Fina berdiri di rooftop. Kali ini ia tak terpejam. Matanya melek menatap perkampuangan di depannya. Suasana lengang. Fina beralih menatap tulisan di dinding pembatas.. Ia masih bisa melihat nama Win dan dirinya disana. Fina mendekat. Ia berjongkok, memegang tulisan itu.
“I miss you,” lirih Fina tulus.
“I miss you too.” Tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang. Fina menoleh. Suara itu berasal dari Win yang sudah berada tak jauh di belakangnya dengan ajaib.
Fina berdiri. Mereka saling berhadapan. Lidah Fina masih beku, Ia tak bisa berbicara apa-apa. Tetapi entah mengapa, rasanya Fina hanya ingin menangis. Menangis di hadapan Win. Mata gadis itu sudah mulai terbenam air tipis.
Win seakan mengerti perasaan Fina. Ia tersenyum teduh, seolah berkata: “Semua baik-baik saja.”. Win merentangkan tangannya, memberikan tubuhnya untuk Fina.
Fina langsung mendekat dan memeluk cowok itu. Air matanya tumpah, membayangkan betapa dinginnya sikap Win kepadanya kemarin.
“Kenapa? Kenapa kamu bersikap seperti itu? Fina mendongak, menatap mata Win yang penuh rasa bersalah.
“Sorry...” Win melirih. “Aku pikir itu yang kamu mau.”
Sebenarnya, Win pun ta mau melakukan hal seperti kemarin. Hatinya teriris dan terserang rasa bersalah tiap kali habis berpapasan dengan Fina.
“Terus waktu di Mall...?” Fina meminta penjelasan.
“Felisha dekat sama mamaku. Karena Mama Felisha teman dekat Mama. Mama suruh aku antar Felisha ke Mall, dan aku gak bisa nolak,” jelas Win, tak mau ada kesalah-pahaman.
“Jangan, bersikap kayak kemarin lagi, ya? Itu menyakitkan.” Fina memohon. Ia melepaskan pelukannya dan mendongak menatap Win.
“Jangan mengabaikan aku lagi, ya? Itu juga menyakitkan.” Win meminta satu permintaan juga.
Fina mengangguk. Win menyeka air mata di pipi Fina.
“Udah jangan nangis lagi. Aku jadi pengen ikut nangis.” Mata Win berkaca-kaca.
Fina malah tertawa mendengar ucapan Win. Sifat cowok itu kembali lagi.
“Peluk aku sekali lagi,” suruh Win.
Fina menurut, memeluk Win sekali lgi.
Win mengecup pangkal rambut Fina. “I hope you know how much i love you,” ucap Win tulus.
Cekrek!!
Satu foto berhasil diabadikan.
Kedua anak buah Felisha diam-diam menguntit Win hingga ke rooftop. Mereka bersembunyi di balik pintu rooftop, menjadi mata-mata, memotret moment kehangatan Win dan Fina yang sedang berpelukan. Devi dan Helena bergegas menuruni anak tangga setelah mengambil beberapa foto. Are you readny, Fina, for your choice?
...***...
Istirahat sekolah sedang berlangsung. Fina berinisiatif pergi ke kantin, mendatangi meja Win dan teman-temannya. Win langsung menggeser tubuhnya, memberikan tempat duduk kepada gadis yang disukainya itu.
Kantin membludak. Meja Win & the geng terisi penuh. Letta dan Fuji menambah ramai suasana. Kini ada 3 pasangan di meja itu. Dengan satu jomblo terselip, yaitu Ahdan. Ahdan tempaknya masih berusaha mencari pujaan hati yang tepat untuk menyaingi teman-temannya.
“Cari pacar lo! Udah pada taken nih! Lo doang yang masih tertekan!” Dery yang duduk di hadapan Ahdan menepuk bahunya iseng. Disebelah Dery, ada pacarnya yang menemaninya.
“Ah... Kenapa harus diburu-buru? Ingat, yang tepat tidak dipertemukan secara cepat.” Ahdan berperangai layaknya motivator bijak.
“Jonny lo gak takut basi, kelamaan?” Win menceletuk.
Kontak, Ahdan langsung mengintip sesuatu dibalik celananya, membuat cewek-cewek buru-buru menutup mata dan berdecak jijik. “Aman, kok. Belum tumbuh jamur.”
