Suasana di dalam rumah besar keluarga Holtzman terlihat sangat sepi, ketika Gwen berjalan mengendap-endap menuju pintu belakang rumah. Wajar saja, sebab saat ini adalah pukul setengah dua dini hari.
Berbekal sebuah tas ransel berukuran sedang, Gwen berniat untuk kabur dari rumah. Tidak kehabisan akal, dia mengambil sejumlah uang tunai terlebih dahulu untuk berjaga-jaga bila sang ayah memang benar-benar akan memblokirnya, begitu tahu dia telah pergi dari rumah.
Gwen sempat menyembunyikan diri, tatkala menyadari ada seseorang yang baru saja pergi dari dapur, persis melewati dirinya.
Begitu seseorang tersebut pergi, dengan cepat Gwen buru-buru keluar dari sana. Tubuhnya yang ringan memudahkan Gwen melangkah tanpa suara. Tak perlu banyak tenaga, gadis itu akhirnya sampai di taman belakang rumah.
Kini hanya tinggal satu langkah lagi, agar dia bisa terbebas dari rumah tersebut. Yaitu melewati tembok tinggi menjulang yang mengelilingi rumah megahnya.
Gwen tidak mungkin pergi melalui pintu depan, sebab para penjaga pasti akan langsung menangkapnya. Jadi, demi melancarkan aksi melarikan dirinya, gadis itu mau tidak mau harus memanjat dinding setinggi empat meter tersebut.
Beruntung, keahliannya memanjat tebing saat masih kuliah, dapat terpakai di situasi darurat seperti ini. Dengan berbagai peralatan yang masih ada, Gwen bersusah payah menaiki dinding belakang rumah.
Gwen sengaja memilih dinding di dekat kolam ikan, karena sebagian besarnya ditempeli beberapa ornamen-ornamen. Jadi, dia bisa menggunakan itu sebagai pijakan kaki.
Setelah berusaha keras, Gwen akhirnya menghela napas, saat kaki mungilnya berpijak pada tanah di balik dinding.
"Tak kukira akan semudah ini. Aku tidak peduli soal CCTV, yang jelas aku berhasil keluar dari sini," ungkap Gwen.
Akan tetapi, dewi fortuna sepertinya belum mau memberikan keberuntungan untuk Gwen. Pasalnya, begitu dia berbalik badan, sosok seorang pria yang tidak ingin dilihatnya ternyata berada di sana.
Gwen nyaris berteriak, sebelum kemudian menutup rapat mulutnya kuat-kuat.
"Apa yang kau lakukan di ini!" bisik Gwen ketus. Matanya memicing sinis.
"Aku lah yang harus bertanya. Apa yang kau lakukan larut malam begini?" Maxim mengerutkan keningnya dalam-dalam. Matanya menatap Gwen curiga. "Jangan-jangan, kau berniat kabur dari rumah ya?"
"Cih!" Gwen mendecih. "Kalau iya, memangnya kenapa? Apa urusannya denganmu? Lagi pula, bagaimana kau bisa berada di sini? Jangan-jangan, kau sengaja menguntitku!" Tanpa memerdulikan sopan santun, gadis itu menuding Maxim. Telunjuknya bahkan terarah pada hidung pria itu.
Maxim terdiam sejenak. Terlihat sekali, pria itu sedang menahan diri untuk tidak terpancing sikap kurang ajar Gwen.
"Pulang! Ayahmu pasti khawatir, begitu tahu kau tidak ada di rumah," titah Maxim.
"Cih! Aku tidak akan pulang ke rumah, sebelum ayah membatalkan perjodohan kita!" seru Gwen sinis.
"Bukan seperti ini jika ingin menolak, Gwen," ucap Maxim kalem.
Gwen bertolak pinggang. "Tidak perlu sok menasihatiku ya! Dari pada menasihatiku hidupku yang baik-baik saja ini, lebih baik pikirkan hidupmu esok hari! Memangnya, kau butuh uang berapa untuk hidup? Aku bisa memberikannya, asal kau mau menolak perjodohan ini."
Maxim menggelengkan kepalanya. Mengetahui sikap kurang ajar Gwen, pria itu malah semakin ingin mengajarkannya bagaimana menjalani hidup yang benar.
"Halo, aku sedang bertanya. Kau seharusnya ... Hei, turunkan aku!" Gwen yang sedang berbicara tiba-tiba memekik keras, ketika Maxim tanpa permisi mengangkat tubuhnya bak karung beras.
Gadis itu terbelalak. Dia meronta-ronta hingga berusaha menggigit tangan Maxim. Namun, usahanya tidak berhasil. Tubuhnya yang tinggi besar sama sekali tidak terganggu dengan apa yang dilakukan si gadis kecil Gwen.
