Aku yang melangkahkan kakiku menuju pulang ke rumah kini memelan saat aku memikirkan sesuatu.
Aku jadi teringat dengan pak Raden dan sandal yang aku pilih itu memang terlalu mahal tetapi jika aku ikut lomba cerdas cermat itu dan menjadi pemenang mungkin aku bisa mendapat uang yang banyak dan membelikan sandal itu untuk Emak.
Ya kalaupun aku tidak menjadi pemenangnya setidaknya aku mendapat sedikit uang untuk bisa membelikan emak.
"Kenapa kau hanya diam saja? Aku tadi mengoceh sedangkan kau hanya diam saja."
"Apa, sih yang kau pikirkan? Sepertinya kau ini punya banyak masalah. Ada apa? Kalau kau punya banyak masalah aku akan setia mendengarkannya."
"Aku kan adalah sahabatmu. Sahabat yang paling terbaik," lanjutnya membanggakan diri.
Aku menatapnya sejenak dan berhasil membuatnya menjadi tak nyaman dengan tatapan itu.
"Kau ini kenapa, sih?" tanyanya yang seakan tak tahan.
"Aku punya ide baru."
"Ide apa?"
"Kau tunggu di sini! Aku mau pergi," ujarku lalu tanpa mendengar komentarnya aku segera berlari meninggalkan Bono yang berteriak di belakang sana mempertanyakan ke mana aku pergi.
"Woi! Kau mau ke mana?!!"
Aku cukup berlari cukup kencang melewati beberapa orang yang berlalu-lalang walaupun jarak dari rumahku tidak terlalu jauh. Kini aku memutuskan untuk berpaling arah menuju rumah pak Raden.
Aku ingin memberitahunya jika aku setuju untuk mengikuti lomba tersebut. Sebenarnya tak ada niat untuk aku mengikuti lomba cerdas cermat itu namun, karena kemauanku untuk membeli sandal itu untuk Emak maka tak ada cara lain untuk mendapatkan uang.
"Woi pelan-pelan!"
"Itu si Bandi!"
"Pelan-pelan woi!"
suara teguran itu terdengar saat aku melintasi beberapa Emak-emak yang sibuk bergosip di sebuah lorong yang kecil tidak terlalu besar hingga mereka semua meneriaki aku. Ah terserahlah apa yang mereka pikirkan tentang diriku mungkin saja dan tentu saja mereka akan berpikir jika mak Muri memiliki anak yang kurang sopan karena tidak meminta izin saat lewat saat melangkah pergi seakan aku ini adalah seekor hewan yang tak mengerti apa-apa.
Ah maafkan aku para Emak-emak. Aku sedang sibuk sekarang. Langkahku kian mengencang saat aku bisa melihat rumah berpagar berwarna emas itu, itu adalah rumah pak Raden. Aku pernah sesekali berkunjung ke rumahnya saat ingin mengumpulkan tugas-tugas teman-teman.
Ya aku dipercayakan sebagai pengantar buku-buku tugas mungkin juga karena ia telah mempercayaiku yang tidak akan menulis bocoran jawaban kepada teman-teman kecuali jika Bono ikut denganku maka aku sendiri akan was-was dan memilih untuk memeluk buku yang telah kuletakkan di dalam kantong kresek itu dengan erat-erat.
Aku takut jika Bono malah menyalin jawaban teman-temanku untuk memastikan nilainya yang paling tinggi. Ah, Bono adalah salah satu musuh dalam pengumpulan tugas.
Aku melangkan langkahku dan memegang kedua besi yang ada pada permukaan pagar sambil menatap pintu yang masih tertutup pintunya, pagarnya pun juga ikut tertutup entah pak Raden masih ada dalam sana ataupun tidak.
"Bandi, kau ini kenapa tinggalkan aku?"
Aku menoleh menatap Bono rupanya juga ikut berlari mengejarku.
Cucuran keringat membasahi tubuhnya. Aku yakin dia bekerja keras agar bisa sampai di tempat ini.
"Kau ikut?"
"Iya aku lari. Mana mungkin aku pulang sendiri. Kau ini sebenarnya mau ke mana, sih?"
"Ke rumahnya pak Raden."
"Untuk apa?"
"Aku setuju untuk ikut lomba cerdas cermat."
"Hah? Kau setuju? Kau ini-"
"Hust! Tidak usah berisik! Aku butuh uang!" ujarku dengan mengatakannya sedikit menggeretak sahabat ku itu.
Kini aku kembali menatap ke arah pintu yang masih tertutup berharap pak Raden ada di dalamnya.
"Assalamualaikum! Pak Raden! Assalamualaikum, pak!"
Aku berteriak memanggil pak Raden semoga dia segera membuka pintu. Entah mengapa aku takut jika pak Raden mengambil murid lain untuk ikut lomba cerdas cermat itu.
"Mungkin dia belum pulang," tebak Bono membuat aku menoleh menatapnya sejenak.
"Memangnya pak Raden pulangnya jam berapa?"
"Tidak tahu. Aku juga tidak tahu aku, kan punya istrinya yang tahu kapan pak Raden pulang ke rumah," jelasnya membuat aku menatapnya risih. Jawaban macam apa itu.
"Assalamualaikum," teriak aku lagi, tak ingin menyerah begitu saja hingga pintu yang sejak tadi tertutup itu perlahan terbuka memperlihatkan sosok wanita bertubuh gempa melangkah keluar dengan sarung yang melingkari tubuhnya.
"Cari siapa?"
"Saya Bandi, Bu dari SMP negeri 9."
"Bandi?" tanyanya yang nampak sedikit berpikir sepertinya namaku tidak terlalu asing di telinganya.
"Iya Bu. Saya anak walinya pak Raden."
"Oh Bandi yang sering bawa tugas itu, ya?"
"Iya Bu."
"Kenapa cari pak Raden?"
"Iya bu. Saya cari pak Raden. Pak Radennya ada belum pulang."
"Oh belum pulang, Bu?"
"Iya mungkin masih di sekolah biasanya jam berapa pulangnya?"
"Tidak tahu juga kadang cepat kadang lambat."
Aku mengangguk lalu tersenyum dan tanpa pikir panjang aku segera berlari membuat Bono dan istri dari pak Raden itu melongok. Mungkin mereka juga kebingungan melihatku yang terlihat begitu ketakutan seakan membutuhkan kehadiran pak Raden.
"Kenapa temanmu itu?"
Bono menoleh "Tidak tahu, Bu. Terima kasih Bu, saya duluan," pamitnya lalu berlari kembali mengejarku.
Ah, sepertinya aku kembali lagi memperlihatkan sosok sifat aku yang tidak pernah terjadi pada diriku. Seharusnya aku minta izin saat Pergi tapi karena takut pak Raden memilih murid lain untuk ikut lomba maka aku melajukan langkahku kembali menuju ke sekolah.
Aku tersenyum bahagia saat melihat pak Raden yang sedang menunggangi sepeda motornya. Kelihatannya pak Raden ingin berangkat menuju pulang ke rumahnya membuat pak Raden yang sedang menghentakkan kakinya pada starter motor langsung menoleh menatapku yang berteriak seakan mirip orang yang kesurupan.
"Pak Ra-raden!" teriak aku yang baru saja tiba di depannya sambil memegang kepala motornya itu seakan takut jika pek Raden pergi meninggalkan.
Keringat yang bercucuran itu tentu saja menjadi pertanda betapa susahnya aku mencapai tempat ini.
"Saya mau ngomong sama pak Raden."
"Ngomong apa?"
"Sa-saya mau ikut cerdas cermat itu pak Raden."
Pak Raden bernafas dengan legah mungkin dia pikir aku akan memberikan kabar buruk setelah berlari cukup jauh seperti ini. Apalagi dengan nada suara aku yang seakan telah menjadi korban penculikan yang berhasil kabur dari seorang penculik.
"Kau ini ada-ada saja. Aku pikir kau ini sedang terjadi sesuatu yang buruk tapi rupanya kau membawa kabar yang baik."
"Oh iya tadi aku pikir kau tidak mau ikut lomba."
"Saya mau pak, mau sekali. Kalau menang hadiahnya 5 jutaan, kan pak maksudnya dibagi tiga."
"Iya tapi ngomong-ngomong kenapa bisa berubah pikiran? Tadi tidak mau sekaran mau."
"Tidak ada pak, hanya mau saja," jawabku gugup.
Aku tidak mau pak Raden tahu kalau niatku ikut lomba itu hanya ingin mendapatkan uang saja agar bisa membeli sendal yang aku lihat tadi di toko.
Tak berselang lama suara teriakan terdengar membuat aku dan pak Raden sontak menoleh menatap sosok Bono yang masih berlari.
"Hah, dasar kau membuat aku jadi sesak nafas saja. Aku belari cukup jauh hanya untuk mengejar kamu Bandi," adunya dengan nafas terputus-putus.
"Pak kira-kira kapan, pak saya bisa ikut lomba? Soalnya aku pikir Bapak akan mencari murid lain untuk ikut lomba cerdas cermat."
"Wah, tidak mungkin Bapsj mencari orang lain karena bapak tahu kamu lebih pantas untuk ikut lomba itu. Hahaha, lombanya minggu depan."
"Minggu depan?"
"Lombanya minggu depan jadi kamu harus rajin belajar. Nanti kita buat les mandiri untuk belajar sama-sama. Nanti saya panggil Putri sama Reren," jelasnya buat aku mengangguk.
Kini harapanku untuk bisa membeli sendal itu sudah ada di depan mata dan sekarang harapanku adalah semoga saja aku bisa menjadi pemenang dan mendapatkan uang yang banyak itu untuk membeli sandal.
Tuhan, tolong bantu Bandi!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments