Nasi Goreng Nanas

Hari ini sebenarnya Fina tak ingin pergi ke sekolah. Dia sudah dihantui kecemasan bahkan sejak semalam, karena besoknya ia harus mempresentasikan tugasnya di depan teman-temannya. Fina takut kecemasan menguasainya. Fina takut tubuhnya berguncang hebat dan teman-temnnya melihat itu. Fina takut hilang konsentrasi. Fina takut ucapannya meracau kesana-kemari. Fina takut teman-temannya menyadari kalau ia sedang jatuh di lembah depresi. Takut dan takut. Hanya itu yang memenuhi pikirannya saat ini.

Tapi, Fina tak mau kalah dengan kecemasannya. Maka dari itu, hari ini Fina memutuskan untuk berangkat ke sekolah. Ia tak akan menghindar.

Fina menarik napas dalam-dalam. Menghembuskannya sesaat kemudian. Gilirannya tiba. Fina dipersilahkan oleh gurunya untuk maju ke depan kelas. Fina selalu takut berdiri di depan kelas sendirian. Menjadi pusat perhatian. Tapi, sekarang, Fina berhasil berdiri di sana, di sebelah layar yang berasal dari infocus media untuknya presentasi.

Kaki Fina mulai berguncang. Dapat dilihat dari roknya yang bergerak-gerak seperti terbawa angin.. Fina mencoba menenangkan diri. Ia mulai membuka mulut, memulai presentasi. Suaranya bergetar. Gugup. Tidak-tidak. Dia melebihi orang gugup pada umumnya.

Seluruh pasang mata teman-temannya menyorot ke arahnya. Fina mulai menerka-nerka, apa pemikiran mereka tentangnya yang tengah berdiri di depan kelas. Apa Fina terlihat aneh? Terlihat tak wajar? Apa yang harus Fina lakukan? Bagaimana caranya menjadi normal?

“Eh liat, kakinya gemetar,” suara laki-laki iseng menceletuk membuat seisi kelas jadi terkekeh.

“Awas kencing di celana.” Siswa lain menimpali, membuat suasana semakin ramai. Fina menahan malu menjadi bahan lelucon satu kelas. Kakinya berguncang semakin kuat.

“Itu liat! Roknya gerak-gerak.” Salah satu siswi menunjuk rok Fina yang bergoyang.

Fina tak sanggup melanjutkan presentasinaya. Ia balik kanan dan berlari meninggalkan kelas.Paling tidak, dia sudah berani maju hingga ke depan kelas. Itu patut diberi apresiasi. Pelan-pelan saja hadapinya. Sedikit demi sedikit.

Air mata Fina luber saat berlari menuju toilet. Ia merasa gagal. Merasa ia akan terus seperti ini. Hidup dilingkupi dengan kecemasan. Penuh hambatan. Merasa tak ada solusi untuknya.

Fina terus bertanya dalam hati. Sampai kapan? Ia ingin bebas dari jeratan kecemasan. Ingin bisa beraktifitas dengan normal seperti teman-temannya. Tanpa harus sesak napas, pegal-pegal. Fina mulai frustasi. Merasa capek dengan semuanya. Ia terus berlari semakin kencang, seakan lari dari kenyataan.

Bruk...

Tubuhnya menabrak seseorang di lorong menuju toilet. Win. Mereka saling berpandangan beberapa saat. Win tampak kebingungan melihat mata indah gadis itu diredam air.

Sebelum Win bertanya apa yang terjadi, Fina sudah lebih dulu memeluk tubuh cowok itu. Menangis di pundaknya. Satu kata yang keluar dari mulut Fina: “Capek.”

Win mengelus punggung Fina, menenangkannya. Win tidak tahu apa yang sedang terjadi pada gadis itu, tapi sepertinya ini bukan waktu yang pas untuk menanyakannya.

“Ada gue di sini.” Win memastikan.

Lorong lengang sejenak. Diisi oleh suara isakan tangis Fina. Win membiarkan Fina menangis di pundaknya, sampai ia merasa lebih baik.

...***...

Win mengantar Fina pulang ke rumah dengan motornya, begitu bel berbunyi. Selama di perjalanan, Fina membisu. Win pun tak mau menganggu. Wajah Fina terlihat berantakan dari kaca spion. Fina sedang kehilangan semangatnya. Ia sedang merasa kosong. Otaknya menampilkan hologram Ibunya lagi. Fina tiba-tiba merindukannya.

Motor Win tiba di depan pekarangan rumah Fina. Bapak belum pulang sore-sore begini. Paling tidak Fina punya waktu untuk sendiri dan berdamai dengan pikirannya.

Fina turun dari motor dengan lemas, memberikan helm yang dipakainya kepada Win. Win selalu memabawa helm cadangan di bagasi motornya.

“Makasih. Lupain aja soal tadi.” Fina berkata lesu. Matanya tersisa separuh. Ia masih tak bisa cerita apa yang sebenarnya terjadi.

Fina berjalan memasuki pagar rumahnya, meninggalkan Win yang masih duduk di motor.

“Lo bisa panggil gue kapanpun lo butuh,” ucap Win menatap punggung Fina.

Fina terus berjalan lunglai ke rumahnya tanpa meninggalkan balasan. Suasana hatinya buruk sekali hari ini.

Setelah Fina menutup pintu rumah, derum suara motor menyala. Win beranjak pergi.

Fina berjalan dengan wajah sendu ke arah meja makan. Duduk di salah satu kursi yang biasa ia duduki kalau sedang makan malam bersama Ibu dan Bapaknya. Sekaramg meja itu kosong melompong.

Pikiran Fina terlempar ke masa-masa dulu. Saat meja ini masih ramai.

-Flashback-

Fina kecil dan Bapak duduk berhadapan di meja makan. Masing-masing menggenggam sendok dan garpu dengan piring kosong di hadapannya. Kedua mata mereka saling memicing ke satu sama lain, seolah sedang terjadi permusuhan.

“Nasi goreng nanas sudah matang! Siapa mau piring pertama?” Ibu mematikan kompor, berseru.

“Aku... Aku...” Fina buru-buru berlari menghampiri ibunya di dapur yang menyatu dengan ruang makan, membawa peralatan makannya.

Fina memberikan piringnya ke Ibu. Ibu menyiangkan nasi goreng nanas dari penggorengan ke piring milik Fina yang pada saat itu masih berusia 7 tahun.

“Yey... Aku jadi orang pertama yang dapat nasi goreng nanas Ibu! Artinya Ibu lebih sayang aku daripada Bapak!” Fina kembali ke meja makan dengan sepiring nasi goreng nanas buatan ibu yang tak ada dua.

Bapak hanya terkekeh mendegar ucapan Fina. Sekarang gilirannya mengambil bagian.

Mereka bertiga makan bersama di meja makan. Nasi goreng dengan campuran nanas buatan Ibu selalu menjadi menu favorit keluarga itu. Nasi goreng memang bisa di variasikan dengan banyak bahan. Salah satunya nanas. Nanas memberikan cita rasa baru pada nasi goreng.

“Bapak habis duluan! Artinya Ibu lebih sayang Bapak daripada Fina.” Bapak berseru jahil saat piringnya sudah bersih.

“Mana ada! Gak ada peraturan kayak gitu. Ya, kan, Bu?” Fina bertanya pada Ibu.

Ibu tersenyum mengiyakan. Wanita berkerudung itu memiliki senyum yang hangat dan penuh kasih sayang.

Fina kembali ke kenyataan. Sebuah realita kalau Si Pembuat nasi goreng yang amat ia cinta sudah tiada. Meja ini senyap. Sedu-sedan Fina mengambil alih. Fina menenggelamkan wajahnya. Melanjutkan nangisnya. Ia masih belum bisa menerima kepergian Ibunya.

...***

...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!