Maxim berjalan kaki menuju pagar besar rumah Gwen.
Melihat kedua orang penjaganya, gadis itu pun berteriak meminta tolong. "Pak, tolong saya, dia ini orang jahat!" teriak Gwen.
Bukannya menjawab, kedua penjaga tersebut hanya bisa meringis. Mereka malah membungkuk hormat pada Maxim, sebelum kemudian membukakan pintu pagar.
Gwen sontak terkejut. Dia kembali berusaha melepaskan diri.
Tidak butuh waktu lama bagi Maxim untuk sampai di dalam rumah besar keluarga Holtzman. Barulah Maxim sudi menurunkan Gwen di sana.
Saat Gwen hendak memukulnya, suara besar Abraham terdengar.
"Yah, dia lah yang memulainya! Ayah lihat, kan, tadi, dia dengan kurang ajar menggendongku bak karung beras!" seru Gwen. Gadis itu lupa mengapa tiba-tiba sang ayah berada di sana.
"Kau lah yang kurang ajar, karena mencoba kabur dari rumah, Gwen!" balas Abraham dingin. "Dari awal sebenarnya Ayah tahu, kau akan melarikan diri dari rumah. Jadi, Ayah membiarkan dirimu lolos, dan meminta tolong pada Maxim untuk membawamu kembali ke sini," ungkap pria itu kemudian.
Mendengar hal tersebut, Gwen terkejut setengah mati. Emosinya tidak terkontrol. Dia menangis sembari meneriaki sang ayah yang telah tega menyakiti dirinya.
Akan tetapi, Abrahan sepertinya tidak terpengaruh. Atas saran sang calon menantu, Gwen memang harus didisiplinkan.
"Jangan membuat drama, Gwen. Ayah tahu, kau tengah bersandiwara!"
Gwen mengeraskan kembali tangisannya. Namun, sedetik kemudian, dia menghapus air matanya dan berjalan menghampiri beliau.
"Yah, kumohon, aku akan menjadi anak baik asalkan perjodohan ini dihentikan," pinta Gwen dengan wajah memelas.
"Kalau begitu, kau juga bersedia menjadi penerus Ayah di kantor, bukan?" tanya Abraham.
"Untuk satu itu, aku tidak bisa, Yah. Namun, aku berjanji untuk tidak menghambur-hamburkan uang lagi!" jawab Gwen tegas.
Raut wajah Abraham berubah datar. Gwen sontak panik.
"Ti—tidak, Yah. Aku janji akan memikirkannya, aku akan memikirkannya!" seru Gwen begitu menyadari raut wajah sang ayah.
Akan tetapi sepertinya hal tersebut tidak mempengaruhi Abraham. Pria itu hafal benar dengan segala trik-trik tipuannya.
"Ayah tidak mau tahu, minggu depan kalian berdua akan menikah!"
"TIDAAAK!"
...**********...
Alhasil, di sini lah Gwen berada. Berdiri tepat di sebelah Maxim yang terlihat sangat tampan dengan setelan jas pengantinnya.
Air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi gadis itu. Itu adalah tangisan kesedihan kedua setelah kematian sang ibu tercinta, tetapi para tamu undangan malah menganggap tangisannya merupakan bentuk keharuan.
"Kalian sudah siap?" tanya seorang pendeta yang didapuk untuk menikahkan mereka berdua.
"Tidak!"
"Ya."
Baik Gwen, mau pun Maxim, serempak menjawab pertanyaan sang pendeta dengan jawaban yang tidak sama.
"Baiklah, kita mulai."
Gwen semakin menangis, karena ternyata pendeta tersebut hanya mendengarkan jawaban Maxim.
Sumpah pernikahan pun dimulai. Butuh waktu lama bagi Gwen untuk mengiyakan sumpah tersebut. Kini, resmilah mereka berdua sebagai suami istri.
Gwen pikir, acaranya ini sudah selesai. Namun, gadis itu lupa dengan sesi terakhir pemberkatan.
Gwen membelalakkan matanya, saat Maxim dengan gerakan perlahan membuka veil yang menutupi wajahnya.
Gwen tak sempat menghindar, ketika Maxim dengan cepat mendaratkan ciiuman mesra di bibir gadis itu.
Gwen menangis sesenggukkan. Walau harum tubuh Maxim sempat membuatnya linglung, tetap saja dia merasa dunianya kini telah hancur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Siska Agustin
Gwen siap² hidupmu bakal berubah 180° dr sebelumnya...Maxim kok aq merasa dia bukan pria miskin ya..
2023-01-09
1