Tak Usah Malu Menjadi Diri Sendiri

Ini hari Minggu. Hari yang selalu disukai orang-orang. Hari dimana orang-orang menghapus penat setelah berkeringat dari senin hingga sabtu.

Di hari minggu, kebanyakan orang memlilih berlibur. Mal tak pernah sepi. Di salah satu Mal di Ibu Kota, tepatnya di tempat penjualan buku di dalam Mal itu, disanalah perilisan buku terbaru dari penulis muda cukup sukses sekaligus penulis favorit Fina, Lindy, diselenggearakan.

Lindy duduk di atas panggung kecil bersama beberapa orang yaitu host dan pihak penerbit. Lindy terlihat bersinar hari ini, seperti senyumnya. Momen ini mengingatkan Fina pada hari saat Dokter Gerald memberikan bimbingan. Kedua orang itu hebat. Suatu saat, Fina ingin berada satu baris dengan mereka yang bisa duduk disaksikan banyak orang, bicara di dengan banyak orang dan menyalurkan kekuatan kepada orang-orang tersebut.

“Dulu saya pernah ada di moment-moment saat saya merasa tidak percaya diri. Saya merasa insecure. Rasanya untuk melangkah keluar pintu saja takut. Rasanya malu dilihat orang-orang. Merasa saya tidak cukup baik untuk mereka. Merasa saat memiliki kesalahan yang membuat saya tak pantas di terima di masyarakat.” Mata Lindy berkaca-kaca. Ada kenangan-kenangan masa lalu marasuki tubuhnya lagi.

Fina yang duduk bersebelahan dengan Dokter Gerald merasa tersayat oleh setiap kata yang Lindy tuturkan. Begitupun dengan orang-orang yang memenuhi kursi di hadapan panggung kecil itu.

“Tapi perlahan saya sadar. Kita hidup bukan untuk memenuhi ekspetasi orang-orang terhadap kita. Kita hidup bukan untuk menjadi seperti yang orang-orang inginkan. Gak ada standar untuk bisa diterima di masyarakat. Kita cukup baik, kok. Kita tak harus jadi sempurna, karena kita sudah sempurna. Kita sempurna dengan cara kita.” Lindy menekankan beberapa kalimat terakhir yang diucapkannya dengan gelora semangat. Air mata mengucur di pipinya. Lantas deru tepuk tangan dari antusias penonton menyambut.

“Maka dari itu, saya tulis buku ke-3 saya, yang saya beri judul: ‘Tak usah malu menjadi diri sendiri’’ Satu tangan Lindy memegang mikrofon, satunya lagi mengangkat buku terbarunya, menunjukkan sampul buku itu yang cantik dan penuh arti-seseorang yang sedang memeluk dirinya sendiri-. Riuh tepuk tengan kembali bergemuruh baik ombak yang sedang pasang.

Lindy menyeka air matanya. Begitu juga dengan Fina. Fina ikut menangis. Cerita Lindy sangat relate dengan yang dia rasakan.

“KALIN HEBAT!!!!” teriak Fina sembari tersedu, membuat Lindy menoleh ke arahnya dan melemparkan senyum.

Dokter Gerald yang melihat wajah Fina berlumur air mata peka menyodorkan tissue kepadanya. Dokter itu sudah punya insting moment ini akan berakhir dramatis,

“Dokter kok gak nangis, sih? Orang kayak Dokter pasti gak pernah insecure?” tanya Fina seraya mengelap cairan yang keluar dari hidupnya dengan tisu.

“Kata siapa? Pernah. Dulu waktu kecil Dokter pernah jatuh dari sepeda sampai wajah Dokter lecet-lecet parah. Dokter sampai gak mau keluar ruman berbulan-bulan karena malu.”

“Tapi, kok, sekarang ganteng?” pertanyaan spontan dari Fina tanpa bisa ia kontrol. Andai saja dia dalam keadaan sadar, pasti dia tak akan menanyakan hal tersebut karena malu.

“Namanya luka, pasti bakal sembuh.” Dokter Gerald tersenyum pada Fina. Senyumnya sempurna. Sempurna apa adanya.

...***

...

"Permisi... Tante... Win...” suara seseorang menggelegar di rumah mewah nan besar yang berdiri di tepi jalan. Sebenarnya untuk rumah sebesar itu disediakan bel dan cewek itu sudah menekannya berkali-kali, hanya saja ia tak cukup sabar dan terus berteriak bak dalam hutan.

“Iya, sebentar!!” Seorang Wanita membukakan pintu dan langsung bersorak kegirangan mlihat siapa yang datang. Dari suaranya saja sudah dapat ditebak siapa tamu tersebut. Mereka berdua berpelukan dan masuk ke dalam rumah Win. Mama Win, Kate, memang sudah lama akrab dengan Felisha. Hal tersebut karena Mama Felisha adalah teman dekat sekaligus rekan arisan Kate. Kate dan Felisha kalau sudah dipertemukan mereka bisa mengobrol lama, membicarakan barang-barang branded.

“Tumben datang ke sini? Mau ketemu Win, ya?” tanya Kate duduk sembari berjalan ke ruang makan karena kebetulan Win sedang berada di sana menyantap kebab.

“Mau ketemu Tante juga dong. Nih aku bawain hadiah.” Felisha memberikan kertas box di genggamannya pada Kate.

“Wah... Apaan nih? Jadi ngerepotin.” Kate merasa tak enak dibawakan sesuatu.

“Bukan apa-apa. Cuma baju. Semoga Tante suka.”

“Tuhkan, apa aku bilang. Pasti si Nenek Lampir.” Win yang sedang menggigit kebab di meja makan dengan pakaian seadanya –kaos plos dan celana pendek- menceletuk. “Orang gila mana lagi yang mencet bel berkali-kali tanpa jarak sambil teriak-teriak.”

“Win! Ucapannya, ah!” Kate memelototi Win. Kate sudah tahu kalau Win tak menyukai Felisha. Jadi sudah biasa kalau ia mendengar ucapan semacam tadi keluar dari mulut Win.

“Fel, kamu duduk dulu aja, nanti Tante buatin kebab.” Kate segera ke dapur membuatkan kebab untuk Felisha.

Felisha duduk di kursi tepat di hadapan Win. Win menghela napas berat, kesal.

Felisha mendekatkan bibirnya ke arah Wn, melirih. “Gue gak gila, ya, gak kayak pacar lo.”

BRUKK!!!!

Perkataan Felisha sukses membuat Win menghentak meja makan yang terbuat dari kayu jati hingga mendengingkan bunyi yang nyaring.

“Win, ada apa?” tanya Kate.

Win hanya diam menahan amarah. Napasnya memburu seiring memerah wajahnya. Tapi sayangnya, ia tak bisa meluapkan emosinya pada Felisha karena ada mamanya yang pasti akan menjadi tameng untuknya.

“Win pengen ke kamar, Mah.”

Baru saja Win ingin melangkah ke tangga pertama untuk mencapai lantai 2, tiba-tiba Kate menahan tangannya. “Enggak! Ada Felisha datang jauh-jauh, kamu harus temani dia sini. Itu namanya sopan santun, Win!”

Win menarik kembali kakinya dari tangga. Ia kembali duduk di meja makan bersama Felisha dan Kate.

“Kalian di sekolah gak kayak gini, kan?” tanya Kate khawatir.

Felisha yang sedang menikmati kebab buatan Kate mengelak. “Enggak kok, Tante. Kita kayak biasa aja. Cuma belakangan ini, kok, gue ngerasa agak renggang, yan Win?” tanya Felisha pada Win. Win sama sekali tak punya selera untuk mengobrol dengan Felisha.

“Tauk! Tanya aja kerang ajaib.” Win mengedikkan bahunya.

“ Iya... Hubungan kita agak berjarak semenjak lo dekat dengan cewek ganguan mental itu,” ujar Felisha ceplas-ceplos, menciptakan respon kaget kepada Win.

“Hah? Maksudnya?” Kata menautkan alisnya, meminta penjelasan.

“Iya, Tante. Jadi, disekolah aku ada anak depresi gitu. Kasian deh. Dia jadi kayak aneh gitu. Selalu sendiri, gemetaran.” Felisha menjelaskan. Kontak, Win langsung mendapat tatapan dari Kate. Apa artinya?

“Lo gak usah sok tahu, Felisha. Lo gak kenal siapa Fina. Lo gak bisa nyimpulin dia seperti itu.” Win tak terima Fina disimpulkan seperti itu oleh Felisha.

“Iya deh, kan yang paling dekat sama dia elo. Apa jangan-jangan kalian udah pacaran?” tanya Felisha, memancing-mancing. Win semakin mengerung.

“Apa benar, Win...?” tanya Kate dengan tatapan yang sulit diartikan. Semacam sebuah tatapan peringatan.

“Emang kenapa kalau pacaran? Kalau aku suka sama dia?” Win berdiri, meninggalkan meja makan tanpa harus mendapat jawaban dari keduanya. Ia menaiki tangga, menuju kamar tidurnya.

“Win...” Panggil Kate, setengah berteriak yang tak mendapat balasan apapun.

Kate merasa tak enak pada Felish. Setiap kali cewek itu kesini, Win tak pernah memperlakukannya dengan baik. “Maaf, ya, Fel.”

Felisha mengangguk, melanjutkan memakan kebab. Paling tidak rencananya berhasil.

...***

...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!