Salahkah Tuk Tak Baik-baik Saja?

Salahkah Tuk Tak Baik-baik Saja?

Kecemasan Sosial

Di suatu tempat, tidak tahu dimana letaknya, apa sebutannya, yang jelas nampak sebuah hamparan rumput hijau yang empuk, dikelilingi tumbuhan-tumbuhan dan bunga-bunga yang cantik, dan mengalir sebuah sungai yang jernih airnya, terbaring seorang gadis cantik berambut panjang. Saking empuknya helaian rumput di sana, gadis itu sampai tak merasakan sesuatu menusuk tubuhnya. Gadis dengan wajah lugu itu terpejam dengan tenang. Benda persegi modern di sampingnya memutarkan alunan musik piano yang menenangkan. Sebuah ponsel canggih yang dilengkapi dengan pengeras suara. Gadis itu nampak begitu lelap tidurnya dengan iringan tersebut. Seperti lagu penghantar tidur.

Insting gadis itu tiba-tiba muncul. Terdengar suara kaki yang perlahan menjauh. Gadis itu membuka matanya. Menegakkan tubuhnya. Dilihatnya seorang wanita yang telah “punya usia” berjalan membelakanginya, meninggalkannya perlahan.

“Ibu,” panggil gadis itu dengan mata berkaca-kaca.

Wanita yang dipanggil menoleh ke belakang sejenak, memberikan senyum terbaiknya-mungkin senyum terakhir yang gadis itu lihat-, lalu lanjut melangkah, mendekati sebuah jembatan panjang yang tak nampak ujungnya jika dilihat dari mata si Gadis.

“Ibu!” teriaknya lagi dengan rasa takut yang semakin menguasai, Rasa takut ditinggalkan, rasa takut kesepian, rasa takut tak bisa hidup tanpanya.

Kali ini wanita itu tak memberi kesempatan berpandangan. Ia terus berjalan menyusuri jembatan itu yang entah akan membawanya kemana.

“IBUUUU!!!”

Gadis yang diketahui bernama Fina itu berteriak di atas kasur tidurnya, dengan posisi sudah terduduk dan baru saja tersadar dari mimpinya. Teriakannya itu memancing bapaknya, satu-satunya orang yang kini tinggal seatap dengannya, mendatangi kamarnya dengan perasaan gelisah melingkupi dada.

“Hey, kamu kenapa?” tanya Bagus, nama Pria dengan kumis yang kian melebat itu. Bagus mendekap bahu putrinya, mencoba memberikan ketenangan.

“Gak pa-pa, Pak.” Fina menggeleng. Mencoba tegar. Padahal, akhir-akhir ini ia sedikit kesulitan mengambil napas segar. Ya, dia sedang tidak baik-baik saja. Tapi itu tak mengapa.

...****...

Pagi menyambut. Matahari memancarkan serabut. Udara dingin terselimuti tipisnya kabut. Semua orang punya tujuan yang sama untuk hari-hari yang mereka miliki. Yaitu bahagia. Namun tak sedikit dari mereka yan tengah berjuang mungkin sedang berjuang melewati hari-hari yang terkadang menjadi sangat menantang. Fina menjadi salah satu dari orang itu.

Gadis yang baru menginjak usia awal kedewasaan itu, yaitu 17 tahun, sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Wajahnya tampak tak bersemangat. Perasaan cemas di sekujur tubuhnya menjadi sensasi pertama yang ia rasakan dalam menngawali hari. Fina menelan satu pil obat penenang untuk menghentikan gemetar di tubuhnya.

Fina diagnosa memiliki gangguan kecemasan sosial. Sebutan kerennya, social anxiety disorder. Hal ini yang mengakibatkan Fina begitu takut melangkah keluar rumah, terlibat dalam keramaian, hingga berkomunikasi dengan orang lain. Ada beberapa faktor yang mendorong kecemasan sosialnya itu. Diantaranya seperti pemikiran buruk orang-lain terhadapnya, cemas akan penolakan, dan yang paling menyeramkan, perasaan bersalah atas kondisi mentalnya yang sedang tidak baik-baik saja. Semua pemikiran Fina dipengaruhi oleh adanya stigma di lingkungan masyarakat prihal kesehatan mental yang sangat tak manusiawi.

“Fin, sudah rapi? Yuk berangkat.” Bagus yang telah mengenakan helm dan jaket kulit, bergegas untuk kerja, muncul di ambang pintu kamar Fina.

Fina hanya terangguk datar. Ia segera mengambil ranselnya kemudian beranjak keluar kamar bersama bapaknya. Mereka mengendarai motor bebek sederhana. Jalanan lancar jaya pagi ini. Tak butuh waktu lama untuk Fina tiba di sekolah.

Fina mencium punggung tangan Bapak yang sudah mulai berkerut sesampainya mereka di depan gerbang sekolah. Ia segera beranjak memasuki area sekolah dengan kaki yang masih sedikit gemetar. Efek obat penenang mungkin belum sepenuhnya bekerja. Mungkin juga tak sepenuhnya mengikis total rasa cemas dalam diri Fina. Hanya sekedar meredakan.

Keadaan sekolah sudah cukup ramai. Siswa-siswi yang baru berdatangan langsung menuju kelasnya masing-masing. Sejak tadi Fina mencoba mengatur napasnya sebaik mungkin. Mencoba membangun afirmasi positif dalam dirinya.

"Gak ada yang salah dari diri lo, Fina. Its OK to not be OK, gumam Fina dalam benaknya.

Sayangnya, kejadian tak mengenakan menimpa Fina di koridor. Beberapa orang tengah berkumpul di sana dengan aktivitas masing-masing. Ada yang sedang mengobrol bersama teman, belajar dan bergosip. Semua terhenti sejenak dari dunianya dan memusatkan perhatiannya ke arah satu gadis yang sedang berjalan begitu kaku melewati mereka, yaitu Fina.

Langkahnya tampak ragu. Wajahnya tampak kusut. Seolah sedang menempuh jalanan berhantu.

Tatapan orang-orang di sepanjang koridor seperti seekor srigala yang hendak menerkamnya. Tatapan-tatapan penuh intimidasi seolah ada yang salah dari gadis itu. Fina semakin dikuasai kecemasan. Ia melihat komplotan siswi berbisik-bisik sembari meliriknya. Dengan ekspresi tak enak. Ia mendengar juga suara seseorang melemparkan kata-kata yang sama tak enaknya.

“Dia aneh banget.”

“Dia kenapa sih? Kayak ada masalah yang berat banget.”

“Auranya suram banget. Kasian,”

Perasaan cemas menjulur hampir ke seluruh aliran darah Fina. Napasnya menjadi sesak. Otot-ototnya menegang, sampai ia merasakan nyeri di beberapa titik. Terutama di bagian lehernya. Raut wajah takutnya semakin terlihat kentara.

Sekejap kemudian, sesuatu menariknya keluar dari dunia halusinasinya, kembali ke realita. Fina tertegun. Langkahnya terhenti sejenak di koridor. Realitanya, tak ada satu orang pun yang memperhatikannya. Mereka sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Mengobrol sama teman, belajar dan bergosip.

Musuh bebuyutannya: Kecemasan. Ternyata tak semudah itu ditaklukan.. Fina mempercepat langkahnya, menuju kelas, sebelum ia hilang

kesadaran lagi.

...***...

Kecemasan itu terus mengikutinya. Dimana ada orang, disitu ada kecemasan. Fina selalu merasa setiap gerak-geriknya diperhatikan, seolah sedang diintai oleh agen mata-mata. Selama jam pelajaran di kelas berlangsung, Fina hanya diam. Duduk mematung di kursinya. Kalau ada tmnnya melemparkan pertanyaan kepadanya, dia hanya menjawab singkat, secukupnya. Fina tak mau mengambil resiko. Ia hanya fokus pada pernapasannya agar pikirannya tetap terjaga.

“Fina,” pangil Bu Anita yang mendapati Fina larut dalam lamunan.

Fina tersentak. Rasa cemas langsung menyerang tubuhnya secara serbuan saat namanya dipanggil.

“Dari tadi melamun terus. Mikirin apa, sih?” Bu Anita melontarkan kecurigaannya.

Fina menggeleng express. Ia buru-buru mengelak.

“E-enggak, Bu. Aku cuma pengen ke toilet.” Fina tergagap-gagap. Ia segera mencari pelarian ke toilet.

Paling tidak, Fina bisa bernapas tanpa tersenggal untuk beberapa menit selama di toilet. Toilet sepi. Hanya ada dia dan bayangannya di cermin besar tempat mencuci tangan.

Fina menatap wajahnya di hadapannya dengan datar. Gadis yang malang, batinnya. Tidak Fina! Seharusnya kamu mengganti kata-katamu dengan “Gadis yang hebat”.

Fina melihati bayangannya sendiri lamat-lamat. Wajah itu... Wajah yang akhir-akhir ini kehilangan sinarnya. Kehilangan senyumnya. Entah jatuh dimana. Ia hanya bisa berharap seseorang menemukannya dan mengembalikannya padanya.

“Apa aku aneh?” Fina bergumam sendiri memandang sosok di depannya.

“Apa aku gila?” Nada bicaranya begitu dingin. Sangat mengiris hati jika didengar langsung oleh telinga. Tatapannya sayu. Siapapun yang melihatnya, pasti akan merasa iba.

Suara dua orang yang sedang mengobrol terdengar sayup-sayup.Perlahan suaranya semakin membesar seperti hendak menuju dimana tempat Fina berada. Fina cepat-cepat memasang kembali jiwanya, seolah beberapa detik lalu hanya ada kehampaan yang mengisi raganya.

Ia mencuci mukanya. Sensasi dingin meresap ke pori-pori wajahnya. Dua orang sumber suara tadi tiba di dalam toilet. Salah satu masuk ke bilik, satunya lagi menunggu di samping Fina, merapikan rambutnya di hadapan cermin. Fina meninggalkan tempat itu. Napasnya kembali tersenggal.

Bel pulang sekolah berbunyi. Siswa-siswi berhamburan. Rasanya, Fina ingin langsung tiba di rumah tanpa perlu melewati gerombolan manusia. Kebiasaannya adalah, dia selalu menunggu di kelas dengan membaca buku hingga keadaan sekolah sudah cukup sepi dan ia bisa pulang tanpa kecemasan. Teman sebangkunya sudah hafal ritual Fina, jadi ia tak perlu bertanya lagi kenapa Fina tak juga bangkit dari kursinya. Fina tak begitu dekat dengan teman sebangkunya. Bahkan mereka jarang mengobrol.

Fina meregangkan sedikit lehernya sebelum ia membuka bukunya. Lehernya terasa kaku karena sepanjang hari otot-ototnya bekerja begitu aktif. Fina memutarkan kepalanya. Setelah dirasa enakan, ia langsung menyambar buku bacaan yang sudah ada di mejanya.

30 menit sepertinya dirasa cukup. Keadaan sekolah sudah mulai kondusif. Fina menutup bukunya. Ia berjalan keluar kelas. Kecemasannya sedang dalam kontrolnya. Tetapi, diagramnnya bisa naik dan turun kapan saja.

Di koridor yang sudah lumayan sepi, kaki Fina mengerem di depan sebuah kunci motor dengan gantungan hamburger yang tergeletak sembarangan di lantai. Sepertinya seseorang menjatuhkannya tanpa sadar. Fina mengambil kunci motor itu. Wajahnya tak memberi ekspresi apapun. Tetap datar. Tak ada raut kebingungan atau sejenisnya.

Saat ia sedang mengamati kunci motor itu, terlebih pada gantungannya yang sangat menarik perhatiannya, tiba-tiba suara berat seseorang menyahut.

“Nah, itu dia hamburger gue,” terang cowok itu. Cowok tampan berbadan atletis dengan tubuh tinggi dan kulit putih. Perawakannya seperti anak orang kaya yang berasal dari kota besar. Sangat terurus. Ya, benar. Bapaknya seorang pengusaha sukses. Pantas saja.

Cowok itu mendekati Fina dengan mata berbinar. Pandangannya tertuju pada benda yang dipegang Fina. Ia merebut benda miliknya dari tangan Fina dengan senyum yang merekah, membuat aura ketampanannya semakin memancar.

“Thanks, ya...” Cowok itu memberikan senyum terbaiknya.

Fina tak tahu harus bersikap seperti apa. Yang ia tahu, ia tak mau punya urusan dengan orang-lain.

Fina masih mematung di tempatnya. Sedangkan cowok itu sudah menyebutkan namanya. “Win,” katanya menjulurkan tangan, mengajak berkenalan. Nama yang bagus. Sesuai dengan penampakannya.

Fina hanya membalas dengan senyuman kaku. Hanya sebagai formalitas. Tangan cowok itu dianggurkan. Ia berjalan melewati tubuh bagus cowok itu, meninggalkannya.

Win tampak menahan malu mengetahui uluran tangannya di tolak mentah-mentah. Ia mengepalkan tangannya, sedikit kecewa. Win berbalik menyusul cewek itu dengan berlari kecil.

“Hey... Mau gue antar pulang? Sebagai tanda terima-kasih udah nemuin hamburger gue.” Hamburger yang dimaksud adalah kunci motornya. Kini, langkah mereka berjalan beriringan.

“Gak perlu, makasih.” Fina menolak. Berusaha sesopan mungkin. Hatinya tak pernah nyaman jika di dekati dengan orang asing. Apalagi cowok. Lebih-lebih cowok yang penampakannya sempurna seperti yang baru saja mendatanginya. Ia merasa minder.

Kedua kalinya Win mendapat penolakan dari Fina. Ia harus menelan bulat-bulat kenyataan itu. “Oke...,” katanya pasrah.

Win yang sudah mengenakan jaket hitam bomber karena berencana ingin pulang, sengaja memperlambat langkahnya, membiarkan Fina berjalan sendiri. Cewek itu nampak tak suka dengan kehadiranntya. Begitu pikirnya. Win melirik ke kaca jendela kelas, bercermin. Apa dia kurang ganteng? Batinnya berkata begitu.

Akhirnya Fina tiba di rumah. Rasanya lega sekali. Beban yang dipikulnya seakan mencair dalam sekejap. Akhirnya ia bisa bernapas dengan mulus dalam waktu yang lama. Pegal-pegal di sekitar lehernya pun dalam 5 menit kedepan diperkirakan akan lenyap.

Fina membanting tubuhnya ke kasur. Menatap atap kamarnya. Hari yang berat. Tapi ia telah berhasil melewatinya. Seperti hari-hari sebelumnya yang telah berlalu. Sekarang ia ingin memperbarui ulang semua sistem tubuhnya. Otot-ototnya, pikirannya dan seluruh inderanya.

Fina menyetel musik relaxing dari ponselnya. Alunan indah dari permainan piano memberikannya kedamaian. Ia taruh benda itu tepat di samping tubuhnya. Ini merupakan ritual Fina yang selalu ia lakukan ketika jiwa raganya sedang berantakan. Rasanya, seluruh tubuhnya terprogram ulang. Cara jitu ini disebut meditasi.

Fina memejamkan matanya. Fokusnya tertuju pada dentuman piano yang membawanya tenggelam ke alam bawah sadar. Seluruh tubuhnya, sedikit demi sedikit menerima energi baru. Kalau kata band Banda Naira; yang patah tumbuh, yang hilang berganti.

...***...

Terpopuler

Comments

@Kristin

@Kristin

Aku mampir ya Thor

2023-02-26

0

umi b4well (hiatus)

umi b4well (hiatus)

aku mampir

2023-02-21

0

✤͙❁͙⃟͙Z͙S͙༻𝘼𝙎𝙍𝙄k⃟K⃠

✤͙❁͙⃟͙Z͙S͙༻𝘼𝙎𝙍𝙄k⃟K⃠

aku mampir thor

2023-02-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!