Suara bel berbunyi pertanda pelajaran berakhir dan waktunya kami semua anak-anak sekolah menengah pertama Negeri 9 harus pulang ke rumah.
Kini aku melangkahkan kakiku bersama dengan Bono yang sejak tadi dan tetap sama saja Bono kini kembali ia berusaha mempengaruhi aku untuk tidak perlu datang atau mengikuti lomba cerdas cermat itu.
Banyak yang ia katakan seperti, "Aku sudah bilang tidak usah ikut lomba cerdas cermat itu nanti kau capek sendiri."
"Kalau kau menang siapa yang akan mengambil hadiahnya?"
"Tentu saja pria itu, si pria tua yang rakus lebih mementingkan diri sendiri dan mengambil hadiahnya."
"Bukan bermaksud untuk mau melihat kau tidak berkembang kawan hanya saja aku hanya tidak ingin kalau kau itu merasa tersiksa dengan banyak-banyak yang tugas."
"Tapi kalau kau mau, kau boleh saja ikut lomba. Mana tau kau menang. Kau kan pintar."
Aku tak mengerti lagi. Ada apa dengan temanku ini. Dia sendiri yang mempengaruhi aku untuk tidak ikut lomba cerdas cermat itu namun, di satu sisi dia kembali mendukung lalu aku harus bagaimana mendengar dukungannya atau malah pengaruhnya yang juga ada benarnya.
Aku bisa melihat beberapa contoh dari para anak-anak yang telah ikut lomba mereka hanya diberikan hadiah sedikit sementara piala dan uang lainnya diberikan kepada kepala sekolah.
"Dasar pria rakus."
Selama perjalanan aku menuju rumah, tak hentinya bicara. Entah mengapa ia jauh lebih berisik dari biasanya. Tak henti-hentinya pula yang membahas tentang lomba cerdas cermat itu menggosipin beberapa guru-guru yang selalu mengambil hadiah paling banyak.
Ia juga menyebutkan siapa-siapa saja nama yang selalu ikut cerdas cermat namun, hadiahnya ini mereka makan sendiri oleh pak kepala sekolah.
Langkah kakiku memelan saat di balik jendela kaca aku bisa melihat sendal-sendal yang berjejer. Ada begitu banyak berbagai macam bentuk warna dan merek terpanjang di dalam sana.
Kedua mataku berbinar indah melihat senar-sendal itu hingga akhirnya mataku tertuju kepada sendal berwarna pink yang terlihat sangat bermerek. Bono melangkah rupanya tidak menyadari jika aku menghentikan langkahku di depan dinding kaca.
Sementara Bono kini masih melangkah begitu saja sambil mengoceh persis seperti orang gila yang bicara sendiri.
"Kurang asem kau. Teganya kau membuat aku jalan sendiri."
"Kau tidak memanggil aku berhenti. Kalau berhenti itu ya panggil-panggil jadi kan aku tidak malu, kan bicara sendiri sudahlah."
"Aku yang bodoh di kelas kini bicara sendiri persis seperti orang gila," sambungnya kembali mengoceh sambil mendekati sambil mendekatiku.
"Kenapa, sih?" tanya Bandi yang langsung ikut menatap ke arah mana aku melihat.
Aku tak peduli dengannya karena sekarang peralatan perhatianku tertuju pada benda yang masih terpanjang itu.
"Berapa, ya kira-kira harganya?"
"Harga apa?"
"Harga sandal itu, sepertinya sangat cantik."
"Untuk siapa? Itu kan warna pink dan tidak cocok untuk kaki kau."
"Kaki kau itu cocoknya sendal yang itu," tunjuknya ke arah sendal yang cukup besar.
Aku bisa melihat sendal berwarna coklat dan ukurannya begitu sangat besar.
Aku melirik Bono dengan tatapan tak senang membuat Bono tertawa kecil. Rupanya ia benar-benar berniat untuk menjahili aku.
"Ini bukan sendal untuk aku tapi untuk Emak," ujarku lalu kembali menatap serius ke arah sendal-sendal yang berjajar namun, kedua mataku tetap saja terpaku pada sendal yang berwarna pink itu.
