam rumah dan memberikan makanan pesanan Valenesh tadi.
"Sepertinya Nona harus berhati-hati sebab pria tadi terlihat mencurigakan," ujar pak satpam memperingatkan.
Valenesh mengernyit, tetapi akhirnya mengangguk juga.
"Terima kasih Pak dan ini buat bapak." Valenesh menyodorkan satu kotak kecil untuk pak satpam.
"Terima kasih juga Nona, kalau begitu bapak permisi dulu!"
"Silahkan."
Di ruang tamu Valenesh dan Henritz menikmati sarapannya.
"Bagaimana kalau kita nanti ke rumah sakit?" tanya Henritz disela-sela makan mereka.
"Boleh," jawab Valenesh setuju.
"Oke. Hmm, sepertinya aku mulai menyukai makanan manusia, bervariasi dan enak-enak," ujar Henritz lalu tersenyum lebar.
"Bagus dong, syukur-syukur kamu tidak tergantung pada darah lagi," ucap Valenesh penuh harap.
"Mana bisa Vale? Sebanyak apapun yang aku makan tetap saja kebutuhan darah menjadi kebutuhan utama. Jika tidak mengkonsumsi darah lebih dari 2 minggu badanku akan terasa lemah."
"Oh begitu ya?"
Henritz mengangguk. "Andai saja aku bisa mengubah keadaan, aku ingin menjadi manusia saja agar bisa hidup sepertimu."
"Sudahlah Hen, semua adalah takdir yang tidak perlu disesali sebab tidak ada gunanya sama sekali. Yakinlah Tuhan menakdirkan dirimu menjadi vampir karena dirimu dibutuhkan di alam sana. Maka sejauh apapun dirimu melangkah jangan pernah lupakan bangsamu sendiri, apalagi kamu adalah seorang pangeran, bukan? Seharusnya kau merebut sesuatu yang menjadi hakmu. Jangan sampai jatuh ke tangan orang yang tidak benar."
"Iya Vale, tapi kamu adalah segala-galanya bagiku, daripada aku kehilangan dirimu lebih baik aku kehilangan tahta sebagai raja vampir."
"Itu tidak benar Hen, lakukan tugasmu dan aku akan selalu mendukungmu. Kalaupun kau tidak ingin menjadi raja, pastikan orang yang menggantikanmu adalah orang yang baik dan mengayomi rakyatnya."
"Iya Vale, lain kali aku pikirkan bagaimana caranya mengambil tahta dari Rodex, tapi sekarang tidak dulu, sebab aku tidak mau rakyatku menganggap serakah hingga demi tahta rela membuat kakaknya sendiri sakit keras."
"Aku mengerti perasaanmu, sudahlah lanjutkan makan saja!"
Selesai makan mereka langsung berpindah ke rumah sakit.
Awalnya keduanya muncul di ruangan Bank Darah.
"Kenapa tidak ada yang bertugas jaga?" tanya Valenesh bingung sebab tidak ada seorangpun di ruangan itu.
"Apa memang begini peraturan rumah sakit ini, melonggarkan penjagaan setelah kehilangan darah?" tanya Henrit heran.
"Seharusnya tidak, tapi mungkin di rumah sakit ini banyak orang yang menduga kalau akulah pencurinya. Jadi setelah aku keluar akan aman begitu." Valenesh menduga-duga.
"Bisa jadi."
"Sebentar aku telepon Smith dulu." Valenesh pun langsung menghubungi mantan rekan kerjanya itu.
"Bagaimana?"
"Kata Smith sekarang yang bertugas itu Anne. Entahlah mungkin dia terlambat padahal terlambat satu menit saja pemberian darah pada pasien kritis bisa menyebabkan kematian."
"Betul sekali. Bagaimana kalau kita ke ruangan direktur sekarang?"
"Oh rupanya kau masih penasaran dengan dia," ujar Valenesh lalu terkekeh.
"Mari jangan membuang-buang waktu!" ajak Henritz dan mereka pun langsung berpindah ke ruangan direktur rumah sakit. Namun, mereka bersembunyi dibalik lemari.
Di ruangan itu mereka langsung disuguhkan adegan kissing oleh sepasang kekasih.
"****! Aku tidak ingin menyaksikan tingkat mesum seperti itu."
"Menyaksikan tidak, tapi siapa tahu mau mempraktekkannya? Kalau mau saya siap-siap saja," bisik Henritz lalu mengedipkan sebelah matanya kemudian mendekatkan bibirnya ke bibir Valenesh.
"Ih!" Valenesh langsung menutup mulut Henritz dengan tangannya.
"Tuan Ansel saya harus kembali ke ruangan saya," ucap Anne.
"Tidak usah kau di sini saja, temani aku."
"Bagaimanapun kalau ada yang meminta darah?"
"Mereka sudah kusuruh menghubungiku langsung, jadi kamu tidak perlu khawatir."
"Bagaimana kalau ada yang mencuri kantong darah itu lagi? Saya butuh pekerjaan ini, jadi tidak ingin dipecat seperti Valenesh."
"Tenanglah kau tidak akan dipecat selama masih mau melayaniku dan masalah uang katakan saja yang kau butuhkan. Semakin bagus servismu semakin aku menuruti keinginanmu."
Ucapan Ansel membuat Valenesh ternganga.
Apakah itu artinya Anne menjual diri?
"Tapi apakah Tuan Ansel tidak khawatir rumah sakit ini akan kehilangan kantong darah lagi?"
"Kau tenang saja, selama bukan Valenesh yang bertugas maka kantong darah dipastikan tidak akan ada yang mencuri."
"Bagaimana Tuan bisa yakin?"
"Karena aku tahu siapa pencuri kantong darah yang sebenarnya."
"Apa?" Valenesh hendak mendekat ke arah Ansel untuk menegur pria itu. Namun, ditahan oleh Henritz.
"Informasikan belum jelas, jangan gegabah!"
Valenesh akhirnya diam di tempat.
"Siapa orangnya Tuan?" tanya Anne penasaran dan Valenesh menanti jawaban Ansel dengan hati yang berdebar-debar.
"Kamu tidak perlu tahu," jawab Ansel.
"Hen?" Valenesh meminta pendapat Henritz, tapi pria itu malah membawa Valenesh keluar ruangan.
"Mengapa kau membawaku ke sini?" protes Valenesh.
"Karena aku tidak mau keberadaan kita diketahui oleh pria itu. Biarkan saja pria itu menganggap kalau kamu tidak tahu apa-apa. Yang jelas pria itu wajib dicurigai."
"Kau benar Hen, bantu aku untuk mengungkap apa yang sebenarnya diinginkan Ansel."
"Pasti. Kita pulang sekarang!"
Sampai di rumah Valenesh mendapatkan telepon dari pelatih di club milikinya. Ada sesuatu yang harus dibicarakan mengenai bagaimana Club itu selanjutnya.
"Sepertinya aku akan sibuk Hen. Masalah penyelidikan itu aku tidak bisa melanjutkan untuk sementara," ujar Valenesh setelah menutup teleponnya.
"Tidak apa-apa biar aku yang mengurusi."
Sejak saat itu Valenesh dan Henritz memiliki kesibukan masing-masing. Henritz penyelidikannya sedangkan Valenesh dengan klub sepak bola miliknya.
"Hen tubuhku rasanya panas," ujar Valenesh pada suatu hari saat pulang dari Club untuk memberikan wejangan-wejangan pada penonton sebelum berlaga kembali.
Henritz langsung menyentuh dahi Valenesh.
"Istirahatlah Vale, kau demam."
Baru saja Henritz melepaskan sentuhan tangannya di dahi Valenesh, tiba-tiba tubuh Valenesh mendadak lemas dan pingsan.
Untung saja Henritz segera sigap menangkap, kalau tidak tubuh wanita itu sudah pasti membentur lantai.
Henritz langsung membawa tubuh Valenesh ke kamar dan menyuruh pak satpam untuk memanggilkan dokter.
Setelah diperiksa dokter, Valenesh belum juga bangun dari pingsannya.
"Apa tidak sebaiknya di rawat di rumah sakit?" tanya dokter setelah menunggu dalam waktu lama Valenesh belum sadar juga.
"Apa tidak bisa di rawat di rumah Dok?"
"Bisa bahkan, Nona Valenesh dulu juga dirawat di sini. Kalau begitu saya hubungi perawat dulu untuk membawa alat-alatnya ke rumah ini."
"Baik Dok."
"Dulu dia sakit apa Dok? Mengapa sampai pingsan seperti ini?" tanya Henritz penasaran.
"Kelelahan, tapi bukan hanya kelelahan fisik saja atau batin saja. Biasanya kalau Nona Valenesh seperti ini berarti keduanya terserang. Lelah fisik dan batin."
Henritz menghela nafas berat mendengar jawaban dokter.
"Apa yang dipikirkan Valenesh?" batin Henritz sambil mengompres dahi Valenesh dan bagian tubuh lainnya dengan telaten.
"Cepat sembuh ya Vale, rasanya hidupki tidak berwarna lagi jika tidak bisa melihat senyummu."
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
🥑⃟Serina
Gws Vale
2023-03-11
1