Tuhan, semoga saja Emak tidak melihat ini. Jika ia melihatnya mungkin ia akan memarahiku tapi apa boleh buat aku sangat menginginkan uang untuk membeli sendal yang ada di toko sendal itu.
"Apa sudah selesai?"
"Sedikit lagi, pak," jawabku yang mempercepat gerakan tangan menyikat permukaan sepatu yang telah mengkilat itu.
Aku mengusap keringat yang menetes membasahi keningku. Ternyata sungguh melelahkan pekerjaan ini. Aku pikir menyemir sepatu begitu sangat mudah namun rupanya tidak.
"Menyingkir lah!" ujarnya sambil sedikit menggerakkan kakinya dan nyaris mengenai wajahku.
Aku melangkah mundur dan mendongak saat dia bangkit. Kedua matanya menatap ke arah kedua sepatu yang telah aku semir itu.
"Bagus," ujarnya berkomentar membuat aku tersenyum bahagia.
Aku takut Bapak berjas hitam itu tidak suka dengan hasil kerjaku dan menolak untuk membayar hasil kerjaku itu.
Aku segera bangkit saat ia menjulurkan beberapa lembar uang dan langsung meletakkannya di dalam genggaman tanganku lalu ia melangkah pergi meninggalkan aku di halte bis.
"Terima kasih, pak!" teriakku begitu bahagia ini adalah upah pertamaku.
Aku membuka jemari tanganku yang sejak tadi mengenggam yang kini aku buka hingga beberapa lembar uang yang tidak terlalu banyak namun, tentu saja bisa membuat aku tersenyum bahagia membuat gigiku tersusun rapi itu terlihat.
Usaha memang tidak pernah menghianati hasil namun, jika menghianati hasil maka itu pertanda jika kita harus berusaha lagi sampai kita meraih hasil yang benar-benar hal yang kita inginkan.
Cukup lama aku bergelut dengan jalan raya, menyeberangi jalanan untuk menawarkan jasa semir sepatu kepada orang-orang yang berlalu-lalang berharap salah satu dari mereka meminta untuk di semirkan sepatunya.
Aku melakukannya dengan sungguh-sungguh, tak ingin mereka kecewa dengan hasil kerjaku agar kelak jika ia ingin menyemir sepatunya maka dia akan mencari aku bukan aku yang mencarinya lagi.
Aku menjulurkan semua hasil yang aku dapat hari ini kepada Beta yang kedua matanya menjadi berbinar saat ia telah menggenggam uang yang aku berikan kepadanya.
"Bagus juga, lumayan," ujarnya sambil memukul-mukul kan uang kertas itu ke telapak tangannya.
Setelah ia menghitung uang yang aku dapatkan Beta kemudian membagi dua uang yang aku berikan itu. Sebagian untuknya dan sebagian untukku. Aku tidak masalah dengan pembagian uangnya yang penting aku bisa mendapatkan uang yang bisa aku simpan. Kini di tanganku hanya terdapat uang sepuluh ribu, ini cukup untuk aku simpan hari ini.
Aku mendongak menatap langit sepertinya sudah semakin gelap dan aku tidak ingin emak pulang lebih dulu ke rumah dan merasa khawatir karena aku belum juga pulang. Setelah berpamitan dengan Beta kini aku memutuskan berlari pulang ke rumah sambil sesekali mengusap keringat yang membasahi tubuhku serta merapikan bajuku yang sempat terkena semir sepatu hingga memberikan bekas menghitam di sana.
Aku membuka kedua sepatuku saat aku telah tiba diadakan tangga lalu mendongak menatap ke arah pintu yang masih tertutup. Untungnya Emak belum pulang dari bekerja jadi aku masih bisa memiliki waktu untuk memasak dan membersihkan rumah.
Setibanya di dalam rumah aku bergegas melakukan kegiatanku sehari-hari seperti memasak dan merapikan rumah. Aku tak ingin jika Emak merasa curiga jika ia tiba di rumah sementara pekerjaan tidak selesai aku kerjakan
...****...
Suara adzan isya berkumandang. Seperti biasa aku akan berdiri di depan Emak memimpin jalannya sholat isya yang terdiri dari empat rakaat itu. Setelah kematian Bapak kini aku ditugaskan untuk memimpin shalat untuk emak dan hal itu cukup berat bagiku.
Memang hal ini cukup berat namun, jika bukan aku yang menjadi imam Emakku lalu siapa lagi yang akan melakukannya
Setelah melaksanakan sholat kini aku beranjak dari tempat dudukku menghampiri Emak dan mencium punggung tangannya serta kedua pipinya. Emak akan mengelus pipiku, mengusapnya begitu sangat lembut membuat aku merasa jauh lebih bahagia.
"Bagaimana hari ini? Apa kau lelah?" tanyanya dengan wajah yang begitu perhatian.
Aku tahu Emak sepertinya melihat wajah lelah pada raut wajahku. Aku menggelengkan kepala pelan dan memberikan senyuman tipis memperlihatkan kepada Emak bahwa aku tidak lelah. Aku baik-baik saja.
"Sepertinya hari ini kau banyak belajar matamu terlalu sayup. Kau sepertinya sangat lelah."
"Iya Ma. Bandi sedikit lelah. Mengikuti lomba cerdas cermat mewajibkan Bandi untuk belajar lebih giat lagi."
"Bandi tidak ingin mengecewakan guru-guru dan juga teman-teman, Mak," sambungku.
"Kalau begitu istirahatlah, nak! Biar tidak terlambat bangun paginya."
Aku mengangguk lalu melangkah kakiku ke kamar meninggalkan Emak yang masih terduduk di atas sajadah sambil menyentuh satu persatu butiran tasbih berwarna putih yang telah usang dimakan usia.
Aku mengeluarkan uang sepuluh ribu dari saku celanaku. Menatapnya dengan mata yang berbinar, ini adalah hasil kerja kerasku hari ini. Jika aku bekerja beberapa hari lagi mungkin aku sudah bisa membeli sendal yang aku lihat di toko sendal itu. Ah, tak sabar rasanya melihat sendal itu terpasang di kaki Emak.
Aku menoleh ke segala arah menatap permukaan kamarku berusaha mencari wadah untuk menyimpan uangku ini. Kali ini aku berniat untuk menabung uangku. Ya sedikit demi sedikit pasti akan menjadi bukit.
Setelah beberapa menit mencari bahkan telah membuat aku keluar masuk dari dapur ke kamar untuk mencari wadah kini akhirnya aku meletakkan sebuah botol sirup di atas meja. Aku menatapnya dengan penuh keseriusan, sepertinya botol ini bisa aku gunakan sebagai pengganti celengan.
Aku tak punya uang untuk membeli celengan. Kalaupun harus membeli celengan, sayang saja uang yang seharusnya aku bisa simpan harus dibelikan celengan.
Aku merobek kertas pada sebuah buku tulisku. Menutup di ujung botol itu dan mengikatnya dengan karet lalu mulut botol itu yang telah aku tutupi dengan kertas aku lubangi sedikit menjadikan lubang itu sebagai alat memasukkan uang-uangku.
Sepuluh ribu berhasil masuk ke dalam rongga botol itu. Aku bisa melihatnya dengan jelas membuat aku semakin bahagia, tak sabar rasanya menunggu hari esok dan tak sabar juga ingin melihat botol ini penuh dengan uang.
"Bandi! Kau belum tidur?"
Suara itu terdengar membuat aku tersentak kaget. Aku menoleh menatap Emak yang kini sedang berdiri di bibir pintu. Aku meneguk ludah bahkan jantungku berdebar-debar saking terkejutnya seakan Emak adalah seorang polisi yang menangkap seorang pencuri. Dan pencurinya adalah aku.
"Apa yang kau lakukan di situ, nak? Bandi sedang belajar?" tanya Emak.
Aku menoleh menatap beberapa buku yang ada di atas mejaku lalu kembali menoleh menatap Emak masih terdiam di sana menanti aku menjawab. Aku mengangguk dengan wajah yang begitu takut persis anak kecil yang tertangkap basah sedang mencuri.
"Kalau begitu belajarlah! Sesudah itu kau tidur, ya! Jangan terlalu larut!"
"Iya Mak," jawabku cepat membuat Emak melangkah keluar dari kamar.
Aku bernafas dengan legah. Aku takut jika Emak mempertanyakan dari mana aku mendapatkan uang ini karena aku tahu Emak melarang aku bekerja.
Beberapa menit aku terdiam menoleh kiri kanan berusaha mencari tempat yang bagus untuk menyembunyikan botolku ini kini akhirnya aku memutuskan untuk meletakkan botol ini di bawah kasurku yang sudah lapuk itu. Ya, di tempat ini pasti Emak tidak akan menemukannya. Semoga saja, aku harap seperti itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
strawberry
beta apa budi?
2025-02-06
0