“Jorok banget sih lo, Ahdan. Mata pacar gue ternodai,” semprot Hersa membantu menutupi pandangan Fuji dari Ahdan.
“Jamur kok tumbuh jamur.” Dery menyeringai yang disambut gelak-tawa dari cowok-cowok.
“Jorok banget ih pembicaraannya. Pindah, nih.” Letta berdiri, bergegas pergi, namun langsung ditahan oleh Hersa dengannya.
“Sini aja, Yang.” Hersa memohon. Tak biasanya dia berbicara dengan nada manja seperti itu. Letta lulih dalam sekejap. Ia kembali duduk, menemani Hersa.
“Duh, pada sosweet-sosweet banget, sih. Gue juga bisa, kali.” Win memeluk Fina dari samping erat. Fina hanya tersenyum menyeringai, meskipun itu membuatnya sesak napas.
Dari kejauhan, Felisha menangkap moment itu. Ia yang baru saja datang ke kantin dengan membawa toa pengeras suara dan didampingi kedua temannya, bersiap melakukan aksinya.
Fina melihat gerak gerik Felisha yang mencurigakan dari tempat duduknya. Felisha memberikan senyum kecut kepada Fina, seolah memberi tanda sesuatu yang besar menantinya.
Felisha naik ke salah satu meja di kantin. Sontak, perhatian seisi kantin tertuju pada gadis yang tengah menjulang itu. Tak terkecuali Win dan rekan-rekannya.
“Mau ngapain lagi dia,” ucap Win seolah sudah tak heran dengan sikap Felisha yang gemar berbuat onar.
Sedangkan di sebelah Win, Fina terpaku. Melihat toa yang dibawa Felisha, firasat buruk mulai menyeruak ke sekujur tubuhnya.. Kakinya gemetar.
“Perhatian semuanya!!” Felisha menyedot perhatian seantero kantin. Sebagian orang menatao malas ke arahnya, tak ada niatan untuk menanggapi.
“Kalian mau tahu gak, kalau di sekolah kita ada siswi yang punya penyakit jiwa!” ucap Felisha dengan toanya. Suarasanya menggema di kantin.
Siswa siswi yang tadinya tidak peduli sama sekali, menegakkan bahu, berubah antusias mendengar ucapan Felisha. Aktifitas yang mereka lakukan, seperti makan, mengobrol, belajar, terhenti sejenak. Semuanya fokus total ke perempuan yang tengah mengumumkan sesuatu itu.
Tubuh Fina semakin berguncang. Win yang melihat reaksi Fina nampaknya mulai bisa menebak hubungan cewek itu dengan yang diucapkan Felisha.
“Ini bukan omong kosong! Kalau kalian gak percaya, kalian perhatikan aja gerak-geriknya. Karena kebetulan orangnya ada di sana.” Felisha mengarahkan telunjuknya tepat ke tempat Fina duduk. Perhatian siswa-siswi spontan langsung mengikuti arah tunjukkan Felisha, berganti memandang Fina. “Namanya Fina Amalia dari kelas XII- IPA 2.”
Tubuh Fina memberikan reaksi berlebih saat ini. Pertama karena namanya disebut oleh Felisha, kedua karena sekarang ia menjadi pusat perhatian seluruh kantin.
Tubuh Fina berguncang hebat. Itu bisa terlihat kentara dari tangan, kaki dan bibirnya. Seperti seseorang yang sedang menggigil. Fina merasa tak sanggup berlama-lama di tempatnya. Ia mengambil keputusan untuk pergi dari sana untuk dari situasi yang tiba-tiba menurut Fina berubah menyeramkan.
Melihat reaksi Fina, orang-orang meyakini kalau ucapan Felisha mungkin saja benar.
Fina pergi ke rooftop. Tubuhnya masih terserang kecemasan. Ia melihat kedua tangannya yang hilang kendali. Fina menangis. Rasanya begitu menakutkan berada di antara stigma masyarakat yang masih tabu prihal kesehatan mental.
Fina terus menangis. Tingkat kecemasannya naik. Ia takut. Takut pemikiran orang terhadapnya. Takut pandangan orang terhadapnya. Takut dikucilkan. Takut dijauhkan. Segala macam ketakutan merekah di benak Fina.
Fina tersedu-sedan. Tiba-tiba dari belakang tangan seseorang mendekap dadanya.
