Seolah tidak mendengar teguran sang ayah, Gwen memilih pergi meninggalkan ruang tamu saat itu juga. Namun, Abraham dengan suara lantang dan tegas meminta sang putri tunggal untuk duduk bersama mereka di sana.
Gwen marah. Namun, mengingat dia baru saja mencari gara-gara dengan sang ayah perihal kartu kredit, membuat gadis itu mau tidak mau menurut.
Begitu Gwen duduk tepat di seberang Maxim, Abraham pun berdeham. "Gwen, Ayah tidak akan berbasa-basi," kata pria paruh baya itu memulai pembicaraan. Gwen bisa melihat keseriusan di raut wajah sang ayah.
"Aku juga tak suka berbasa-basi, Yah," celetuk Gwen seolah menganggap enteng perkataan beliau. Hal itu tentu saja langsung memancing pelototan Abraham.
"Oke, hari ini Ayah sedang tidak ingin bertengkar denganmu. Ayah hanya ingin bilang, bahwa kau dan Max harus saling mengakrabkan diri," ungkap pria itu gamblang.
Gwen sontak mengerutkan keningnya. "Untuk apa?" tanya gadis itu ketus.
"Biarkan Ayah selesai bicara!" tegas Abraham.
Gwen memiringkan bibirnya sambil bersidekap.
"Gwen, sebenarnya kau dan Max sudah saling mengenal sejak kecil. Namun, karena Max harus ikut keluarganya keluar kota, kita kehilangan kontak."
"Ya, lalu?" Seolah tidak tertarik dengan pembicaraan barusan, Gwen bersikap tak acuh. Dia malah sibuk meniup-niup kuku-kukinya yang baru saja mendapat perawatan di salon.
Lagi pula, dia sama sekali tidak mengingat siapa pria itu. Seingatnya, sang ayah memang memiliki banyak kenalan yang silih berganti. Jadi, buat apa dia mengingatnya.
"Dulu, ayah dan orang tua Max pernah saling mengutarakan janji. Namun, janji tersebut belum pernah terlaksana." Abraham meneruskan kalimatnya, berusaha tidak memerdulikan sikap Gwen.
Gwen berdecak. "Lalu, apa hubungannya dengan mengakrabkan diri?" tanya gadis itu. Dia sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan ayahnya.
"Tentu saja ada hubungannya. Yang jelas, mulai besok, cobalah untuk saling mengenal. Kalian bisa keluar rumah bersama dan melakukan berbagai macam hal. Anggap saja mengingat kembali masa kecil kalian."
Gwen sontak mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Maaf, Ayah, aku tidak bisa! Untuk apa aku harus repot-repot mengakrabkan diri dengan orang itu? Kenal saja tidak! Lagi pula, apa hubungannya dengan janji ayah? Bergaul? Haha, aku bahkan tidak bisa menatap wajahnya lebih lama!" tukas Gwen terang-terangan sambil menatap sinis Maxim dari atas ke bawah.
Abraham mendecak kesal. "Karena Ayah akan menikahkanmu dengan Maxim, Gwen. Itu lah janji Ayah dan orang tuanya!" seru pria itu cepat. Sebenarnya, Abraham tidak ingin memberitahu Gwen dulu soal pernikahan, tetapi sikap sang putri sudah benar-benar kurang ajar, dan itu membuat emosi Abraham naik ke permukaan.
Mendengar kata pernikahan yang terlontar dari mulut Abraham, Gwen sontak membelalakkan matanya. Gadis itu dengan sigap berdiri dari kursi, lalu menunjuk wajah Maxim. "Aku ... menikah dengan pria lusuh ini? TIDAK AKAN!" teriak Gwen lantang.
"Apa Ayah sudah gila? Ayah ingin menumbalkan anak kandung satu-satunya yang Ayah miliki?" sambung gadis itu murka.
Abraham menghela napas. Pria itu menatap Maxim, seolah meminta maaf atas sikap kurang ajar Gwen.
"Duduk Gwen!" titah Abraham dingin.
Gwen duduk serampangan. Mulutnya terus mengoceh tentang penolakan. Meski terlihat keras, tetapi Maxim bisa melihat air mata yang hendak keluar dari pelupuk gadis itu.
"Kau!" Gwen menunjuk wajah Maxim sekali lagi. "Mengapa dari tahu kau diam saja seperti orang bisu! Katakan, bahwa kau tidak setuju dengan pernikahan ini. Cepat!" Tidak peduli Maxim akan sakit hati atau tidak, Gwen meneriakinya.
Mendapat tudungan keras, Maxim sedikit terkejut. Namun, dia berusaha tetap tenang.
Melihat Maxim tidak menjawab, perasaan Gwen seketika campur aduk.
Jangan-jangan, pria itu menyetujui rencana para orang tua! batinnya.
