Gwen berlari menerjang tubuh Abraham yang sedang berdiri di ambang pintu rumah. Bagai adegan film dramatis, gadis itu menangis tersedu-sedu sembari berceloteh panjang soal penderitaannya selama hidup di desa bersama Maxim.
Abraham mendengkus. Pria itu membalas pelukan sang putri, lalu berkata, "sebenarnya, suamimu lah yang menderita mengurus istri pemalas dan tak bisa mengurus rumah tangga sepertimu, Gwen."
Mendengar celetukan sang ayah, Gwen sontak mengangkat kepalanya dari dekapan beliau. Sejenak, dia menatap Abraham, sebelum kemudian mengalihkan pandangannya pada Maxim yang sedang sibuk mengeluarkan beberapa oleh-oleh untuk ayah mertuanya.
Mendapat tatapan bengis dari Gwen, Maxim mengangkat bahu seolah tak peduli.
"Jadi, Ayah sering berkomunikasi dengan manusia itu?" Gwen kembali menatap ayahnya, sengit.
Abraham mencibir. Dia lepaskan pelukan sang putri tercinta, lalu menyentil dahinya keras. "Kau baru seminggu tinggal di sana, tapi sudah berbuat kegaduhan," kata beliau sembari berlalu menyambut menantunya.
Gwen mengaduh sambil memicing sinis. Mengapa jadi dia yang salah? Tidak tahukah sang ayah, kalau Gwen begitu tersiksa? Satu minggu berada di sana tidak jauh berbeda dengan sepuluh tahun.
"Berlebihan sekali!" Sang ayah lagi-lagi mencibir. Rupanya, kalimat terakhir tadi benar-benar keluar dari mulut Gwen.
"Wah, Ayah suka melon dari Wengberland!" seru Abraham kemudian.
Maxim tersenyum tipis. "Yang ini khusus aku tanam sendiri di tanah milik tetanggaku," ungkap pria itu dengan nada bangga.
Abraham mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu menepuk-nepuk pundak Maxim. "Tak salah memang, memilihmu sebagai menantu Ayah."
"Cih!" cibir Gwen. Muak melihat hubungan mereka yang ternyata jauh dari ekspetasinya, Gwen memilih masuk ke dalam rumah terlebih dulu.
Melihat kepergian Gwen, Abraham pun mengajak Maxim berbincang sejenak di luar.
"Terima kasih sudah mau menjaga, Gwen, Max. Beruntung kau cepat menemukannya tempo hari. Ayah sangat berterima kasih," ucap Abraham. Pria itu memang sudah mengetahui cerita soal Gwen yang hendak melarikan diri.
"Sama-sama, Yah. Aku lah yang telah lalai menjaganya. Maafkan aku, mungkin aku tidak harus berlaku keras padanya," jawab Maxim penuh penyesalan.
Abraham menggelengkan kepala. "Tidak, tidak! Berlaku lah seperti biasa. Ini demi kebaikan Gwen juga."
Maxim terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk setuju. Pria itu pun berkata, bahwa dia sudah menghubungi pihak pengadilan untuk memperketat pengawasan pada Jack dan Allan.
"Ayah juga sudah meminta Ronny untuk mengurus mereka, agar tidak sering keluar dari wilayah pabrik."
Selagi Abraham dan Maxim sibuk berbincang, Gwen memilih naik ke lantai dua menuju kamarnya. Tempat pertama yang dia rindukan adalah walk in closet, yang berada di dalam kamar tersebut.
"Oh, koleksi-koleksiku!" seru Gwen sambil berderai air mata. Dipeluknya satu persatu barang kesayangan gadis itu.
"Aku ingin sekali mengajak kalian semua ke sana, tetapi Ayah benar! Kalian tidak boleh ikut, karena tempat tersebut sangat tidak layak untuk kalian tinggali!" ujar Gwen berapi-api.
"Apanya yang tidak layak, Nona?" Ronny muncul dari ambang pintu kamar Gwen yang terbuka. Pria itu berdiri tegap sembari memasang senyum tipis.
Melihat sosok Ronny, Gwen sontak berlari memeluknya. Dulu, gadis itu padahal selalu saja mengajak Ronny bertengkar, tetapi setelah tinggal bersama Maxim, dia malah merindukan pria kepercayaan ayahnya itu.
Ronny membalas pelukannya singkat. "Syukurlah, Anda terlihat baik-baik saja," ujar pria itu.
Gwen memutar bola matanya jengah. "Kau hanya melihatnya dari luar, padahal di dalam sini, aku mengalami pergolakan batin yang cukup hebat." Gadis itu menunjuk dadanya, seolah ada luka menganga di sana.
"Mungkin karena Anda belum terbiasa. Cobalah untuk membiasakan diri menerima kehidupan di sana. Aku yakin ada banyak hal menyenangkan yang luput dari pandangan Anda."
Mendengar tak ada pembelaan sama sekali dari Ronny, Gwen sontak memicing sinis. "Menyesal aku merindukanmu, ternyata kau sama saja dengan Ayah angkat kesayanganmu itu!"
Gwen langsung meninggalkan Ronny dan menutup pintu kamar dengan keras.
Ronny terkesiap. Pria itu termangu sesaat, sebelum memilih pergi meninggalkan kamar Gwen, seolah tidak terjadi apa-apa.
Sesampainya di lantai satu, Ronny menyambut kedatangan Maxim dengan penuh rasa hormat.
Ketiganya berbincang sejenak sambil menikmati potongan melon segar, sebelum Abraham kemudian meminta sang menantu untuk beristirahat di kamar.
Maklum saja, perjalanan dari Wengberland menuju Lille membutuhkan waktu tujuh jam menggunakan mobil pribadi. Jadi, sudah pasti Maxim kini dilanda kelelahan.
Maxim mengiyakan perintah sang ayah mertua. Dia pun pamit menuju kamar sang istri sambil menenteng koper kecil berisi sedikit pakaian miliknya. Mereka memang berencana akan menghabiskan dua malam di sana.
Akan tetapi, begitu sampai di kamar Gwen, pria itu terkejut mendapati sang istri sedang berganti pakaian.
Gwen sepertinya lupa, jika sekarang dia telah menikah dan tidak akan tidur sendirian di kamar.
Gadis itu memang memiliki kebiasaan berganti pakaian sesuka hati di kamar. Namun, hal tersebut tidak dilakukannya saat tinggal di rumah Maxim. Sebab, kamar mandi berada terpisah.
Berusaha tidak menimbulkan suara, Maxim kembali menutup pintu kamar. Beruntung suara musik yang dipasang Gwen cukup keras, hingga membuatnya tidak menyadari keberadaan Maxim.
Helaan napas keluar dari mulut Maxim, ketika telah berhasil menutup pintu. Sambil bersidekap, pria itu bersandar pada dinding kamar dengan mata terpejam. Dia sedang berusaha menetralkan kembali detak jantungnya yang kini berdebar keras.
...**********...
Sorot mata Gwen kini terlihat jauh lebih bahagia, setelah mendapat perintah dari sang ayah untuk mengajak suaminya jalan-jalan mengelilingi kota Lille.
Tentu saja Gwen senang, sebab dengan begitu, dia bisa sekalian bersenang-senang sambil menyalurkan hobi lamanya.
"Akan tetapi, ingat Gwen, kau tidak boleh mengajak Maxim ke mall!" Abraham tiba-tiba kembali bersuara.
Gwen mengalihkan pandangannya pada sang ayah. Gadis itu menghentikkan suapan kelimanya dengan kening berkerut. "Memangnya kenapa, Yah?"
"Karena sudah pasti, kau lah yang akan memanfaatkan kesempatan itu untuk menjalankan hobi lamamu!"
Gwen terdiam. Suasana hatinya mendadak turun drastis. Sang ayah benar-benar tidak pengertian, padahal diam-diam dia sudah mengantongi uang cash yang tersimpan apik di brankas mini miliknya.
Alhasil, di sinilah dia berada sekarang. Alih-alih pergi ke pusat fashion seperti yang diinginkannya, mereka malah mengunjungi sebuah museum kota yang didedikasikan untuk seni modern dan juga barang antik.
"Kenapa? Sepertinya kau terlihat tidak senang," ujar Maxim, tatkala mendapati raut tak enak di wajah Gwen.
"Sudah tahu, tapi masih saja bertanya. Tidak perlu berpura-pura, kau pasti senang, kan, ayah lebih membelamu dari pada anak kandungnya sendiri!" tuding Gwen ketus.
Maxim mengangkat sebelah alisnya. "Membela yang bagaimana? Beliau hanya memberi penilaian sesuai dengan apa yang dia ketahui," ujar pria itu kalem.
"Dan seharusnya dia tak perlu mengetahui apa pun. Dasar tukang mengadu!" Setelah berkata demikian, Gwen berjalan lebih dulu meninggalkan Maxim.
Maxim menghela napas pasrah. Sepertinya, berlibur di rumah sang ayah mertua sama sekali tidak membuat pria itu bisa hidup tenang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Siska Agustin
ada aja tingkah Gwen yang bikin semua orang menghela nafas...
2023-01-14
1