Seorang anak kecil sedang menikmati es krim rasa stroberi di cup yang di dalamnya di lengkapi dengan potongan berbahan stroberi. Anak yang manis, semanis es krim yang baru saja dibelinya dari Abang es-krim di mobil tak jauh dari tempatnya duduk.
Anak manis itu tiba-tiba menangis. Wajah senangnya beberapa detik lalu hilang dalam sekejap. Es-krim dalam genggamannya habis dan anak itu masih menginginkannya, tetapi uang jajannya sudah habis.
“Nih, ambil yang punya saya.” Seorang anak laki-laki yang tampaknya 5 tahun lebih tua dari anak manis itu dengan kedewasaannya memberikan es krim miliknya kepada anak manis itu. Anak pintar itu sepertinya sudah bisa menebak alasan ia menangis hanya dengan melihat cup es-krimnya yang kosong.
Anak perempuan itu mengambil pemberian es-krim dari anak laki-laki. Meskipun bekas, tetapi isinya masih hampir penuh. Rasa es-krim mereka pun sama: Es krim stroberi. Rasa kesukaan Fina kecil.
“Andro,” perkenalan dari Anak laki-laki berusia 11 tahun itu. Andro mengulurkan tangannya. Ia duduk di samping Fina. Di kursi besi yang mengarah langsung ke lapangan hijau yang luas.
“Fina.” Fina membalas uluran tangan Andro dengan tangan mungilmya yang basah karena baru saja mengusap air mata.
“Kamu mau gak jadi teman aku?” tanya Fina mendadak sembari menikmati es-krim yang sebelumnya milik Andro.
“Kenapa nanya gitu?” Andro bingung. Mereka baru saja bertemu beberapa detik lalu, tetapi Fina sudah menawarkannya ntuk menjadi temannya.
“Biar aku terus-terusan dikasih es-krim hehe,” Fina menyengir dengan es krim di atas bibirnya yang menyerupai kumis.
Fina dewasa membuka matanya. Ia baru saja memimpikan kejadian beberapa tahun silam. Tidak-tidak! Itu bukan mimpi! Itu kejadian nyata saat Fina masih kecil. Fina memutar otaknya. Mengapa anak itu muncul lagi ke dalam hidupnya. Rasanya Fina sudah lama melupakannya. Lagipula, pertemuan mereka kala itu hanya tak bertahan lama. Tetapi mengapa hari ini, Fina memimpikannya? Apakah ini sebuah pertanda?
Hari ini Fina memiliki jadwal konsultasi dengan Dokter Gerald. Ini hari sabtu. Sekolah libur. Fina bersiap, berdandan untuk menemui Dokter Gerald. Sepertinya ia sudah tahu apa yang ingin dibicarakannya dengan Dokter Gerald.
Fina datang ke klinik dokter Gerald. Dokter Gerald sudah berada di sana dengan kemeja putih dan celana bahan panjang. Ketika praktek, ia memang tak menggunakan pakaian dokter seperti jaz atau semacamnya. Ia hanya menggunakan pakaian santai-sopan. Hal ini ditujukan untuk memberikan kenyamanan kepada pasiennya yang hendak melakukan konsultasi.
Mereka duduk di sofa yang biasa mereka tempati masing-masing.
“Hai, Fina, gimana kabarnya?” percakapan dimulai dengan menanyakan kabar. Itu adalah hal utama bagi seorang psikologi kepada pasiennya. Dokter gerald menumpuk kakinya, membuat ia terlihat duduk lebih santai.
“Baik, Dok. Social Anxiety saya membaik. Dokter benar. Saya harus lebih percaya diri dan melakukan relaksasi untuk mengatasi kecemasan saya.,” Fina meyakini perkataan Dokter kepadanya saat terakhir mereka melakukan konsultasi.
“Syukurlah. Sejatinya, cemas itu adalah respon tubuh kita, Fina. Jadi, ketika kamu cemas di keramaian, biarkan saja cemas itu hadir. Biarkan dia mengalir, kemudian hilang dengan sendirinya,” jelas Gerald mengenai kecemasan.
