...--°°°--...
Aku meletakkan wadah berisi nasi ke atas meja makan. Menyiapkan perlengkapan makan dan juga sayur kelor yang telah aku masak. Aku kemudian menuangkan air ke dalam dua gelas dan setelahnya aku melangkah mundur dengan mata yang berbinar saat melihat masakanku telah jadi.
Masakan ini telah siap untuk disantap dan saatnya untuk menunggu emak pulang dari kerja. Baru saja aku ingin melangkah keluar rumah untuk menanti emak tanpa aku sedari ternyata emak sudah berada di depan pintu.
Ia nampak membuka sendal tua berwarna hitam yang telah menipis bahkan aku pernah mencoba memakainya dan aku bisa merasakan bebatuan kasar yang menusuk di permukaan sendal. Walaupun aku memakai sendal tapi rasanya kosong. Setipis permukaan sendal hingga aku bisa merasakan betapa kasarnya bebatuan yang aku injak.
Aku masih ingat sendal itu sudah cukup lama. Sendal yang dibelikan oleh bapak di saat emak ulang tahun. Hal yang begitu sangat romantis dan hal yang begitu sangat manis yang telah dilakukan oleh bapak.
Aku tahu bapak sangat mencintai Emak dan begitu pula sebaliknya hingga sampai saat ini Emak tak pernah mengganti sendal yang Bapak belikan untuk Emak.
Aku tahu sendal yang Bapak belikan itu adalah sebuah kenangan indah dan tentu saja tak bisa dilupakan oleh emak begitu saja. Sepertinya itu juga yang menjadi alasan mengapa emak tidak pernah membeli sandal ataupun berniat untuk mengganti sendalnya.
Aku pernah bertanya mengapa Emak tidak membeli sendal yang baru saja dan dia mengatakan kalau memakai sandal itu membuatnya merasa jika bapak sedang bersamanya dan menemaninya disaat di setiap perjalanan menuju ke tempat kerja.
Hal yang begitu sangat manis. Luar biasa rasa cinta Emak kepada Bapak dan di saat itu juga aku selalu merasa sedih. Andai saja bapak tidak pergi secepat itu mungkin Emak tidak akan semurung ini.
Aku tahu Emak selalu tersenyum tapi aku tahu juga jika hatinya sedang tidak baik-baik saja. Di hatinya pasti ia masih menginginkan kehadiran bapak di dalam kehidupannya.
Bukan hanya Emak yang sedang merindukan bapak tapi aku juga. Aku merindukan kecupan dan belaian Bapak. Mungkin Tuhan benar-benar mengambil sosok berhati malaikat dan juga itu terjadi pada bapak.
Ah, sudahlah. Mari kita lupa kata tentang kisah sedih itu dan kini aku tersenyum menatap kedatangan Emak yang berjalan sedikit kesusahan. Bukan karena kakinya yang pernah patah ataupun keseleo tapi karena usianya yang sudah tua.
Dulu Emak pernah bilang kalau kelahiranku itu baru terjadi saat usia pernikahan bapak sudah 40 tahun. Cukup lama hingga akhirnya aku yang masih berusia 13 tahun nampak seperti seorang cucu jika berjalan bersama dengan Emak.
Aku pernah mengalami kejadian yang kurang menyenangkan lebih tepatnya saat Emak datang ke sekolah untuk mengambil raporku. Disaat itu guru mewajibkan orang tua yang mengambil rapor anak-anaknya dan emak memutuskan untuk datang sementara bapak sibuk bekerja.
Awalnya semua berjalan dengan lancar. Nama teman-temanku disebut dan mereka semua melangkah maju bersama dengan Emak ataupun bapak mereka.
Tiba giliranku guru menolak untuk memberikan rapor. Ia mengatakan jika lapor tidak diberikan kepada nenek tapi kepada ibu dan hal itu membuat aku dan emak saling bertatapan.
Aku pikir Emak akan marah tapi dia tertawa kecil lalu menyentuh punggung tangan ibu guru dengan lembut lalu mengatakan hal ini dengan lembut, "Aku memang terlihat sangat tua. Usiaku sangat tua saat aku mengandung Andi. Aku adalah Emaknya Andi."
