"Lapar," ucap Valenesh sambil melepaskan pelukan Henritz lalu beranjak ke dapur.
"Andai aku bisa memasak pasti aku akan membuatkan menu favoritmu," ujar Henritz sambil menyusul Valenesh dari belakang.
"Di dunia ini semua bisa dipelajari Henritz, asal mau berusaha pasti bisa."
"Kalau begitu bisakah kamu mengajarkan saya?"
Valenesh berbalik dan menatap mata Henritz. "Kau serius?" tanyanya sambil tersenyum.
"Kau meragukanku?"
"Tidak Hen tapi buat apa kamu belajar memasak toh kamu hanya butuh darah?"
"Kan sudah kubilang pengen masakin kamu, lagipula biar kamu bisa beristirahat dengan tenang saat aku telah menghisap darahmu seperti sekarang ini. Saat dalam keadaan lemah seperti ini kau masih harus memasak," sesal Henritz.
"Siapa bilang aku lemah? Buktinya aku masih kuat berlari kayak tadi," ucap Valenesh sambil mengambil selembar roti dan selai strawberry dari dalam kulkas lalu mengoleskan selai itu di atas roti.
"Ini namanya roti selai, ingat ya ini selai stroberi bukan darah." Valenesh lalu terkekeh, menertawakan kebodohan Henritz beberapa minggu lalu yang menganggap obat merah adalah darah.
"Tuh kan kau meledekku." Henritz cemberut membuat Valenesh terbahak-bahak.
"Iya deh aku memang bodoh," ucap Henritz kemudian.
"Bukan bodoh sayang tapi lucu." Valenesh tertawa lagi.
"Sudah jangan tertawa terus! Katanya lapar," protes Henritz membuat Valenesh diam seketika lalu menggigit dan mengunyah rotinya.
"Mau?" Valenesh langsung menyodorkan roti yang ada bekas gigitannya itu ke depan mulut Henritz.
Henritz memundurkan wajahnya lalu menggeleng.
"Kenapa? Oh ... jijik ya? Biarkan aku buatkan yang lain." Valenesh hendak mengambil roti lagi, tetapi Henritz menahan dan menarik tangannya lalu menggigit roti yang ada di tangan Valenesh.
Valenesh langsung tersenyum.
"Aku bukan jijik tapi tidak ingin kau berbagi makanan denganku saat ini karena kau sudah sangat lapar, bukan?"
"Nggak apa-apa Hen saya bisa buat lagi nanti, lagipula aku senang berbagi denganmu."
Henritz hanya tersenyum lalu mengangguk.
Valenesh menggigit roti di bagian lainnya.
"Kelihatan kalau kau malah yang jijik dengan bekas gigitanku," ujar Henritz lalu tersenyum.
"Sebenarnya bukan jijik sih dengan bekas gigitanmu hanya saja dirimu kan baru saja menggigit bahu dan menghisap darahku, takut aja masih ada bekas darah di sana. Masa iya saya makan darahku sendiri?"
Henritz hanya terekeh mendengar pernyataan dari Valenesh.
"Ya udah deh aku yang habiskan roti selainya, kau buat yang baru saja biar lebih higienis." Henritz mengambil sisa roti di tangan Valenesh.
Valenesh lalu membuat roti selai lainnya dan langsung memakannya sendiri.
"Hen, bolehkah aku meminta sesuatu?" tanya Valenesh dengan ekspresi yang begitu serius disela-sela makannya.
"Boleh saja Vale asalkan jangan memintaku untuk menjauhimu. Katakan apa yang kamu inginkan dariku?"
"Tidak banyak, hanya ingin kau menyikat gigimu setelah menghisap darah."
Tawa Henritz langsung meledak. "Kau wanita yang mengutamakan kehigienisan ternyata."
"Ya begitulah."
"Oke-oke saya setuju."
Setelah kenyang Valenesh duduk di sofa ruang tamu sambil menyandarkan bahunya.
Henritz datang dengan kotak obat di tangannya.
"Kau terluka Hen?" tanya Valenesh khawatir.
"Tidak Vale."
"Terus?" Valenesh menatap Henritz dengan perasaan aneh.
"Hanya ingin membersihkan luka-lukamu dan memberikan obat merah seperti yang kau lakukan padaku, agar kulitmu tidak infeksi."
"Tidak perlu Hen, tubuhku masih kotor juga, lebih baik aku mandi sekarang." Valenesh bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar.
Sampai di dalam, wanita itu langsung menyambar handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Di dalam kamar mandi Valenesh lalu menghidupkan shower air panas dan air dingin secara bersamaan agar menghasilkan air yang hangat sebab dia tidak ingin kedinginan karena harus mandi saat malam hari.
Selama Valenesh mandi, Henritz juga masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamarnya sendiri dan menyikat gigi. Setelahnya dia kembali lagi ke ruang tamu untuk menunggu Valanesh.
"Kau juga sudah mandi?" tanya Valenesh sambil menuruni tangga lalu berjalan ke arah Henritz.
"Aku tidak perlu mandi Vale, begini saja sudah bersih." Henritz mengibaskan tangan di tubuhnya. Benar saja keadaan tubuh Henritz langsung berubah segar seperti habis mandi bahkan tubuhnya mengeluarkan bau harum.
"Keren, tapi apakah sudah menyikat gigimu?"
"Kalau itu sudah, apapun yang kamu inginkan selama aku bisa menjalankannya pasti aku lakukan," ujar Henritz begitu percaya diri.
"Kalau begitu lain kali aku menginginkanmu mandi," ujar Valenesh dengan ekspresi yang terlihat serius.
"Hmm, susah ya ternyata kalau punya kekasih tenaga medis?"
Valenesh menatap tajam mata Henritz.
"Iya deh iya, aku nurut."
Valenesh malah terkekeh. "Pokoknya aku tidak suka apapun yang jorok."
"Hmm."
Sepertinya aku harus mengubahnya kebiasaanku nih.
"Kalau begitu sekarang aku obati bekas gigitanku ya?"
Valenesh mengangguk.
Henritz menyingkap kerah baju Valenesh lalu membersihkan lukanya kemudian membubuhkan obat merah.
"Sorry ya Vale, karena aku bahu mulusmu jadi ternodai seperti ini."
"Nggak apa-apa Hen."
Valenesh menghela nafas panjang.
"Hen besok bisa ikut aku ke lapangan?"
"Besok? Ke lapangan? Ngapain?"
"Untuk bertemu teman-temanku. Sepertinya mereka sudah mendapatkan club yang bisa aku beli."
"Club? Tempat orang-orang berjoget dan mabuk-mabukan itu? Kau ingin membeli tempat seperti itu?"
"Ya ampun Hen kau pikir club malah, hahaha." Valenesh tertawa renyah.
"Terus apa dong?"
"Club sepakbola."
"Kau yakin Vale?"
Valenesh mengangguk.
"Kapan menemui teman-temanmu?"
"Besok jam 7 malam. Kalau hari Senin seperti besok biasanya mereka sibuk kerja seharian, jadi latihannya mengambil waktu malam hari."
"Memang aneh ya kalau seseorang sudah menyukai sesuatu, meskipun sudah lelah sehabis bekerja masih saja ingat sama latihan."
"Ya begitulah Hen kalau sudah suka bola, mereka masih mending suka biasa. Nah aku sendiri malah gila bola. Seremuk-remuknya nih badan kalau sudah ada pertandingan sepakbola pasti saya akan hadir, baik di lapangan langsung maupun menonton melalui layar lebar bersama banyak orang. Aku bahkan sering tukar shift kerja hanya demi bisa menonton pertandingan sepakbola. Kalau kelewatan pertandingan itu kepalaku rasanya mau meledak."
"Benar-benar gila," heran Henritz.
"Bagaimana, kau bisa ikut?"
"Oke siap."
Mengingat waktunya yang malam hari Henritz berpikir tidak ada salahnya untuk ikut. Dia juga ingin melindungi Valenesh dari bahaya apapun yang bisa saja tiba-tiba menyerang.
Esok malam.
Valenesh membawa Henritz menemui teman-temannya yang sedang mengadakan latihan.
"Bagaimana Drew sudah dapat?"
"Givanno tuh katanya mendengar ada club yang akan dijual."
"Iya Val, Starfool fc. katanya akan dijual karena pemiliknya sedang bangkrut sehingga tidak bisa membayar pemainnya," ujar Givanno.
"Menurutmu bagaimana Drew?" tanya Valenesh.
"Kalau menurutku kamu beli sajalah Val, nanti kita urus tuh club bareng-bareng. Kita semua siap membantu, iya nggak teman-teman?"
"Siap," jawab semua yang hadir serentak.
"Cuma kau tahu sendiri kan Val, kelemahan club itu ada beberapa pemain yang tidak bisa diandalkan. Jadi kayaknya perlu dirombak dan diganti."
"Kalau itu mah gampang nanti saya akan meminta pelatih agar mencarikan pemain untuk mengisi posisi yang kosong itu biar pemain yang tidak bisa diandalkan menjadi pemain cadangan saja dulu."
"Kalau begitu bagaimana kalau saya antar malam ini juga pada pemilik club itu, sebab bisa saja kedahuluan orang lain?"
"Oke siap Givan."
"Baiklah kalau begitu saya antar."
Valenesh mengangguk. Andrew dan Giovanno beserta Henritz berjalan ke mobil Valenesh sedangkan yang lainnya melanjutkan latihan.
"Saya cabut dulu ya teman-teman!" seru Valenesh pada semua teman-temannya yang bertahan di lapangan.
Valenesh pun memberikan kunci mobil pada Giovanno agar pria itu saja yang menyetir karena pria itu yang tahu dimana pemilik club itu bisa ditemui saat ini.
Setelah mencapai kesepakatan dengan pemilik club, Valenesh akhirnya resmi membeli club bernama Starpool fc itu.
"Sekarang tinggal pelatihnya," ujar Valenesh.
"Aku ada rekomendasi pelatih, bagaimana kalau sekalian kita temui sekarang?" usul Andrew.
"Boleh."
Akhirnya Valenesh dibantu Andrew menunjuk seorang pelatih.
"Mr, saya minta tolong agar bisa mendapatkan pemain berbakat dari luar club." Valenesh pun menceritakan tentang club yang dibelinya itu.
"Kalau masalah itu serahkan saja padaku."
"Baiklah."
Pelatih pun memerintahkan seorang pencari bakat untuk mencari pemain sepakbola yang berbakat dari berbagai daerah dan luar negeri untuk mengisi kekosongan tim.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
🛡️Change⚔️ Name🛡️
Aku kira Club' malam 😁😁😁
2023-03-04
0
🛡️Change⚔️ Name🛡️
Lah ko mau masakin Vanesh sih? 🤔
2023-03-04
0
Ir Syanda
Gak apa2 asakan itu bekas kamu, bukan bekas pria lain 🤭
2023-03-04
1