“Tenang, ya, ada aku disini,” lirih Win menenangkan. Fina bersandar di dada bidang cowok itu. Win memejamkan mata. Meresapi kehangatan tubuh cewek itu,
Seperkian detik senyap. Fina merasa lebih lega sekarang. Win melepaskan pelukannta. Ia membalikkan tubuh Fina, menghapus sisa air yang menempel di pipinya.
“Semua akan baik-baik saja. Aku akan bantu kamu hadapi semuanya.” Win berkata begitu tulus. Melihat orang yang dia sukai dikerumuni kecemasan adalah pemandangan yang sangat tak mengenakan.
Fina mengangguk. Ia percaya pada Win.
“Duduk, yuk.” Win duduk di teras rooftop, menekuk kedua lututnya. Ia menarik tangan Fina, mengajaknya duduk bersama. Seharusnya mereka sudah masuk kelas. Jam istirahat telah usai. Tetapi sepertinya untuk kondisi seperti ini mereka akan membolos pelajaran hingga pulang.
“Semoga sunset dari sini bagus,ya?’ ucap Win menengadahkan kepalanya ke langit.
“Makasih, Win. You arealways here.” Fina berkata lemas.
Win menatap mata Fina yang masih terlihat sayu. “Makasih juga, udah merasa tak terusik karena ada aku di sini.”
Fina hanya terdiam. Win membaringkan kepala Fina dengan lembut di bahunya. “Mata kamu, pikiran kamu, tubuh kamu, perlu istirhat. Tidur, gih. Nanti kalau sunsetnya muncul aku bangunin,’lirih Win.
Fina menurut. Ia memejamkan matanya. Tubuhnya rasanya lelah sekali. Matanya lelah mengeluarkan seluruh kapasitas air mata yang ia punya.
Win merenung, melihat Fina yang tidur di pundaknya. Tatapannya dalam. Ia ingin selalu menjadi bahu tempat Fina bersandar.
'Gak usah takut, ya, peri cantikku. Aku gak akan biarkan siapapun menyakitimu.' Batin Win.
Langit semakin sore. Bel pulang sudah berbunyi. Sekolah smakin sepi. Tapi mereka berdua masih di rooftop. Fina masih tertidur di pundak Fina. Waajah cantiknya tak berkurang sedikitpun meskipun dalam kondisi tak sadarkan diri.
Matahari berada di kaki langit.Goresan orange menbaur.Win membangunkan Fina. Cowok itu sedikit takjub ternyata senja dari atas gedung sekolah mereka cukup indah.
Fina memelekkan matanya. Ia tersenyum. Senja adalah pergantian. Sebuah pergantian. Dari siang ke malam.Dari matahari ke bulan. Dari satu emosi ke emosi lain.
...***
...
Matahari telah sepenuhnya menghilang dari langit. Hari menjadi malam Win dan Fina meninggalkan sekolah saat keadaan sangat senyap. Hanya ada beberapa guru, beberapa siswa yang punya urusan, dan beberapa satpam.
Motor Win melesat. Mereka tiba di depan pagar rumah Fina. Ada motor gigi terpajang di teras rumah itu. Tandanya Bapak sudah pulang.
“Kalo cemasnya muncul lagi, telepon aku, ya?” pinta Win.
“Emangnya kamu pengen ngapain?” Fina menaikkan satu alisnya.
“Pengen ngomong sama cemasnya. Ngapain, sih, betah banget sama kamu. Aku kan jadi cemburu!” Win berkata dengan nada kesal, seolah ingin meninju kecemasan yang selalu mengganggu Fina hingga terpental ke langit.
Fina tersenyum. “Yaudah, aku masuk dulu, ya.”
“Iya. Tapi janji, ya? Telepon aku! Aku gak suka lihat kamu kayak tadi.” Win mengingatkan sekali lagi.
Fina mengiyakan dengan nada panjang. Sehabis itu, Win meninggalkan pekarangan rumah Fina. Fina bergegas masuk ke dalam rumah, menemui bapaknya.
...***
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
✤͙❁͙⃟͙Z͙S͙༻𝘼𝙎𝙍𝙄k⃟K⃠
ceritanya menarik dan tulisannya rapi sekali.aku aja yg cewek kalah,masih acak2an banyak typo lagi
2023-02-21
1