“Kalau orang jaman dulu, dia cemas ketika hendak lihat harimau. Jaman sekarang, musuhnya bukan harimau lagi. Tapi pemikiran orang, penilaian orang, masa yang belum terjadi dan sebagainya. Tetapi sebenarnya keduanya sama. Kita perlu beri waktu tubuh kita untuk merespon cemas itu,” sambung Gerald membuat Fina lebih paham bagaimana mengontrol kecemasannya.
“Baik, Dok. Terimakasih penjelasannya.” Fina manggut-manggut, menyunggingkan senyumnya. “Oh iya, Dok. Semalam aku mimpi seorang anak kecil yang dulu sempat aku temui di masa kecil. Aku tidak tahu mengapa mimpiku ke arah sana.”
“Oh, ya?” Gerald merespon sedikit ganjil ucapan Fina kali ini.
Fina terangguk, meyakinkan.
“Kalau tidak mengganggu, biarkan saja,” saran Dokter Gerald.
Fina terangguk sekali lagi.
Sesi konsultasi berakhir. Dokter dan Fina keluar dari ruangan.
“Oh iya, Fina. Di luar konsultasi, kamu lihat saja sebagai Gerald saja. Bukan sebagai Dokter kamu. Biar lebih nyaman. Tapi tetap panggil Dokter juga gak-papa kalau kamu nyamannya begitu.” Gerald meminta satu permintaan kepada Fina. Fina manggut-manggut, sama sekali tak merasa keberatan akan hal itu.
“Kamu pulang naik apa?”
“Naik ojek online kayaknya, Dok.”
“Maaf saya gak bisa antar. 15 menit lagi ada konsultasi online. Kamu gak pa-pa sendiri?” Gerald merasa berat hati tak bisa mengantar Fina pulang.
“Iya, gak pa-pa, Dok. Makasih banyak, ya, Dok, untuk hari ini. Saya pamit pulang.” Fina berjalan ke luar klinik untuk segera memesan ojek online setelah mendapat anggukan dari Gerald.
“Eh, Fin,” panggil Gerald menghentikan langkah Fina. Mereka terlihat lebih akrab ketika Gerald memanggil Fina dengan sebutan “Fin”.
“Nanti malam ada acara gak?” tanya Gerald.
Fina mengingat-ingat jadwal kegiatannya nanti malam. “Enggak kayaknya, Dok. Kenapa?”
“Dengar-dengar di sekitar sini ada pasar malam. Mau kesana?”
Fina tak menolak. “Boleh.”
“Nanti share lokasi kamu, ya. Biar Dokter jemput.”
Fina manggut-manggut. Ia kembali berjalan keluar klinik, kemudian memesan ojek online lewat ponselnya. Tak butuh waktu lama, pesanannya tiba. Selama di perjalanan Fina termenung memikirkan Dokter Gerald. Kok ada, ya, cowok se-perfect Dokter Gerald? Setidaknya itulah yang saat ini ada di kepalanya. Dokter Gerald itu tampan, berpendidikan, pemuda sukses, baik hati. Fina tak bisa menemukan dimana kurangnya Dokter Gerald. Oh Tuhan... Tiba-tiba Fina menyadari satu hal. Baru kali ini isi otaknya dipenuhi tentang cowok. Bukan kecemasan ataupun pemikiran orang lain. Fina merasa jauh lebih baik sekarang.
...***
...
Pagi berganti malam. Matahari berganti bintang. Win berganti Gerald?
Fina sudah mengenakan pakaian rapi. Ia mematung sejenak di depan cermin. Fina teringat sesuatu, saat Dokter itu memanggilnya dengan sebutan “Fin”, ia jadi teringat Win. Seharusnya Win yang memanggilnya begitu. Tetapi sekarang tergantikan oleh Gerald.
“Assalamualaikum” suara salam masuk ke telinga Fina dengan sopan. Fina tahu betul dari siapa suara merdu itu berasal.
Fina bergegas keluar kamar. Gerald sudah berada di ambang pintu, disambut Bapak. Pria itu mengenakan pakaian santai namun tetap terlihat keren dan karismatik.
“Nah, itu dia Finanya.” Bapak menoleh ke belakang, melihat Fina sudah mematung 3 langkah di belakag punggung Bapak.
Fina dan Gerald saling melemparkan senyum. Fina cantik sekali kalau pakai pakaian rapi. Kalau Gerald tak pelu ditanya, pakai apapun ia selalu ganteng. Parasnya bak seorang model.
“Fina berangkat dulu, ya, Pak,” pamit Fina. Gerald juga berpamitan. Bapak menitip pesan ke Gerald untuk menjaga anaknya. Tanpa perlu diingatkan, Gerald pasti akan menjaga pasiennya sepenuh hati.
Fina dan Gerald masuk ke dalam mobil. Bapak turut bahagia melihat wajah senang Fina. Aura aitu akhirnya mekar kembali.
Gerald dan Fina tiba di Pasar Malam. Pasar malam itu berpendar-pendar. Kelap-kelip lampu bertaburan bagaikan kunang-kunang. Mempercantik langit malam. Fina dan Gerald menaiki bianglala. Beberapa bianglala pada Pasar Malam umumnya memiliki kecepatan tinggi. Tetapi tidak dengan Pasar Malam yang mereka kunjungi. Bianglala ini seperti sudah di desain untuk membuat pengunjung menikmati gemerlap lampu dan angin sepoi-sepoi. Jadi Fina bisa merelaksasikan diri bersama Gerald di dalam rakitan besi berbentuk sarang burung itu.
“Kamu tahu gak, Fin, hidup ini ibarat bianglala. Kadang kita di atas, kadang kita di bawah.” Gerald beranalogi. Jiwa psikolognya masih sering mengikut meskipun ia sudah mengatakan pada Fina untuk melihatnya sebagai “Gerald” di luar jam konsultasi.
Fina mengiyakan. Ucapan Gerald benar.
“Jadi kalau misalkan kamu sedang berada di bawah, jangan khawatir. Ada saatnya kamu melihat gemerlap lampu-lampu,” tutur Gerald.
Fina menyetujui. “Kapan-kapan, konsultasinya dari atas sini bisa?” gurau Fina membuat Gerald tertawa. Gerald ketika sedang tertawa semakin menawan. Bentuk senyumnya menyerupai hati. Istilahnya smile-box. Jenis senyum ini tak banyak dimiliki oleh orang-orang dan terbilang langka.
“Sorry, ya, jadi sebuah kebiasaan. Ngomongnya selalu berat.” Gerald meminta pengertian Fina. Fina memaklumi. Justru Fina menyukai gaya bicara Gerald yang penuh arti dan dewasa.
Sehabis naik bianglala, Fina dan Gerald membeli permen kapas yang mengembang besar berwarna merah muda. Merekea berjalan-jalan mengelilingi pasar malam, melihat orang-orang yang sedang menaiki wahana permainan. Mulai dari yang menenangkan seperti bianglala sampai yang menegangkan seperti kora-kora.
Fina dan Gerald berhenti di depan wahana kora-kora yang sedang berayun. Mulai dari pergerakan lamban, medium, ke cepat.
“Dokter naik dong,” pinta Fina.
“Hah? Apa? Kamu suruh Dokter naik?” Gerald tersenyum kecut.
“Berani gak?” tanya Fina meremehkan.
“Beranilah! Masa gitu doang gak berani.” Gerald memasang wajah jagoannya, tak mau dipandang remeh.
“Naik dong..,” pinta Fina sekali lagi.
Gerald melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Jam itu menunjukkan pukul 20:35. “
“Sudah jam setengah sembilan malam, Fina. Yuk kita pulang, sebelum kemalaman.” Gerald mencengkram pergelangan tangan Fina, berniat membawanya pergi dari situ.
“Aku mau naik, Dok.” Fina membuat keputusan. Gerald tertahan. Ia meneguk ludah.
Akhirnya mereka berdua naik kora-kora bersama. Gerald mau tak mau harus menemani Fina menaiki wahana tersebut. Sepanjang wahana itu berayun, Gerald tak berhenti berteriak, sampai pekak telinga Fina di sebelahnya.
“Fina... Dokter takut suara Dokter habis. Nanti gimana Dokter melayani pasien?” risau Gerald di sela-sela ketakutannya. Ekspresi wajahnya tak terkontrol. Wahana itu terus berayun. Sedangkan di sebelahnya, Fina malah berteriak kegirangan sambil sesekali mengangkat kedua tangannya ke udara saat kapal itu mengayun ke bawah.
Gerald sempoyongan seturunnya dari wahana tersebut. Fina membantu Gerald berjalan. Gadis itu masih segar-bugar meskipun tubuhnya sudah diayun-ayun.
“Fina... Kamu ngerjain dokter, ya? Dokter udah bukan bujangan lagi, Fin.” Gerald berjalan sempoyongan seperti orang mabuk. Ini kali pertama ia mencoba wahana tersebut. Selama di Australia dia tak pernah menaiki wahana seperti itu. Apalagi wahana itu terbuat dari bahan sederhana, membuat ketakutannya semakin berilpat ganda. Psikolog juga manusia yang punya rasa takut.
“Iya, maaf, ya, Dok. Lagian Dokter sih maksain. Padahal Fina naik sendiri juga bisa.” Fina merangkul tubuh Gerald, khawatir dokter itu akan tersungkur.
“Iya gak pa-pa. Tapi kamu kok hebat sih masih fresh?” Gerald heran melihat Fina yang tak sedikit pun merasakan gejala sehabis naik wahana memicu adrenalin itu.
“Enggak dong. Fina gitu, loh.” Fina menyombongkan diri.
“Sekarang Dokter tahu, seberapa kuat pasien Dokter.” Gerald memuji Fina. Fina hanya menyengir.
Fina dan Gerald masuk ke dalam mobil. Mereka tak langsung berangkat. Gerald perlu istirahat sebentar untuk memulihkan energinya.
“Istirahat sebentar ya, Fin. Gak baik nyetir mobil dalam kondisi kurang stabil.” Gerald meminta waktu kisaran 15 menit untuknya. Fina menyetujui.
Tiba-tiba ponsel Fina bergetar. Ada panggilan telepon dari Win. Sekarang sudah pukul 21:10 malam. Ada keperluan apa Win meneleponnya?
Fina mengangkat telepon Win.
“Halo...” sahut Fina.
Halo Fin.. Belum tidur? Suara Win keluar dari ponsel yang digenggam Fina. Tetapi Fina tidak menekan tombol los-speaker jadi Gerald tak bisa dengar apa yang sedang Fina bicarakan.
“Belum. Aku lagi di luar, Win. Ada apa?” tanya Fina.
Memangnya aku boleh nelepon kamu kalo lagi ada apa-apa doang, ya? Win tampak tampak sebal jika didengar dari nada suaranya.
“Enggak juga, sih. Tapi aku lagi di luar.” Fina menjelaskan, tak mau Win salah paham.
Oh, yaudah kalau lagi di luar. Nanti kalau sudah di rumah kabarin ya. Ucapan Win seakan terdengar kalau Fina baru saja jalan bersamanya, bukan Gerald.
“Iya... Bye..” Fina menutup teleponnya. Dia pikir ada urusan mendesak, tahunya hanya obrolan tidak penting. .
“Dasar Win,” rutuk Fina reflek.
“Hah? Siapa?” Gerald menyahut.
“Hah? E-enggak, teman sekolah.” Fina gelagapan. Terkejut mendengar Gerald menyahut. Eh... Tapi mengapa Fina harus gugup kalau ia baru saja menelepon Win kepada Gerald? Fina kan tak punya hubungan dengan siapa-siapa. Entah itu Win atau Gerald.
“Yuk, pulang.” Gerald merasa tubuhnya enakan. Dia menyalakan mobil dan mulai menggerak-gerakan stir, mengeluarkan mobilnya dari tempat parkir.
Hari ini, sepanjang Fina menghabiskan waktu bersama Dokter Gerald, Fina merasakan sensasi yang sama dengan saat ia menghabiskan waktu bersama Win. Perasaan bahagia yang tak terbendung, sampai rasanya tak ingin pulang. Ada apa dengan dirinya? Apa ini perasaan normal karena Fina baru kembali berinteraksi setelah selama satu tahun lebih terpenjara dalam kesendirian atau.... Perasaan ini melampaui itu.
...***
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments