"Emak! Emak!"
"Emak!"
Aku memanggil Emak saat aku baru saja tiba di dalam rumah sambil menenteng kedua sandalku yang baru saja aku lepas sebelum aku menaiki anakan tangga dan meletakkan sepasang sepatuku di atas rak sendal yang sudah tua itu.
Aku menyusuri setiap ruangan rumah hingga aku dibuat terduduk di kursi di mana Emak selalu duduk di tempat itu lalu menatap bingkai foto dengan sebuah tangisan kecil saat kenangan indah mengingatkannya pada sosok Bapakku.
Aku sudah sangat bahagia, tak sabar rasanya memberitahu Emak kalau aku akan ikut lomba cerdas cermat itu. Sepertinya aku harus memberitahu Emak dan jalan satu-satunya adalah menemui Emak di tempat kerja.
Ya aku menoleh menatap permukaan jam yang masih menunjukkan pukul 02.00 siang, Emak sepertinya memang belum pulang kerja karena biasanya Emak akan pulang sekitar jam 5 sore. Aku memilih untuk melepaskan seragam sekolahku dan menukarnya dengan pakaian hari-hari lalu memilih untuk merapikan rumah seperti menyapu dan masih banyak lagi kegiatan yang harus aku lakukan, ini kegiatan yang aku selalu aku lakukan rutin setiap hari.
Sebelum aku pergi untuk menemui Emak dan memberitahunya jika aku akan ikut lomba cerda cermat kini aku memilih untuk menelusuri bagian samping rumahku mencari daun kelor yang tumbuh subur. Terakhir kali aku mengambilnya beberapa hari yang lalu saat Emak dan aku telah bosan makan sayur kangkung.
Aku memetiknya sedikit, tidak terlalu banyak yang penting bisa disantap untuk makan malam dan setelah memetiknya kini aku memutuskan kembali ke rumah dengan beberapa batang daun kelor yang telah aku petik tadi.
Hari ini aku akan memasak sayur kelor dan juga nasi saat aku menanti makanannya matang aku langsung melangkah menuju ruangan tempat tidurku dimana buku-buku berada di atas meja yang tidak nampak telah tua. Di tempat itu aku selalu belajar dan menghabiskan waktuku untuk mengulang kembali pelajaran yang aku pelajari di sekolah.
Meja belajar yang tidak dimiliki inti yang bentuknya tidak sama seperti orang-orang yang mereka punya. Aku membukanya membuka beberapa buku pelajaran lalu membawanya ke bagian dapur hingga akhirnya aku memutuskan untuk menatap satu persatu rumus matematika, mempelajarinya sejenak sambil memantau masakan takut apinya mati atau makanannya yang akan jadi gosong.
Aku membukanya tiap lembar pelembar memahami setiap pelajaran yang sebenarnya telah aku sedikit kuasai setelah matang aku memutuskan untuk melangkah keluar dari rumah menuju tempat kerja Emak. Sesekali orang-orang menegurku membuat aku hanya bisa menganggukkan kepala sambil tersenyum membalas setiap sapaan orang-orang tersebut.
Ya orang-orang cukup kenal dengan aku sering menyebut dan mengaitkan nama Emak seperti. "Oh itu si Bandi, anaknya si Muri."
"Oh anaknya si Muri sudah besar, ya. Aku pikir itu cucunya."
"Iya si Bandi masih kelas 2 SMP tapi seperti cucunya saja si Muri itu."
Iya ujaran itu setiap kali aku mendengarnya. Aku tak banyak pikir, itu kan urusan mereka tak peduli apa tanggapan mereka terhadap aku.
Aku menghentikan langkahku saat aku telah berada di bagian perbukitan saat aku bisa melihat Emak yang sedang memukul batu-batu kecil dengan palu besi.
"Emak!" teriakku lalu melangkahkan kakiku dengan pelan di bukit.
Kali ini aku tidak ingin berlari kencang seperti apa yang pernah aku lakukan. Aku kapok saat Emak memarahiku terlebih lagi dengan luka-luka yang ada di sekujur tubuhku. Aku tak ingin membuat Emak marah lagi.
Aku menghampiri Emak dan menyalimi tangannya yang begitu menebal.
"Kenapa? Kenapa kau pergi ke sini? Kau di rumah saja! Kau sudah memasak?"
"Sudah merapikan rumah?"
"Sudah, Mak."
"Tumben cepat? Kenapa kau pergi ke sini?"
"Ingin membantu Emak."
"Tidak perlu! Kau kan capek dari belajar."
"Bandi juga ingin memberitahu Emak."
"Memberitahu apa?"
"Bandi ikut cerdas cermat, Mak di sekolah."
"Cerdas cermat? Apa itu cerdas cermat?"
"Itu ikut lomba."
"Lomba apa?"
"Lomba matematika, kalau bisa jawab pertanyaan nanti menang dapat hadiah."
"Oh ya?"
"Iya Mak. Oh iya yang dipilih nanti akan pergi ke lomba matematika sama teman-teman Bandi."
"Siapa? Si Bono?"
"Ah, Bandi kan hanya tahu makan saja."
"Ah kau itu," jawabnya sambil tersenyum kecil membuat aku menggaruk-garuk kepala. Semoga saja Bono tidak mendengar Jawabanku ini
"Bandi ikut lomba bersama dengan teman-temanku, namanya Putri sama Ririn."
"Anak siapa itu?"
"Tidak tahu, Mak. Mereka orang kaya."
"Oh orang kaya. Kalau anak orang kaya Mamak tidak tahu."
"Iya Mak mandi boleh kan ikut lomba cerdas cermat?"
"Boleh yang penting kan Bandi tidak kerja seperti ini."
"Tidak, Mak. Hanya menjawab pertanyaan saja sambil belajar matematika, Mak. Mamak senang kan kalau Bandi ikut cerdas cermat?"
"Emak pasti senang kalau Bandi ikut cerdas."
"Tapi kalau Bandi kalah bagaimana, Mak?"
"Tidak apa-apa namanya juga belajar yang penting Bandi kerja keras dengan belajar yang rajin," jelasnya sambil membelai kepalaku membuat aku merasa jauh lebih bahagia.
Aku ingin tetap melihat senyum Emak yang selalu membuat hatiku menjadi merasa sejuk. Aku benar-benar bahagia. Kini aku bertekad untuk membelikan sendal itu dan membuat Emak menjadi lebih tersenyum seperti apa yang aku lihat saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments