7. Melarikan Diri.

Selama lima menit, Maxim hanya terdiam sembari memandangi lauk di atas meja, yang baru saja dimasak Gwen. Wajahnya tampak suram, sorot matanya bahkan terlihat layu.

"Kan, sudah aku bilang, aku ini tidak pandai memasak! Satu-satunya makanan yang pernah aku masak hanyalah air!" seru Gwen jengkel.

Bibir Maxim bergerak-gerak ingin melontarkan kata-kata, akan tetapi dia menahannya.

Bagaimana bisa dia menyebut air sebagai makanan? Batin pria itu jengkel.

Maxim mendongakkan kepalanya dan menatap Gwen serius. "Baiklah, kalau begitu, aku yang akan memasak, sedangkan kau menangani sisanya," ujar pria itu memberi solusi.

"Hei, aku juga tidak bisa menyapu dan mengepel lantai!" protes Gwen. Sebisa mungkin, dia harus mengurangi jatah bebersihnya di rumah kumuh ini.

"Soal itu masih bisa diatur. Setidaknya bukan tentang memasak, agar perutmu dan perutku aman," kata Maxim jujur.

Gwen merapatkan gigi-giginya menahan kesal. "Lalu, kita apakan makanan-makanan ini?" tanya gadis itu, sembari memandangi makanan-makanan di atas meja tersebut.

Mereka tak mungkin memberikannya ke tetangga, sebab dari bentuknya saja sudah sangat menyedihkan. Dari mulai potongan tidak beraturan, kurang matang, dan ada juga yang menghitam alias gosong.

"Makan. Tuhan mengajarkan kita untuk tidak membuang-buang makanan. Ingat, masih banyak orang di luar sana yang kelaparan!" titah Maxim tegas.

Gwen hendak protes, tetapi gadis itu mengurungkan niatnya, setelah mendengar kalimat terakhir yang terlontar dari mulut pria itu.

Keduanya pun mengambil piring kosong mereka, dan mulai memindahkan lauk ke atas piring masing-masing. Begitu suapan pertama masuk ke dalam mulut, suasana mendadak sunyi senyap.

Keduanya mengunyah makanan tersebut diam-diam, seraya saling berpandangan.

Detik selanjutnya, baik Maxim mau pun Gwen segera membuang makanan yang ada di mulut mereka.

" ... Namun, ada hal-hal yang diperbolehkan untuk tidak mengonsumsi makanan tertentu ... Kita beli makanan di luar saja!" celetuk Maxim.

...**********...

Ini adalah hari kelima Gwen tinggal di rumah Maxim. Bukannya kerasan, Gwen justru semakin tersiksa dengan semua perintah Maxim. Gadis itu seperti merasa tinggal di barak militer dari pada di rumah.

Akibat kerja fisik yang dia lakukan, wajah dan kukunya kini tampak rusak. Telapak tangannya bahkan mulai terkelupas, karena air sabun cucian piring murahan yang Maxim beli.

Tak tahan dengan semua hal tersebut, Gwen memutuskan untuk bertindak. Dia tak bisa terus-terusan tinggal di sana. Sang ayah harus tahu kondisi dirinya. Beliau pasti mengerti, jika sudah melihatnya secara langsung dari pada hanya melalui sambungan telepon saja.

"Aku pergi ke toko dulu. Jangan lupa untuk mencuci semua piring yang ada, Gwen," titah Maxim.

Gwen hanya mengangguk. Dia pura-pura asyik memakan masakan Maxim dengan lahap.

Saat pria itu keluar rumah, diam-diam Gwen bangkit dan mengintip dari jendela kecil rumah tersebut.

"Yes!" pekik Gwen, tatkala mobil sang suami telah pergi meninggalkan rumah. Secepat kilat gadis itu langsung pergi menuju kamarnya untuk mengambil tas kecil dan dompet.

Gwen mengembuskan napasnya pasrah, ketika hanya mendapati beberapa dollar saja di dalam dompet. Abraham memang memblokir semua akses keuangan Gwen, sejak dia menikah.

"Mudah-mudahan saja cukup, kalau tidak, aku bisa menjual cincin ini!" seru Gwen, sembari menatal cincin pernikahan yang tersemat di jari mungilnya.

Selesai memakai jaket, gadis itu pun langsung pergi dari rumah. Dia bahkan lupa menutup pintu dan pergi begitu saja.

Jarak dari desa tempat Gwen tinggal menuju jalan raya sebenarnya cukup jauh. Butuh sekitar tiga puluh sampai empat puluh menit dengan berjalan kaki.

Meski berat, demi kembali ke rumah besarnya, Gwen rela menempuh perjalanan dengan berjalan kaki.

