Maxim berlari kencang memasuki klinik dengan wajah gusar. Tadi, saat dia sedang sibuk melayani beberapa pelanggan di toko, Josh, putra Helen, datang menemuinya dan memberitahukan soal kondisi rumah dan Gwen.
Beruntung, suara pecahan tersebut terdengar oleh anak-anak yang sedang bermain di padang rumput, persis di belakang rumah Maxim. Secepat mungkin, mereka berbondong-bondong mengajak orang-orang dewasa untuk melihat kondisi rumah Gwen, dan mendapati gadis itu dalam keadaan pingsan dengan darah mengalir di samping pelipis matanya.
Maxim yang semula terlihat panik, kini dapat mengembuskan napas lega, tatkala mendapati sang istri ternyata sedang terduduk di atas ranjang rumah sakit, dapam kondisi sadar. Nampaknya dokter baru saja selesai menjahit kepala gadis itu.
"Gwen!" seru Maxim.
Gwen menoleh. Keningnya sontak berkerut, tatkala mendapati Maxim terengah-engah.
Maxim tidak menghiraukan tatapan aneh gadis itu, dan memilih untuk mengajukan pertanyaan pada sang dokter yang baru saja selesai membereskan peralatan. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?"
"Luka Nyonya Eginhard cukup lebar. Beliau harus mendapatkan sembilan jahitan. Untuk sejauh ini tidak ada masalah. Namun, saya sarankan untuk melakukan CT Scan di rumah sakit, guna mengetahui apakah ada luka dalam atau tidak." Sang dokter dengan perlahan memberikan penjelasan pada Maxim.
"Baik, terima kasih, Dok," ucap Maxim.
"Sama-sama, Tuan Eginhard. Kalau butuh apa-apa Anda bisa memanggil saya."
Maxim menganggukkan kepala. Para tetangga yang membantu mengantar Gwen, langsung masuk ke dalam bilik perawatan gadis itu.
"Sakitkah?" tanya Maxim. Pria itu dengan lembut memgusap perban di kepala Gwen.
Gwen termangu. Jarak mereka yang sangat dekat, membuat dada gadis itu bergemuruh kencang. "Sangat!" Demi menghilangkan kegugupan, Gwen menjawab ketus.
"Syukurlah, Gwen. Kami benar-benar sangat khawatir mendapati dirimu di dalam rumah dalam keadaan pingsan!" seru Gabby.
Gwen meringis. Dia pun mengucapkan terima kasih pada mereka karena telah membantunya.
"Sama-sama, Nak Gwen. Kita di sini semua jauh dari keluarga, jadi sudah semestinya kita saling tolong menolong." Kali ini seorang nenek berusia lanjut menimpali perkataan Gwen.
"Terima kasih, Nenek Gloria," ucap Gwen.
Setelah memastikan kondisi Gwen benar baik-baik saja, mereka pun akhirnya pamit pulang, guna membiarkan gadis itu untuk beristirahat.
Maxim sengaja mengantar mereka semua ke depan klinik.
"Ahh, Uncle, beberapa temanku yang bermain di belakang, melihat dua orang misterius. Mereka lah yang melempar jendela rumah Uncle," kata Immanuel, cucu dari Gloria yang masih berusia tujuh tahun.
"Bisakah kau sebutkan ciri-ciri mereka?" tanya Maxim.
Immanuel menggeleng. "Aku sedang tidak bermain saat itu, tapi aku bisa menanyakannya pada teman-temanku nanti."
"Oke, terima kasih, Jagoan!" Maxim mengacak rambut sang anak sambil tersenyum.
"Bersiaplah, kita akan ke rumah sakit di kota besar," ucap Maxim setelah tiba kembali di bilik perawatan Gwen. Pria itu terlihat sedang mengutak-atik ponselnya.
"Tidak!"
Maxim sontak mengalihkan pandangannya. "Kenapa? Kau butuh perawatan lebih lanjut!" tegasnya.
"Ini tubuhku! Aku bisa merasakan sesuatu, bila ada yang tidak beres, dan kepalaku seratus persen baik-baik saja. Aku jamin."
Maxim terlihat marah. Keduanya sempat berdebat sengit, sebelum akhirnya Gwen mengalah dengan satu syarat, "setelah ini biarkan aku menikmati waktu menyenangkan di Kota Fernington."
Mendengar hal tersebut, Maxim mendengkus. Rasanya dia menyesal melewati jalan alternatif di sana.
"Deal!"
...**********...
Keesokan harinya, tepat setelah Gwen dan Maxim pulang dari rumah sakit di kota besar, mereka mendapati tiga buah mobil mewah terparkir di depan rumah.
Mengetahui kedatangan orang asing, para tetangga berbondong-bondong mengintip dari depan rumah masing-masing. Penampilan orang-orang berjas hitam, membuat mereka enggan mendekat ke sana.
"Ayah!" pekik Gwen. Gadis itu langsung menerjang sang ayah yang baru saja turun dari salah satu mobil tersebut.
Abraham membalas pelukan Gwen. Pria itu menatap khawatir putri satu-satunya. "Kau tidak apa-apa? Bagaimana lukamu?"
"Tak ada luka dalam, Ayah. Kami baru saja pulang dari rumah sakit untuk CT Scan." Maxim lah yang menjawab pertanyaan Abraham.
Abraham menepuk pundak Maxim dan berterima kasih. Namun, Maxim menggeleng. Dia meminta maaf karena telah lalai menjaga Gwen.
Gwen yang melihat sontak saja terkejut. Sebab, rasanya baru kali ini dia mendapati raut kesedihan dan penyesalan di wajah Maxim.
Apakah itu hanya tipuan belaka? Sebab, sejak kemarin, pria itu hanya bisa berlaku dingin dan ketus padanya.
"Aku sudah menjaga putriku yang tak tahu aturan ini dengan baik, Max. Ada kalanya, kita sebagai laki-laki memang tidak harus selalu berlaku sempurna. Gwen baik-baik saja, itu yang terpenting."
Maxim mengangguk pelan. Pria itu pun mempersilakan mereka untuk masuk ke dalam.
Melihat pecahan kaca masih ada di sana, Abraham segera meminta anak buahnya untuk membereskan semua kekacauan itu. Tak lupa, dia juga menyuruh mereka untuk memasang CCTV di seluruh area rumah.
Ronny yang juga ikut ke sana turut membantu. Saat pria itu sedang sibuk menelaah tempat-tempat mana saja yang harus dipasangi CCTV, Maxim datang menghampiri.
"Ini." Maxim memberikan sebuah kamera CCTV pinjamannya pada Ronny.
Ronny mengerutkan keningnya. "Ini ...."
"Aku pinjam dari Kamp," jawab Maxim.
Ronny mengangguk paham. "Mau dipasang di mana, Tuan Max?" tanyanya kemudian.
Maxim menatap sekeliling rumah. Otaknya dengan cepat membuat berbagai macam simulasi pembobolan rumah dengan sangat akurat.
Alhasil, alih-alih memasangnya di belakang rumah, Maxim meminta Ronny untuk memasang kamera tersebut tepat di satu-satunya pohon tinggi yang ada di halaman rumah.
"Kira-kira adakah seseorang yang terlintas di benak Anda, Tuan Maxim?" tanya Ronny, sembari mengawasi salah satu anak buahnya.
"Kau tahu, hampir semua orang yang berurusan denganku di masa lalu, memiliki potensi yang sama," jawab Maxim.
"Haruskah saya membantu Anda menyelidikinya?" tanya pria itu lagi.
Maxim terdiam sejenak. "Bagaimana pergerakan Jack dan Allan? Kudengar, kau sempat mengawasi mereka."
"Tak ada yang mencurigakan. Mereka tetap berada di kawasan pabrik dan tidak diperkenankan keluar."
Maxim menghela napasnya. "Kalau begitu, tidak ada. Fokuslah pada beliau saja," ujar Maxim, seraya menepuk pundak Ronny dua kali.
Menjelang malam, Abraham, Ronny, dan orang-orang suruhannya pun akhirnya pamit pergi.
Gwen memeluk Abraham seerat mungkin, begitu pula dengan Ronny.
"Berbaik-baiklah pada suamimu," pesan Abraham.
"Ayah, sudah seperti ini, tetap saja aku yang dinasihati!" Gwen merajuk.
Abraham tertawa kecil, lalu mengalihkan pandangannya pada sang menantu. "Ayah titip Gwen. Jangan kendurkan pengawasanmu padanya!"
"Ayah!"
Abraham kembali tertawa. Dia pun mencium lembut pipi sang anak.
Gwen dan Maxim berdiri di depan rumah sampai rombongan mobil tersebut hilang dari pandangan. Setelah itu mereka pun masuk ke dalam.
"Beristirahatlah, aku akan mandi lebih dulu," ucap Maxim.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Siska Agustin
Rony manggil Max tuan, sebenarnya siapakah Max ini??
2023-01-22
0