Dan setelah Emak mengatakan itu ibu guru langsung tertawa bukan tertawa yang lepas yang sering aku lihat tapi tertawa yang sepertinya merasa bersalah. Setelah itu ibu guru minta maaf kepada emak dan emak dengan senang hati memaafkannya.
Emak sangat baik begitu pula juga dengan bapak. Semakin hari tubuh Emak semakin rendah. Kulitnya berkeriput dengan mata yang perlahan berwarna biru sedikit memudar. Rambutnya terlihat berubah dengan tubuhnya yang semakin lama semakin membungkuk serta perlahan-lahan giginya mulai tanggal satu persatu. Sudah cukup tua Emakku itu.
Aku berharap bisa selalu bersama emak kapanpun dan dimanapun dia berada. aku tidak ingin seseorang mengambil Emak dariku sudah cukup Bapak yang pergi meninggalkan aku bersama dengan Emak.
Aku meraih topi yang terbuat dari anyaman bambu yang telah dicat berwarna kuning agar topi yang terbuat dari anyaman bambu itu jadi lebih tahan lama dan Emak tidak bersusah payah ke kota untuk membeli yang baru.
Aku menggantung topi itu ke sebuah paku yang ditancap di dinding rumah. Emak tersenyum saat aku meraih punggung tangannya dan menguncupnya dengan lembut.
"Apa Emak capek?" tanyaku dan dengan cepat Emak menggeleng dan mengatakan, "Tidak. Emak tidak capek."
Ya tentu saja itu adalah sebuah kebohongan yang nyata. Emak selalu mengatakan kata tidak tapi aku tahu emak sangat lelah. Ia berangkat pagi-pagi sekali dimana alam masih sangat sunyi dan redup, Emak sudah berangkat pergi bekerja.
Katanya semakin cepat ia pergi bekerja maka semakin cepat pula kerikil-kerikil bisa terkumpul banyak. Butuh 2 sampai 3 hari agar kerikil yang ia buat pecah itu genap satu mobil pick up.
"Andi sudah masak jadi Emak mau langsung makan atau mandi dulu?" tanya aku.
"Emak mau mandi dulu."
"Silakan mandi, Mak!"
Aku berlari masuk. Meraih sarung yang berada di atas ranjang dan membawakannya kepada emak. Emak tersenyum sambil meraih sarung yang aku berikan hingga gusinya yang hanya memiliki beberapa gigi itu terlihat.
"Terima kasih Andi," ujarnya dengan lembut sambil membelai kepalaku.
Aku membantunya masuk ke dalam kamar mandi memastikan Emak tidak terjatuh saat kakinya melangkahkan di permukaan papan yang setiap hari sengaja aku sikat agar tidak licin.
Aku tidak ingin jika Emak sampai terjatuh karena papannya yang licin.
"Andi sudah siapkan air dan Andi juga sudah menyiapkan air hangat untuk Emak jadi Emak tinggal mandi saja."
"Andi masuk dulu ya, Mak karena Andi siapkan baju untuk Emak."
Lagi dan lagi Emak kembali tersenyum. Ia kembali membelai pipiku dan hal yang sering aku dengar kembali terdengar.
"Terima kasih ya, Andi."
Aku tak membalas ucapan terima kasih itu. Bagiku sosok Emak tidak perlu mengucapkan kata terima kasih kepada anaknya. Untuk apa yang mengatakan kata terima kasih jika sejak awal dia telah mengorbankan nyawanya hanya untuk melihat anaknya lahir ke dunia.
Ingat saja kawan! Seorang ibu rela mengorbankan nyawanya, mengandung 9 bulan hanya untuk satu hal yaitu melihat anak yang berasal dari rahimnya tumbuh besar dan merasakan udara di dunia ini.
Sudah menjadi kebiasaan aku melangkah ke kamar emak mengeluarkan beberapa pakaian yang akan emak gunakan setelah ia mandi dan akan aku letakkan di atas permukaan ranjang.
...--°°°--...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments