Win (Love) Fin

Tak ada yang lebih melegakan dari menjadi diri sendiri. Paling tidak, Fina tak perlu lagi menghindnar dari Win karena sekarang Win sudah mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Dan Win sama sekali tidak merasa keberatan akan hal itu. Justru cowok itu senang karena ia sudah mendapat kepercayaan dari Fina atas apa yang ia alami.

“Permisi... Ada Fina?” tanya Win di ambang pintu kelas Fina. Wajah cowok itu penuh seri. Cerah sekali.

“Oh itu dia.” Mata Win menangkap Fina yang sedang duduk seorang diri di kursinya.

Siswa-siswi tertangkap mengernyitkan dahi ketika mengetahui cewek pendiam bernama Fina dicari oleh seorang cowok. Lebih-lebih modelan cowok itu seperti Win yang hampir mendekati kata sempurna.

“Ini Fina, bukan?” tanya Win iseng pada Fina.

“Bukan.” Fina membual.

“Oh bukan. Kamu pasti Vena,” ucap Win. “Venakluk hatiku.”

Fina tersenyum mendengar gombalan receh Win.

Win menaruh seompreng nasi yang sejak tadi dibawanya ke atas meja Fina. Win tahu Fina memiliki kecemasan sosial, jadipasti sulit untuk Fina melangkah ke kantin.

“Makan siang dulu,” Win duduk di sebelah Fina. Fina tampak malu-malu menjadi perhatian penghuni kelas. Ia tak biasanya menjadi sorotan seperti ini.

“Kok diam?” tanya Win yang mendapati Fina bungkam. Win tersenyum melihat perangai cewek itu yang malu-malu kucing. Ia mengacak-acak pangkal rambut Fina.”Lucu banget sih kamu.”

Siswi yang menangkap momen itu berdecak gemas. “Aaa... Pengen,” cemburu salah satu siswi di kelas Fina.

Win membuka ompreng nasi miliknya, memperlihatkan nasi dan ayam saus teriyaki sebagai menu makanan hari ini. Ada dua sendok di dalamnya. Satu untuk Fina, satu untuknya.

Fina masih terdiam. Ia tak bisa bergerak jika diperhatikan orang-orang seperti saat ini.

Win mengedarkan pandangnnya. Nampaknya Win mengerti sekarang alasan Fina mematung. Siswa-siswi di kelas masih sulit percaya seorang Win mendekati Fina yang nyaris tak pernah terlihat batang hidungnya di sekolah mereka.

Win menarik tangan Fina, mengajaknya ke kolong meja. Tak lupa membawa ompreng nasi miliknya. Fina menurut saja, mengikuti tarikan tangan Win.

“Sekarang gimana? Aman kan? Gak ada mata-mata?” tanya Win berbisik-bisik. Jarak antara keduanya dekat sekali. Hanya satu jengkal dari wajah ke wajah. Fina hanya tersenyum dan manggut-manggut.

Win menyendok nasi dari ompreng tersebut untuknya. Fina rupanya masih terdiam malu. Ia belum terbiasa berhadapan dengan Win seperti ini.

“Ayok, makan,” peritah Win pada Fina, seperti menyuruh makan anak kecil.

Fina menurut. Ia mengambil sesendok nasi dengan sendok yang diperuntukkan untuknya.

“Cheers dulu dong,” kata Win sebelum mereka memasukkan sendoknya masing-masing ke mulut.

Win menempelkan sendok miliknya ke milik Fina. Cheers! Kemudian mereka memasukkan sendok yang dipegangnya masing-masing ke mulut.

... ***...

Win menguap. Ia tampak bosan mendengarkan penjelasan Pak Samsul yang merupakan guru IPS di kelasnya. Win mengingat kembali kejadian saat istirahat beberapa jam lalu. Saat ia dan Fina makan siang bersama di bawah meja. Wajah Fina semakin cantik berlipat-lipat ketika dilihat dari dekat. Win yang sedang menopang dagu tersenyum, mengenang wajah itu.

Win mengambil ponselnya. Mengetik sesuatu di pahanya secara diam-diam. Ia mengirim pesan lewat Whats-App kepada Fina. Balasan dari Fina langsung Win terima beberapa detik kemudian. Karena kebetulan kelas Fina sedang tak ada pembelajran.

Mengetahui kelas Fina kosong, win mengambil kesempatan. Ia izin ke kamar mandi kepada Pak Samsul. Win berbohong.

“Sht...Fina!” panggil Win sesampai di kelas Fina. Separuh badannya muncul di ambang pintu. Fina yang mendengar suara sesorang menyebut namanya pelan-pelan tertoleh. Fina terkejut melihat keberadaan Win. Begitu juga dengan siswa-siswi yang sekarang melirik ke arahnya. Mau apalagi dia kesini? Mungkin begitu pikir mereka.

Fina berjalan menghampiri Win. Cewek itu tak pernah banyak bicara jika berada di keramaian.

“Kenapa?”

Bukannya menjawab pertanyaan Fina, Win malah melontarkan izin kepada penghuni kelas. “Minjam Finanya bentar, ya”

Win menarik tangan Fina, membawanya pergi. Fina sedikit terkejut. Tapi mau tak mau ia mengikuti tarikan tangan Win.

Win melepaskan genggamannya saat tiba di tangga. Mereka lanjut dengan menaiki anak tangga menuju rooftop. “Kita ke rooftop,” Win menjawab pertanyaan Fina meski terlambat.

“Kamu gak belajar?” tanya Fina bingung.

“Shttt!” Win meletakkan telunuknya di bibir.

Tiba-tiba terdengan suara langkah kaki dari arah berlawanan menuruni anak tangga. Suara itu berasal dari seorang guru.Win dan Fina sempat berpapasan denan guru tersebut.

“Iya, Fina, jadi lo tadi dipanggil Pak Samsul. Yuk, gue antar lo ke sana.” Win mengalihkan pembicaraan di hadapan guru tersebut, dengan volume suara yang mendadak membesar, agar cintranya tetap baik.

Wanita dengan baju dinas itu berlalu. Win menghembuskan napas lega, mengelus-elus dadanya. Fina tersenyum menyeringai, melihat aksi Win beberapa detik lalu.

“Lah, kok ketawa?” tanya Win. Tangannya masih di dada.

Fina hanya menggeleng. Senyumnya semakin lebar mendengar kebingungan Win.

Win mencubit pipi Fina gemas. “Ngetawain aku, ya, pasti?”

Fina tak menjawab. Yaiyalah, siapa lagi.

“Males, ah.” Win berlagak ngambek, berjalan mendahului Fina. Cowok itu kalau ngambek kadang menggemaskan.

Mereka tiba di rooftop. Tempat dimana Win dengan kekuatan instingnya berhasil menemukan Fina yang sedang tepekur.

Win memasukkan kedua tangannya ke kantong celana, berdiri tegak sembari memejamkan mata, membiarkan angin menyapu wajahnya. Rambutnya yang lebat-tidak botak, tidak juga gondrong.” Mengambang-ambang di udara.

Fina reflek mengikuti cara Win. Cewek itu menutup matanya. Rambutnya panjangnyan berkibaran. Angin sore sedang kencang-kencangnya. Win membuka satu matanya, mengintip ke arah Fina di sampingnya.

“Ngikutin aja, ih!” lirih Win dengan suara beratnya.

Kali ini Fina tidak diam malu-malu. Ia menceletuk membalas ucapan Win. “Kamu duluan kali yang ngikutin aku. Nutup mata kan kebiasaan aku tiap kali ke sini.” Fina mengingatkan Win akan saat Win pertama kali ke rooftop dan mendapati Fina tengah memejamkan mata.

“Oh, iya. Hahaha” Win baru teringat.

Win mengambil bolpoin yang tertancap di saku sergamnya. Saat di kelas, Win sengaja menggangtung bolpoinnya di saku seragamnya sebelum menuju ke sini.

Win berjongkok. Menuliskan sesuatu di dinding pembatas rooftop yang berwarna krem, jadi bisa terlihat jika ia mencoret dinding itu dengan pulpen.

Win (Love) Fin.

Win menuliskan nama mereka berdua. Tulisan itu dibuat menjadi 3 baris ke bawah. Baris pertama nama Win, di bawahnya simbol cinta, di bawahnya lagi nama Fina yang disingkat Fin, seperti cara anak-anak SD mengejek teman-temannya dalam urusan cinta.

“Kenapa Fin? Biar kalo ada guru yang lihat kamu gak kena marah karena ada nama kamu di sini.” Win menjelaskan sebelum Fina sempat menjawab.

Fina membalas dengan senyuman, Tapi selanjutnya ia malah mencaci. “Norak.”

“Hah? Apa kamu bilang?” Win tak percaya ia baru saja diejek oleh Fina. “Seseorang baru saja mengejekku? Harus diberi hukuman sepertinya,” tegas Win baku.

Fina buru-buru berlari menghindar sebelum ia benar-benar mendapat hukuman dari Win. Win mengejar. Mereke berdua tertawa di bawah langit sore, di atas rooftop, disaksikan langsung oleh tulisan ‘Win (love) Fin’.

... ***

...

Kebersamaan mereka tak hanya sampai di kolong meja dan rooftop. Sepulang sekolah, Win mengantar Fina pulang. Mungkin mulai hari ini itu akan menjadi rutinitasnya. Jalanan sore lengang. Fina terdiam di boncengan Win. Pandangan Win tak teralihkan dari lalu lintas di depannya. Cowok itu mengenakan helm bundar dengan desain minimalis berwarna coklat muda, membuatnya tampak menggemaskan.

Win menaruh tangan Fina di pinggangnya tanpa izin. Cowok itu tetap fokus mengemudi. Fina sedikit terkejut saat Win melakukan itu. Sekarang kedua tangannya sudah melingkar di perut keras Win.