Gwen berhenti sejenak, ketika tiba-tiba sebuah mobil pick up terlihat datang dari kejauhan. Dia berusaha menghentikan mobil tersebut. Namun, sayangnya mobil itu tidak mau berhenti. Alhasil, Gwen harus kembali berjalan kaki.

...**********...

"Terima kasih, Adrian," ucap Maxim pada seorang pemuda yang baru saja selesai mengantar pesanan stok buah yang telah habis.

"Sama-sama, Max," jawab Adrian. "Omong-omong, kapan kau akan membawa istrimu ke sini? Kalian sudah hampir satu meninggu menikah, tapi dia sama sekali belum kau bawa kemari," sambung pemuda itu.

"Dia masih harus beradaptasi," jawab Maxim.

"Sepertinya sulit menikah dengan orang kota ya?" ujar Adrian.

Maxim mengangkat bahunya tinggi-tinggi. "Begitulah." Pria itu kemudian menepuk pundak Adrian. "Baiklah, aku akan menghubungimu lagi nanti. Terima kasih," ucapnya.

"Oke. Aku pergi dulu." Tanpa berlama-lama, Adrian segera memasuki mobil pick up miliknya dan pergi meninggalkan toko Maxim.

"Berjaga sendiri, Max?" sapa seorang wanita tua bertubuh sedikit gemuk, pada Maxim.

"Pagi, Nyonya Rosella. Ya, hari ini aku berjaga sendiri." Tanpa diberitahu, Maxim segera memberikan keranjang kosong pada pelanggan tetapnya itu.

"Mana yang baru datang hari ini?" tanya Nyonya Rosella, sembari membenarkan posisi kacamatanya. Wanita itu meletakkan plastik belanjaan di bawah, agar mudah memilah-milah buah yang ada di sana.

"Apel ini baru datang tadi. Ada juga nanas segar di sana." Maxim mengambil kedua buah itu dan memotongnya untuk diberikan pada sang pelanggan.

Maxim memang penjual yang baik. Jika pedagang lain hanya memperkenankan para pelanggan mereka untuk mencoba buah tertentu saja, tetapi tidak dengan pria itu. Dia akan dengan senang hati memberikan apa pun buah yang mau dicoba.

"Ini enak sekali. Kalau begitu, aku minta satu kilogram apel merah ini. Untuk nanasnya tidak dulu. Berikan semamgka segar itu sebagai ganti nanas. " Nyonya Rosella menunjuk buah semangka yang terletak di belakang tubuh Maxim.

Maxim mengangguk. Dengan cekatan dia membungkus semua pesanan sang pelanggan.

"Bonus untukmu, Nyonya Rosella," kata Maxim, sembari memasukkan beberapa butir strawberry segar.

"Kau ini selalu saja memberikan bonus untukku, Max. Apa tidak rugi?" tanya Nyonya Rosella.

"Tentu tidak Nyonya Rosella," jawab Max ramah.

Nyonya Rosella tersenyum. Dia pun memegang pundak Max dan berterima kasih. Tak lupa, wanita itu juga mengatakan tak sabar ingin berjumpa dengan istrinya.

"Pasti istrimu memiliki hati sebaik kau." Itulah kata-kata yang terucap dari mulut sang pelanggan tetapnya, sambil berlalu pergi.

Maxim hanya meringis menanggapinya.

Tanpa menunggu lama, para pelanggan pun mulai berdatangan. Maxim dengan telaten dan sabar melayani pelanggannya satu persatu, sebelum kemudian, seorang bocah berusia dua belas tahun, berlari menerobos ke dalam toko.

"Ada apa, Josh?" tanya Maxim.

Josh mengatur napasnya sejenak. "Kak Max, rumah Kakak kosong!" seru anak itu.

Max mengerutkan keningnya. "Kosong? Ada istriku di sana."

Josh menggelengkan kepalanya, sambil terus mengatur napas. "Tadi ibuku hendak ke rumah Kakak untuk mengantar makanan, tapi beliau menemukan rumah dalam keadaan kosong, dengan kondisi pintu depan terbuka lebar. Tidak tampak keberadaan Kak Gwen di sana!"

Mendengar penjelasan Josh, Maxim terkesiap. Pria itu pun meminta Josh untuk menjaga dan menutup tokonya, bila para pelanggan sudah pergi.

Dasar gadis bodoh! Tahu apa kau soal tempat ini! Batin pria itu.

Terpopuler

Comments

Hiatus

Hiatus

🤭🤭🤭🤭
maaciih udh mampir kk😍😘🤗❤️❤️

2023-01-13

0

Siska Agustin

Siska Agustin

Gwen cari masalah kamu niat kabur,pasti tar nyasar deh!! paling gak tutup pintunya kalo mau kabor tar kalo ada maling gmn rumahmu diambil!!

2023-01-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!