"Maxim sudah menyetujuinya." Abraham lah yang membantu Maxim menjawab tudingan Gwen, sekaligus membenarkan apa yang telah menjadi ketakutannya barusan.
Pria itu sudah terlebih dahulu memberikan persetujuan.
"Yang jelas, Ayah tidak mau tahu, Gwen. Suka atau tidak suka, pernikahan ini akan tetap terlaksana. Berani membantah, itu artinya kau bukan sudah bersiap untuk keluar dari keluarga Holtzman!"
Mendapat ancaman dari sang ayah, Gwen naik pitam. Gadis itu melempar bantal sofa ke sembarang arah dan pergi meninggalkan ruang tamu.
"Maafkan sikap dia, Max," ucap Abraham sepeninggal putrinya.
"Tidak apa-apa, Uncle. Aku mengerti," jawab Maxim. "Lalu, bagaimana selanjutnya, Uncle?" tanya pria itu.
"Pernikahan akan tetap dilaksanakan secepatnya." Hanya itu yang keluar dari mulut Abraham.
Maxim mengangguk patuh. Pria itu pun pamit pulang. Dia menolak tawaran Abraham untuk bermalam di sana.
...**********...
Sesampainya di kamar, Gwen membanting dirinya di ranjang. Gadis itu menangis tersedu-sedu mengingat pembicaraan yang baru saja terjadi.
Ayahnya benar-benar tidak waras. Bagaimana bisa dia dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak dikenal? Persettan dengan masa lalu mereka. Itu sama sekali tidak merubah fakta, bahwa keduanya orang asing yang tidak saling mengenal.
Gwen tiba-tiba teringat kembali pada penampilan Maxim yang terlihat sangat menyedihkan. Setelan pakaian murahan dan mobil antik tua yang digunakan Maxim, benar-benar membuat bulu kuduk Gwen meremang.
Gwen tidak bisa membayangkan seperti apa hidupnya kelak, jika dia menikah dengan pria itu. Sebab, satu-satunya hal yang paling dia takutkan di dunia ini adalah jatuh miskin.
Apa yang harus aku lakukan? batin Gwen gelisah.
"Kabur!" celetuknya. Untuk sesaat, Gwen merasa keputusan tersebut adalah keputusan terbaik, sebelum kemudian kenyataan lain menghantam benaknya.
Mengingat sikap sang ayah yang lumayan keras, sudah bisa dipastikan seluruh akses dan kartu kredinya akan langsung diblokir, begitu Gwen melangkah keluar dari pagar rumah.
Gwen sontak menggelengkan kepalanya kuat-kuat, sambil mengacak rambutnya frustrasi. Dalam dekapan bantal, gadis itu kembali berteriak-teriak bak orang gila.
...**********...
"Bagaimana pertemuanmu dengan putri teman Papa, Max?" Suara seorang pria terdengar dari balik sambungan telepon.
Maxim yang baru saja tiba di rumah, meletakkan kunci mobilnya di sebuah pajangan kayu. "Seperti yang Papa dan Uncle Abraham katakan," jawab Maxim singkat.
"Papa harap, kau tidak keberatan dengan perjodohan ini. Percayalah, Max, Gwen merupakan gadis yang baik. Dia hanya salah pergaulan dan butuh tuntunan seseorang."
"Aku mengerti, Pa. Aku sudah cukup mengenalnya saat kecil," jawab Maxim.
"Baiklah. Kalau begitu, sampaikan salam Papa pada mereka."
Maxim mengiyakan, sebelum akhirnya menutup sambungan telepon dari sang ayah terlebih dulu.
Pria itu terduduk kemudian duduk di depan ruang televisi kecil, yang hanya memuat satu sofa dan satu meja tamu saja. Di sana, Maxim mengingat-ingat kembali momen pertemuannya dengan Gwen barusan.
Ya, Gwen memang gadis urakan yang doyan membantah. Tak hanya itu saja, sikapnya pada orang lain juga kurang ajar. Terlebih, ketika dia tahu bahwa orang tersebut memiliki kedudukan yang tidak lebih tinggi darinya.
Hal tersebut tentu saja menjadi tugas berat bagi Maxim, untuk bisa merubah Gwen kelak.
Maxim menghela napas panjang. Rasanya dia ingin menarik kembali persetujuan yang sudah terlontar. Namun, melihat bagaimana Gwen bersikap kurang ajar pada ayah kandungnya sendiri, membuat pria itu geram.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
ᴍ֟፝ᴀʜ ᴇ •
semangat max, perjuanganmu akan segera dimulai
2023-04-19
0
Siska Agustin
Maxim harus berjuang keras untuk bisa mengubah sifat dan sikap Gwen jadi lbh baik,lebih menghargai orang lain dan menghargai uang supaya gak selalu menghamburkan uang
2023-01-07
1