Kalimat Fina tenyata masih melekat di kepala Win. Lebih baik menghindar sebelum hilang. Win masih berusaha keras memecahkan teka-teki tersebut. Saat di kantin, pikirannya hanya berputar di kalimat itu. Kebingungan kentara di wajahnya, seperti sedang mengerjakan soal essay ulangan kenaikan kelas.
Teman-temannya saling memberikan kode, bersaut-sautan, melihat tatapan Win yang kosong. Cowok itu tengah larut dalam lamunan dengan kedua tangan yang terlipat di dada. Hersa, Dery dan Ahdan yang berada satu meja dengan Win, rupanya menyadari adanya kejanggalan dengannya.
Ahdan meletakkan tangannya di dahi Win, mengecek suhu tubuh Win, kemudian ia bandingkan dengan suhu bokongnya. “Iya, anget, sama.”
Sontak meja itu diramaikan kekehan tawa. Kecuali tawa dari Win. Dia sama sekali tak membuka mulutnya untuk tertawa. Tatapannya masih serius memecahkan ‘PR’ yang diberikan Fina.
“Lebih baik menghindar sebelum hilang,” celetuk Win tiba-tiba memecahkan keheningan.
Sontak, Ahdan langsung membelalak mendengar celetukan Win, mengira kalau kalimat yang bisa terdengar horor jika dilihat dari sisi lain tersebut ditujukan kepadanya,
“Ampun, Win.Gue cuma bercanda. Jangan buat gue hilang.” Ahdan mengangkat kedua tangannya, meminta ampunan. Wajahnya cemas, seolah nasibnya diujung tanduk.
“Hayoloh, Dan. Jangan bilang ada yang menyakiti Win, nanti orang itu akan hilang.” Dery mengompori dengan mengutip salah satu kalimat dari film terkenal.
“Lebih baik menghindar, sebelum hilang.” Win mengucap ulang kalimat itu. Tangannya masih terlipat di dada. Tubuhnya bersandar di kursi besi. “Apa maksudnya?”
“Hah? Gimana-gimana?’’ Ahdan menurunkan tangannya, menyadari kalimat itu bukan untuknya.
“Gue nanya arti kalimat itu apa?” Win memperjelas.
“Gak ngerti gue soal yang puitis-puitis gitu.” Hersa yang sedari tadi hanya menyaksikan kelakuan absurd kedua temannya, akhirnya angkat bicara. Masih dengan karakternya yang dingin.
“Mending tanya ke cewek-cewek. Biasanya kan soal puitis-puitis gini cewek jagonya.” Dery memberi solusi, meskipun solusinya harus selalu berhubungan dengan perempuan. Pandangannya mengedar. Dia melihat pacarnya dengan pacar Hersa sedang membeli batagor bersama. Dery memanggil Fuji dengan sebutan “’Sayang.”
Fuji awalnya tak menoleh. Tak menangkap suara Dery karena tenggelamoleh hingar-bingar. Tetapi setelah diberi tahu Letta, Fuji langsung melirik ke sumber suara. Dua cewek cantik itu pun berjalan mendekati meja Win dan komplotannya.
“Ya?” Cewek bertampang lugu yang merupakan pacar cowok mata keranjang itu bertanya lembut.
“Dery mau nanya, kalau dia mau punya pacar satu lagi boleh gak?” Ahdan iseng mengarang. Kepalanya langsung mendapat serangan dari orang yang dituduh. Fuji hanya tersenyum menanggapinya, tak menganggap serius. Dia sudah tahu karakter pacarnya yang jelalatan. Jadi ia bisa memaklumi candaan Ahdan.
“Bohong! Jangan dengerin kata tetangga jomblo satu ini! Biasalah, iri sama hubungan kita yang istimewah....” Dery meyakinkan pacarnya, meskipun terdengar sedikit berlebihan.
“Iya, iya, percaya deh. Mau apa panggil aku ke sini?” Fuji dengan penuh kesabaran dan kedewasaannya sama sekali tak terpancing dengan godaan Ahdan.
“Ini... Apa namanya? Si Win mau nanya sesuatu ke kalian berdua.” Dery menjelaskan tujuan utama mereka memanggil keduanya.
“Udah makan, Ta?” tiba-tiba Hersa menyela dengan suara dinginnya kepada Letta. Meskipun terdengar dingin dan acuh, sebenarnya hatinya sangat mengkhawatirkan Letta. Hanya saya cowok itu lemah dalam mengekspresikannya.
“Haduh, sekarang pasangan satu lagi.” Ahdan menceletuk jengkel,
Letta mengangguk manis. “Kamu?”
Hersa seharusnya berterimakasih pada takdir yang telah mempertemukannya dengan Letta. Cewek dengan penuh kehangatan itu, melengkapi sikap Hersa yang dingin. Cewek itu sangat pandai memberikan kasih sayang, bahkan dibanding dengan Hersa sendiri.
Hersa mengangguk. “Udah.”
Letta selalu bertanya balik tiap kali Hersa menanyakan kepadanya sudah makan atau belum. Letta jauh lebih mengkhawatirkan Hersa daripada kekhawatiran Hersa kepadanya.
“Kalau baru beres makan jangan langsung ngeroko! Awas, aja!” Letta mengingatkan. Kebiasaan itu tak baik untuk pacarnya. Tapi untungnya kali ini cowok itu mematuhinya. “Mau nanya apa tadi?”
Sekarang giliran Win angkat bicara. Win membenarkan posisi duduknya, sedikit lebih maju. Ia menjadi tambah bersemangat sekarang. Dia juga ingin seperti teman-temannya yang memiliki pasangan.
“Ada cewek yang bilang ke gue, ‘lebih baik menghindar sebelum hilang’. Kalian tahu apa artinya?” Win menjelaskan. Wajahnnya amat sangat serius bak detektif.
Fuji dan Letta saling tatap sejenak. Beberapa detik keduanya pun tampak kebingungan. Win memberi waktu mereka untuk berpikir.
“Lebih baik menghindar atau?” Fuji mengulang perkataan Win.
“Hilang.”
“Hm... Mungkin menurut dia, dia lebih baik menghindar karena tahu suatu saat lo bakal hilang.” Fuji yang merupakan siswi yang langganan dapat peringkat di kelas dan hobby membaca buku memberikan Win bayang-bayang atas kalimat Fina.
“Gue setuju.” Letta sependapat dengan sahabatnya.
Win menggosok-gosok dagunya, memutar otak.
“Gue juga setuju. Pacar gue pintar, gak mungkin salah.” Dery ikutan mendukung pemikiran pacarnya.
“Gue juga setuju.” Ahdan menyusul.
“Gak ada yang butuh persetujuan dari lo!” Dery masih kesal dengan Ahdan yang baru saja mengompori hubungannya.
Win seakan tertarik dari dunianya. Mengapa aku harus menghilang? Bagaimana dia tahu aku akan menghilang? Setidaknya pertanyaan-pertanyaan itulah yang berkelana di kepalanya. Fina begitu amat misterius. Tetapi, semakin misterius cewek itu, semakin semangat Win mengejarnya.
...***...
Fina menghadiri acara dalam brosur yang di dapatnya beberapa hari lalu. Sepulang sekolah ia langsung menuju Mal dengan masih mengenakan seragam putih-abu. Dia tak ingin ketinggalan acara tersebut semenit pun.
Lobby Mal dikerumuni oleh orang-orang yang haus akan ilmu pengetahuan dan berangan-angan untuk punya mental yang sehat. Jumlah kursi yang tersedia di sana hanya sekitar 50 kursi, jadi sisanya berdiri di sepanjang tepian, membentuk setengah lingkaran dari panggung utama.
Beruntungnya Fina mendapatkan kursi. Jadi ia bisa fokus mendengarkan materi dengan nyaman. Di hadapannya, di atas panggung, ada pembawa acara dan Sang Dokter Tampan yang masing-masing duduk di kursi yang menyerong ke penonton. Ada meja kaca bulat dengan bunga kertas memisahkan mereka. Latar panggung itu dibalut banner dengan tulisan judul acara: “Generasi Sehat Mental”.
Rumor dokter tampan itu benar adanya. Psikolog yang kini sedang berbicara di depan ratusan pasang mata itu memang memiliki paras rupawan. Wujudnya seperti malaikat yang terbalut rapi jaz putih. Suara bassnya menenangkan. Auranya memancar begitu gemilang ketika ia berbicara. Setiap kata yang dituturkannnya berarti. Gerakan tubuhnya penuh wibawa. Dokter itu tampan luar dan dalam.
“Saya sudah sekitar satu tahun membuka praktek di Indonesia. Sudah menangani lumayan banyak pasien. Secara offline maupun online. Pasien saya berasal dari berbagai rentang usia, Anak kecil, remaja, anak muda, orang tua, lansia, semua bisa melalui hari-hari berat. Beberapa dari mereka memendamnya selama bertahun-tahun, karena takut dengan anggapan di masyarakat yang masih tabu akan kesehatan mental. Padahal, semua orang bisa tidak baik-baik saja. Dan kita perlu mencintai diri kita lebih dari apapun,” tutur Dokter Gerald yang langsung disambut riuh tepuk tangan penonton.
“Luar biasa sekali Dokter Gerald. Masih muda, tampan, rendah hati, bijak, persis seperti saja.” Pembawa acara pria itu menimbali dengan sedikit gurauan.
Acara telah selesai. Kerumunan mulai memecah. Kursi-kursi pengunjung diberesi. Dokter Gerald beristirahat di belakang panggung sembari menikmati cemilan ringan. Duduk manis di kursi plastik dengan kaki yang ditumpuk. Dari kejauhan, Fina melihati. Langkahnya sedari tadi tersendat-sendat. Maju-mundur. Ragu. Ia berniat untuk meminta kartu nama Dokter tersebut untuk mengambil jadwal konseling. Tetapi tak ada secuil pun keberanian untuk mendekati dokter lulusan Universitas terbaik di Canberra, Australia itu. Fina menyerah. Ia memutar badan, hendak pergi. Lagipula, ia tak mau mengganggu waktu istirahat dokter itu.
“Hei!” Suara bass seseorang menghentikan langkah Fina.
Fina membalikkan badan, mengurungkan niatnya untuk pergi. Dokter Gerald berjalan menghampirinya.
“Ada yang bisa saya bantu?” Gerald seakan bisa menebak isi hati Fina dari raut wajahnya.
Fina terdiam sesaat. “Saya mau ambil jadwal konseling, bisa?”
Laki-laki berusia 23 tahun itu tersenyum ramah. “Tentu saja.”
Gerald mengambil kartu nama dari saku jaz-nya. “Ini kartu nama saya. Kamu bisa hubungi nomor di kartu ini. Ada alamat tempat saya buka praktek juga di sana.”
Fina menerima kartu tersebut dari tangan Dokter.
“Ada lagi?” Gerald menanyakan keperluan Fina yang lain.
Fina cepat-cepat menggeleng. “Enggak. Makasih, Dok.”
Gerald manggut-manggut. Senyumnya masih belum pudar.
Ini aneh. Fina tidak merasakan gejala kecemasan sama sekali saat ketemu dokter itu. Pikirannya terkontrol dengan baik. Jantungnya berdegub dengan normal. Napasnya mengalir dengan lancar. Ia merasa aman di dekatnya. Apa karena dia seorang Dokter? Sehingga bisa mengerti kondisi Fina?
Fina berjalan meninggalkan Mal, membawa pulang kartu nama Sang Dokter Tampan.
...***
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
𝐀⃝🥀Jinda🤎Team Ganjil❀∂я🧡
Thor judul novel mu diganti ku pikir novel baru. Aku mampir lagi bawa bunga untuk mu.
2023-02-16
0
Airhujan
Aku tandai dulu di sini, mampir iya ka
2023-02-11
0