Kehidupan Gwen kini benar-benar jungkir balik. Pasalnya, Abraham hanya mengizinkan gadisnifu untuk tinggal di rumah megah mereka sampai sehari setelah pernikahan saja.
Selanjutnya, beliau langsung mendepak Gwen dari rumah hanya dengan membawa pakaian biasa dan beberapa peralatan make up. Tidak ada gaun mewah, tidak ada koleksi-koleksi tas dan sepatu mahalnya.
"Percuma saja kau membawa itu semua. Kau hanya akan membuat sempit rumah suamimu!"
Mengingat perkataan sang ayah, Gwen tidak berani membayangkan seperti apa tempat tinggal Maxim. Namun, gadis itu tetap berusaha berpikiran baik. Mungkin, ayahnya hanya sedang menggertak dan menakut-nakuti dirinya.
"Mana ada ayah yang tega menjerumuskan anaknya ke dalam jurang penderitaan, kan?" gumam Gwen meyakinkan diri.
Akan tetapi, setelah keduanya tiba di sana, semua prasangka baik yang semula bersemayam di benak Gwen, hilang dalam sekejap. Gwen tidak bisa menahan air matanya lagi. Dalam waktu dua hari, dia sudah menghabiskan segalon air mata hanya untuk menangisi nasibnya yang malang.
"Ayo, masuk!" Maxim membuka suaranya. Pria itu baru saja mengeluarkan dua koper dan satu tas besar milik Gwen dari dalam mobil antiknya.
Gwen menggeleng. Tubuhnya lunglai terduduk di atas kursi bambu seukuran tempat tidur, yang diletakkan persis di halaman rumah mini tersebut.
Dilihat dari luar saja, rumah tersebut tampak menyedihkan. Tidak ada pagar besi yang melindungi rumah. Hanya ada dinding semen setinggi dada orang dewasa yang berfungsi sebagai pagar, tanpa adanya pintu.
Saking kecilnya halaman rumah tersebut, Maxim bahkan sampai harus memarkirkan mobilnya hingga menempel pada pagar semen, agar mereka bisa leluasa berjalan di halaman. Belum lagi, meja lebar yang diletakkan di luar membuat halaman terasa semakin sempit.
"Ayo! Hari sudah sore dan hujan akan turun. Terserah kalau kau mau tetap di sana, sementara aku akan membuat mie instan," ujar Maxim tanpa rasa bersalah. Bersamaan dengan itu, gemuruh petir mulai menggelegar.
Gwen buru-buru bangkit dari posisinya dan mengejar sang suami masuk ke dalam rumah.
Suasana hati Gwen semakin tidak karuan, begitu melihat suasana di dalam rumah. Dia sangat yakin luas rumah itu bahkan tidak lebih besar dari kamar tidurnya.
Bagaimana tidak, begitu masuk, Gwen sudah bisa melihat dapur di sebelah kirinya. Sementara persis di depan mata gadis itu terdapat ruang televisi berukuran kecil, yang hanya memuat satu sofa usang dan meja kecil saja.
Saat Gwen melangkah lebih dalam, dia bisa menemukan sebuah kamar mandi yang letaknya terhimpit di antara dapur dan kamar tidur.
"Kamar tidurnya hanya satu?" tanya Gwen keheranan.
"Memangnya kau mau berapa?" Maxim malah balik bertanya. Pria itu membawa semua barang-barang Gwen ke dalam kamar tidur, dan memintanya untuk segera membereskan.
Gwen masuk ke dalam kamar Maxim. Hal pertama yang dia lihat adalah lemari pakaian berukuran tiga pintu, yang terletak persis di hadapan pintu. Sementara sebuah tempat tidur busa tanpa dipan, terletak di sebelah lemari.
Tak hanya itu saja, satu set meja rias murahan diletakkan di seberang tempat tidur. Meja rias tersebut sepertinya baru dibeli Maxim.
"Makan dulu, baru kau bisa merapikan barang-barangmu, selagi aku pergi," ujar Maxim dari dalam dapur.
Gwen mengintip dari ambang pintu kamar. "Kau mau ke mana?" tanyanya.
"Toko. Aku menitipkan toko pada seseorang. Kau mau ikut?" tawar Maxim.
"Tidak, terima kasih!" serunya ketus.
...**********...
Di antara banyaknya hal yang dia temui hari ini, mungkin inilah satu-satunya hal yang Gwen senangi.
Tirai besar yang menutupi seluruh dinding ruang televisi ternyata merupakan sliding door kaca.
Gwen tak tahu bagaimana menyebutnya, yang jelas, di luar pintu tersebut terdapat lantai kayu sepanjang rumah itu yang berfungsi sebagau tempat berjemur dan bersantai. Sementara lebarnya mungkin hanya tiga meter dari pagar semen.
Dari sana dia bisa melihat hamparan padang rumput dan suara aliran sungai yang menenangkan.
Gwen meletakkan kedua tangannya di atas pagar semen, seraya tersenyum sumringah. Jika saja rintik hujan tidak mulai turun, dia mungkin akan betah berlama-lama di sana.
"Omong-omong, kenapa halaman belakang ini kau pagari semua? Jadi, tidak ada jalan masuk dari luar, kan?" tanya Gwen.
Maxim mengangguk. "Agar lebih aman saja. Jadi aku membuat ruang televisi ini sebagai satu-satunya jalan masuk." Jawab pria itu kalem.
Gwen baru akan mengajukan pertanyaan lagi, sebelum mulutnya sontak terbungkam oleh harumnya mie instan yang dibuat Maxim.
Tak hanya mie instan saja, Maxim juga meletakkan beberapa lauk pendamping, seperti telur mata sapi, sayuran rebus, dan beberapa potong daging sapi.
"Makanlah. Aku tidak bisa menjanjikan makanan mewah untukmu setiap saat, tapi aku jamin kau tidak akan kelaparan," kata Maxim.
Gwen mendecih. Tanpa banyak bicara, gadis itu mulai memakan makanannya.
Seperti yang sudah Maxim katakan sebelumnya, sesaat setelah acara makan sore mereka, pria itu langsung pamit pergi ke toko. Dia juga berpesan pada Gwen untuk mencuci piring bekas makan tadi.
"Cih, memangnya dia siapa menyuruh-nyuruhku seperti itu! Di rumah saja aku tidak pernah melakukan hal ini!" seru Gwen sembari memandangi piring kotor yang ada di kitchen sink. Tanpa memerdulikan perintah sang suami, dia pun meninggalkan dapur menuju kamar.
"Permisi! Max, kau ada di rumah?"
"Max!"
Saat Gwen tengah sibuk memindahkan pakaian-pakaiannya ke lemari, tiba-tiba suara beberapa orang wanita terdengar dari luar.
Gwen mencoba mengabaikan suara-suara tersebut. Namun, semakin lama suara itu semakin mengganggu.
"Siapa yang bertamu hujan-hujan begini, sih!" keluh Gwen.
Pintu rumah Maxim terbuka lebar. Seorang wanita muda cantik keluar dari dalam sana. Sosoknya membuat tiga orang ibu-ibu yang bertandang ke sana bergumam takjub.
"Wah, kau pasti Gwen, istri Maxim, bukan?" tanya salah seorang dari mereka.
Gwen meringis sambil menganggukkan kepala.
Sontak saja ketiga ibu berusia kira-kira empat sampai lima puluh tahunan itu, berebut untuk bersalaman dengannya.
Mereka memperkenalkan diri sebagai, Gabby, Hanna, dan Helen, yang ternyata merupakan tetangga terdekat rumah.
"Kau cukup muda, Nak. Berapa usiamu?" tanya Helen, wanita bertubuh sintal yang tampaknya paling ingin tahu soal dirinya.
"25 tahun, Aunty."
Mendengar jawaban Gwen, ketiganya lantas tertawa keras.
"Panggil saja dengan nama kami. Kita sama-sama pemilik rumah, bukan?" Kali ini, Gabby, wanita bertubuh kurus, yang membuka suaranya.
Dalam hati, Gwen mencibir. Bisa-bisanya dia disamaratakan dengan orang-orang kampung seperti mereka.
Tak betah berlama-lama dengan orang asing, Gwen pun berdalih ingin beristirahat setelah melakukan perjalanan jauh.
"Ahh, benar juga! Maaf, kami jadi mengganggu, Gwen. Lain waktu kita bisa berbincang lagi. Ini, terimalah!"
Gabby, Hanna, dan Helen lantas menyerahkan bawaan mereka ke tangan gadis itu. Ada satu buah labu kuning berukuran besar, sekeranjang jeruk, dan beberapa ikat sayuran hijau. Sepertinya itu adalah hasil panen mereka sendiri.
Gwen terpaksa menerimanya. "Terima kasih banyak atas pemberiannya," ucap gadis itu.
"Sama-sama, Cantik!" Ketiganya pun serempak keluar dari rumah, sambil tertawa-tawa memuji keberuntungan Maxim yang mendapatkan istri secantik dirinya.
Mendengar pujian tersebut, kepercayaan diri Gwen kembali bangkit. "Aku memang secantik itu," gumamnya sambil berlalu menuju rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Siska Agustin
biasalah dimana² tetangga yang kepo itu pasti slalu ada 😁 tp buat hiburan Gwen biar gak hambar dan kesepian hari² mu 😁
2023-01-09
1