Fina merasakan kecanggungan. Perlahan lingkaran tangannya mengendur. Fina tampak ingin melepaskan pelukannnnya pelan-pelan. Tetapi Win kembali mengeratkan kedua tangan Fina di perutnya tanpa berbicara. Fina tak bisa berbuat apa-apa lagi. Beberapa menit kemudian, lingkaran tangannya melonggar lagi. Fina masih ragu untuk memeluk tubuh Win sungguh-sungguh. Tetapi Win bisa merasakan kelonggaran itu. Ia berdehem dan kembali mengencangkan lingkaran tangan Fina. Lagi dan lagi.

Fina akhirnya mengunci pergelangan tangannya agar tidak lepas lagi.

Mereka tiba di depan pagar rumah Fina. Rumahnya tampak sepi. Jam segini Bapaknya memang belum pulang bekerja. Bapak pulang ketika malam hari.Fina turun dari motor.

“Mau masuk dulu?” Fina menawarkan.

“Gak usah deh. Kamu pasti capek. Istirahat sana.” Win mengacak-acak rambut Fina. Sebuah kebiasaan barunya.

“Yaudah. Dah...” Fina melambaikan tanganya.

Entah apa maksudnya, tiba-tiba Win menempelkan telapak tangan tangannya dengan telapak tangan Fina. Memasukan jari-jemarinya ke sela-sela tangan Fina. Tangan mereka menyatu di udara. Lalu Win menyunggingkan senyum simpul, sembari meresapi persatuan tangan itu.

“Dah...” Win melepaskan tangannya dari tangan Fina, beralih melambai.

Fina membuka pintu pagar rumahnya, masuk ke dalam pekarangan. Win melesat dengan motornya, meninggalkan rumah Fina.

Fina masuk ke rumah dengan senyuman. Sebuah senyuman bentuk rasa syukur. Akhirnya ia merasakan kembali perasaan bahagia, setelah sekian lama amnesia bagaimana rasanya. Cowok itu seakan mengulurkan tangan kepada Fina untuk keluar dari nestapa kehidupan.pelan-pelan.

...***...

Pukul 19:10. Bapak sampai di rumah. Wajahnya kusut. Kelelahan efek seharian penuh bekerja. Bapak masuk ke dalam rumah dengan langkah lunglai.

“Asalamualaikum.” Bapak mengucap salam. Ia berniat membuat telur dadar di dapur untuk menenangkan perutnya yang sudah mulai resek.

Bapak dibuat terperangah melihat beberapa jenis masakan sudah tersaji di atas meja makan. Ia mematung di tempat. Tak lama, Fina keluar dari arah dapur dengan rambut terkuncir rapi menjawab salam bapak dengan membawa sodet.

“Waalaikumsalam. Eh, Bapak udah pulang?” Fina menyalami tangan bapak.

Bapak masih terdiam. Tak percaya dengan pemandangan yang di lihatnya saat ini. Anaknya yang memasak untuknya? Anaknya yang tampak ceria? Penuh semangat? Dengan senyuman di bibirnya? Itu semua hanya ada dalam angan-angan Bapak selama ini sejak istrinya meninggal.

“Bapak pasti lapar. Bapak duduk aja dulu, bentar lagi terlur-mie nya matang.” Fina kembali ke dapur, meneruskan memasak telur dadar yang dicampur dengan mie.

Bapak hanya bisa manggut-manggut. Ia berjalan kaku, menempati satu kursi dengan gerakan kaku seperti robot, masih sulit percaya dengan apa yang dilihatnya.

Tak lama Fina kembali dengan membawa sepiring telur dadar dengan campuran mie yang telah di potong menjadi 4 bagian menyerupai pizza. Sekarang dimejanya lengkap, ada sayur toge, udang rebon dan telur-mie. Fina tak memasak semuanya. Beberapa ada yang ia beli di warteg, khusus untuk menyambut kepulangan Bapak karena sudah letih bekerja sejak terbit fajar.

“Ini kamu masak semua?’ tanya Bapak. Wajah terperangahnya masih belum pudar.

“Beberapa ada yang beli di Warteg.” Fina cengengesan.

Bapak tersenyum bahagia melihat anaknya yang sudah meraih kembali semangatmya. Fina yang dulu, yang Bapak kenal perlahan mulai kembali. Fina menyiangkan nasi di piring untuk Bapak beserta dengan masakan yang sudah tertata di meja untuk Bapak. Bapak dan Fina makan bersama.

“Sudah lama, kan, kita gak makan malam bersama kayak gini?” tanya Fina. Bapak mengiyakan.

“Berasa lagi dinner sama Bapak.” Fina bergurau. Bapaknya tertawa. Tentu bapaknya tidak ketinggalan dalam memahami istilah-istilah Bahasa Inggris. Ia mengerti apa itu dinner. Mereka berdua lanjut makan.

...***

...

Terpopuler

Comments

ig : @tuan_angkasaa

ig : @tuan_angkasaa

ceritanya menarik, tapi aku stop sampai sini dulu, nanti lanjut lagi hehe

2023-02-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!