"Berapa, ya kira-kira harganya?" tanya aku lagi dan belum sempat aku berfikir atau menebak-nebak berapa harga dari sendal itu Bono langsung saja menarikku dan membawaku masuk ke dalam toko itu.
Aku berusaha menahannya, bukan tak ingin ditarik hanya saja tak ingin masuk ke dalam toko ini. Aku tahu harga sendal-sendal yang dijual di toko ini begitu sangat mahal dan aku tidak punya banyak uang untuk membelinya.
"Kau ini kenapa? Kenapa kau menarikku seperti itu," ujarku tak terima.
"Katanya kau ingin mengetahui harganya. Kalau hanya di luar saja kau tidak tahu harganya berapa."
Aku kini dibuat terdiam Apa yang dikatakan oleh Bono juga ada benarnya.
"Kak!" sapa Bono yang kini menatap sok akrab pada seorang pria yang sedang menyusun beberapa sandal.
"Mau cari sendal?"
"Bukan pak. Aku mau cari nasi kuning."
Aku terpelonjak menatap bingung ke arah Bono yang menjawab dengan jawaban tidak sesuai dengan pertanyaan yang diberikan.
"Lah, kalau mau cari nasi kuning jangan di sini!"
"Kak, aku ini masih SMP sedangkan kakak ini sudah besar. Kakak ini tidak sekolah, ya? Kalau aku masuk di sini berarti aku mau cari sendal bukan nasi kuning," jelas Bono.
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku pelan benar juga yang dikatakan oleh sahabatku ini. Sedikit takut karena ujaran Bono begitu sadis.
"Oh ya, Kak berapa sendal ini?" tunjuk Bono yang sok kaya sambil menunjuk sendal yang tadi aku lihat.
"Oh yang ini."
"Iya, kak. Berapa harganya?"
Aku hanya terdiam menatap Bono yang terlihat seperti orang kaya padahal dia tidak punya uang.
"Berapa harganya, kak? Berapa?" ujarnya Bono seakan memaksa.
"Oh yang ini. Mau dipakai sama siapa?"
"Kak tolong jawab pertanyaannya dengan benar, kak. Aku tanya ini berapa harganya?"
"Oh, yang ini tidak mahal hanya lima puluh enam ribu."
Kedua mataku nyaris keluar saat mendengar harganya. Bagaimana bisa harga sendal yang sekecil ini harganya lima puluh enam ribu. Jika aku membeli beras mungkin akan membeli beberapa kantong.
Bono mengangguk santai seakan tidak terkejut dengan harga sendal yang diucapkan oleh pria penjual sandal itu lalu tak pasang lama Bono menarikku keluar lalu berbisik.
"Dasar gila, penjual gila! Masa harga sendal seperti itu sangat mahal."
Aku dibuat terdiam. Aku pikir Bono tidak akan terkejut dengan harga itu tetapi saat ia berada di luar ia memaki penjual sendal itu yang terlalu mahal.
"Pantas saja sendalnya itu berdebu di rak penjualnya. Karena harganya mahal sekali."
Aku terdiam memikirkan bagaimana caranya aku bisa membeli sendal itu.
"Heh, kenapa kau terdiam? Jangan pikirkan harga sendal itu kalau ditawar pasti lebih murah."
"Memangnya bisa ditawar?" tanya aku begitu polos.
"Tidak tahu juga tapi Mamaku sering menawar beberapa barang-barang yang ada di pasar. Kalau mau besok kita ke sini. Aku akan ajak Mama datang ke sini."
"Kalau dia tidak ingin menurunkan harga maka aku akan menyuruh Mamaku untuk memukul pria itu. Kau setuju?"
Aku bergidik ngeri. Tidak main-main dengan ucapannya. Tentu saja Mama dari Bono yang terkenal galak itu pasti akan meninju penjual sandal itu dan benar-benar akan melakukannya.
Aku yang sejak tadi melangkah bersama dengan Bono kini menoleh dengan pelan menatap ke arah toko sendal itu dan berharap agar aku bisa kembali ke sini dan membawa sendal itu pulang untuk Emak.
Ya, aku harap semuanya akan seperti itu. Semoga saja tak ada pembeli yang membeli sendal berwarna pink. Aku harap bisa memiliki sendal itu untuk Emak. Setidaknya tidak membuat surgaku itu tergores, semoga saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments