Bayangan Gwen akan pasar tradisional tetap menghantui benaknya. Dia enggan memercayai perkataan Maxim yang mungkin memang berniat membohongi dirinya. Jadilah sepanjang perjalanan, gadis itu terus diam sembari memasang wajah menyeramkan.
"Sedikit lagi kita sampai, jangan tekuk wajahmu seperti itu, nanti orang lain bisa salah paham." Maxim yang menyadari raut wajah sang istri lantas membuka suara. Dia pun memarkirkan mobilnya tak jauh dari pintu masuk pasar.
Mereka kemudian turun dari mobil dan berjalan menyusuri pasar tersebut.
Hal pertama yang didapati Gwen soal pasar ini adalah kerapihan dan kebersihannya yang terjaga. Tak ada satu sampah yang berceceran di setiap sudut tempat.
Melihat raut wajah Gwen yang berubah, Maxim tertawa kecil. "Jadi?"
Gwen merengut sesaat, sebelum kemudian beralih kembali pada tempat-tempat yang dilewatinya.
Ahh, satu hal lagi yang Gwen sadari adalah, tempat berdagang mereka. Alih-alih menggunakan lapak terbuka, seperti meja-meja biasa tanpa langit-langit, para pedagang justru membangun bilik-bilik tertutup menyerupai kios kecil untuk menjajakan barang dagangan dengan aman dan nyaman.
Akan tetapi, ada juga beberapa bangunan toko permanen yang berdiri di antaranya.
Jarak dari satu pedagang ke pedagang lain pun tidak dekat. Jalanannya pun cukup lebar untuk dilalui pembeli.
"Ini bukan pasar!" celetuk Gwen.
"Ini pasar, hanya saja kami mengubah sedikit agar pembeli merasa nyaman." Maxim menimpali. Pria itu pun berhenti di depan sebuah toko buah permanen berukuran sedang.
"Ini tokomu?" tanya Gwen.
Maxim mengangguk. "Aku menyewa toko ini setiap tahun dengan menggadaikan mobilku."
Mendengar hal tersebut, Gwen mengerutkan keningnya dalam-dalam. "Mobil yang mana?" tanya gadis itu.
"Mobil yang mana lagi? Tentu saja yang biasa kita pakai. Aku memang memiliki mobil bak kecil, tapi mobil itu sebenarnya jaminan seseorang yang belum mampu membayar hutangnya padaku," jawab Maxim tanpa perlu repot-repot menutup-nutupi.
Gwen terkejut bukan kepalang. Bagaimana tidak, kendaraan satu-satunya yang mereka punya ternyata merupakan mobil gadaian. Jika Maxim tidak mampu membayar, habislah sudah.
Padahal harta yang pria itu punya hanya sebidang tanah beserta rumah kecil yang bahkan tidak bernilai tinggi.
Gwen memang tidak tahu sampai kapan pernikahan ini akan berjalan, tetapi dia tetap harus berjaga-jaga, bukan?
"Jangan memikirkan hal yang tidak-tidak. Cukup dinikmati saja." Seolah tahu apa yang sedang Gwen pikirkan, Maxim pun mengeluarkan pendapatnya.
Gwen sontak memicing sinis. Baru saja gadis itu hendak memaki, tiba-tiba sekelompok ibu-ibu datang menghampiri mereka.
Gwen terkejut. Pasalnya, ibu-ibu tersebut ternyata mengerubungi dirinya yang masih berdiri di luar toko. Mereka tanpa basa-basi mengajukan beberapa pertanyaan yang cukup memusingkan.
"Kau pasti istri dari Maxim, bukan?"
"Namamu siapa, gadis cantik?
"Di mana kalian saling mengenal?"
"Ya Tuhan, Max, gadis ini cantik sekali! Kau beruntung mendapatkannya!"
Gwen meringis. Gerak-geriknya terlihat risih. Maxim yang melihat, justru membiarkan semua itu. Dia malah sibuk membuka rolling door toko, dan mengeluarkan beberapa keranjang buah untuk diletakkan di pelataran toko.
"Benar, Ibu-ibu, dia istriku, Gwen Stefani." Selesai mengerjakan satu tugasnya, Maxim pun berjalan mendekati Gwen dan merangkulnya.
Gwen tak bisa menolak. Dia membiarkan Maxim bersentuhan fisik dengannya.
Pria itu kemudian memberi isyarat pada sang istri untuk bersikap ramah.
Gwen menurut. Dia lantas membungkukkan badannya singkat pada para ibu-ibu tersebut. "Salam kenal, Ibu-ibu, saya Gwen Stefani," ucap gadis itu ramah.
Mendengar suara lembut Gwen, ibu-ibu itu sontak berseru senang. Mereka pun dengan ramah kembali memuji kecantikannya.
"Karena kau orang baru, bagaimana kalau kita berkeliling pasar, Nak Gwen? Seisi pasar ini pasti senang bisa berkenalan dengan istri m Maxim," ujar salah seorang ibu2 pada Gwen.
Gwen mengerutkan keningnya. Dalam hati, dia merasa heran dengan sikap orang-orang di sana.
Memangnya apa yang istimewa dari istri Maxim? Mengapa orang-orang tampaknya senang sekali bertemu dengannya?
Gwen menoleh ke arah Maxim, meminta persetujuan. Maxim pun mengangguk. Dia melepaskan rangkulannya dan membiarkan Gwen pergi. Mungkin dengan menambah pertemanan, sang istri bisa jadi lebih mudah beradaptasi.
Atas persetujuan Maxim, Gwen bersama empat orang ibu-ibu akhirnya mengelilingi tiap sudut pasar kecil ini.
Mendapat perlakuan baik dari hampir seisi toko, membuat hati Gwen kian menghangat. Maklum saja, di kota, Gwen nyaris tidak menemukan suasana penuh persahabatan seperti ini.
Mereka lebih memilih menyibukkan diri dengan urusan masing-masing. Kalau pun bergaul, kebanyakan dari mereka pasti hanya berniat membangun relasi bisnis saja. Nyaris tidak ada satu manusia pun di kota, yang tidak memiliki tujuan dalam bersosialisasi. Belum lagi taktik dan intrik penuh kepalsuan.
Dalam sekejap, Gwen merasakan kenyamanan di sana. Gadis itu bahkan tidak berhenti tersenyum.
Maxim yang baru saja selesai melayani pembeli, terkejut ketika mendapati Gwen datang sambil membawa banyak bahan makanan.
"Kau membeli ini semua?" tanya Maxim.
Gwen menggeleng. Dia meminta tolong sang suami untuk membantunya meletakkan bahan-bahan makanan tersebut di lantai. "Mereka memberiku semua ini. Padahal aku sudah menolaknya, tapi mereka memaksa." Jawab Gwen.
Gwen merenggangkan pinggangnya, lalu bertolak pinggang. "Sepertinya, kau pria yang cukup berpengaruh di sini ya? Sebab, setiap aku menolak pemberian mereka, mereka akan selalu berkata, bahwa bahan-bahan makanan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang telah kau lakukan dulu."
"Jadi, apa yang kau lakukan pada mereka dulu?" tanya Gwen penasaran.
"Seperti yang aku katakan diawal tadi. Kami mengubah pasar ini, dan aku lah yang pertama kali mengusulkan sekaligus membantu membangunnya."
Mendengar jawaban santai yang terlontar dari mulut Maxim, Gwen malah semakin curiga. "Entah mengapa, setiap mendengar jawabanmu, aku malah semakin tidak memercayainya."
Maxim mengangkat bahu. "Terserah kau saja. Dari pada berdiri di situ, lebih baik kau bantu aku menata buah-buah ini," titah pria itu sambil menunjuk tumpukan kardus jeruk yang belum dibuka.
Gwen tidak menolak. Menata buah bukanlah hal sulit. Jadi, dengan penuh semangat dia mengerjakan apa yang Maxim pinta.
Walau beberapa kali sempat melakukan kesalahan, tetapi Gwen tetap bersemangat dan mau belajar.
"Makan siang!" seru pemuda bernama Samuel, yang datang ke dalam toko Maxim, seraya membawa nampan berisi semangkuk sup panas berisi nasi.
"Terima kasih, Sam," ucap Maxim.
"Sama-sama, Kak Max," jawab Samuel. Pemuda itu pun tak lupa menyapa Gwen yang tampak sibuk berkutat dengan kardus jeruk terakhirnya.
"Makan dulu," ujar Maxim setelah Samuel pergi.
Gwen tidak menjawab. Meski peluh mulai membasahi keningnya, gadis itu tampak senang-senang saja melakukan tugas yang Maxim pinta.
Maxim mencibir. "Andaikan di rumah, kau serajin ini!" gumamnya jengkel.
Pria itu pun duduk di sebelah Gwen. Namun, tanpa disangka, Maxim mengusap keringat yang ada di kening sang istri, menggunakan lengan pakaiannya.
Gwen terkesiap. Konsentrasinya yang semula terkumpul, kini hilang tak berbekas.
Keduanya saling bertatapan sejenak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Siska Agustin
mugkin bukan hanya ide dlm pembangunan pasar tapi juga biaya yg dikasih Max pada penghuni pasar..Gwen baper ya,iyalah masak enggak dpt perhatian kecil begitu kan blm pernah Gwen terima dr pria manapun 😁
2023-01-17
1