8. Sekali Menolak Tetap Menolak

"Emak!"

Aku berteriak saat aku masih berada di bagian atas tebing membuat Emak yang berada di bawah sana sambil memukul-mukul batu-batu kecil mendongak menatap ke arahku.

Aku berlari begitu kencang mengabaikan jalanan tebing yang berhasil membuat aku tergelincir dan terperosok ke tebing membuat Emak terbelalak kaget.

"Bandi!!!" jerit Emak yang begitu sangat terkejut.

Ia dengan cepat bangkit lalu melangkahkan kakinya sedikit pincang itu mendekatiku. Aku tergeletak nyaris membuat kepalaku menghantam batu besar yang untungnya bisa aku tahan menggunakan kaki. Jika saja tidak mungkin aku sudah diantarkan ke rumah sakit ataupun bisa saja aku mati di tempat.

Emak menghampiriku, menyentuh wajahku yang memejamkan mata dengan erat. Aku bisa merasakan rasa sakit di seluruh tubuhku setelah aku terjatuh.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Emak dengan wajah yang begitu khawatir.

Aku bisa mendengar nada suaranya yang bercampur dengan tangisan namun, berusaha ia tahan.

"Maaf, Mak. Bandi bawa sandal untuk Emak."

"Kau datang ke tempat ini sambil berlari sampai jatuh seperti ini hanya karena membawa sendal untuk Emak?" tanya Emak yang tidak menyangka.

Aku mengangguk lalu saat aku menjulurkan sendal tua milik Emak, aku dan Emak terkejut dengan kompak namun, terkejutkan itu dengan alasan yang berbeda.

Emak terkejut saat melihat telapak tanganku yang berdarah, banyak goresan tumbuhan berduri yang menggores kedua tanganku bahkan bagian tangan dan kakiku terlihat digores oleh tanaman liar yang benar-benar membuatnya terasa perih.

Di satu sisi aku terkejut saat aku bisa melihat sendal yang aku pegang itu putus di bagian tali yang menyambung terlihat rusak. Emak memang sesekali selalu memperbaikinya dan kali ini aku telah membuat kesalahan yaitu merusaknya.

"Aduh, Mak maafkan Bandi. Bandi tidak sengaja."

"Kau ini minta maaf untuk apa? Lihat tangan kau berdarah! Kau ini ada-ada saja. Kenapa harus berlari seperti itu."

Emak benar-benar marah. Ia memarahiku habis-habisan tanpa memberikan aku jeda untuk bicara. Setelahnya Emak menarikku, membantu aku bangkit walaupun ia juga susah payah untuk berjalan.

Dia menuntut aku menuju ke bagian tempat kerjanya aku didudukkan di atas bangku kecil yang terbuat dari kayu sementara Emak sibuk dengan telapak tanganku. Wajahnya terlihat khawatir sejak tadi tanpa pernah berhenti untuk tidak memarahiku karena telah berhasil membuat telapak tanganku menjadi terluka.

Aku tak bisa memotong umpatan marah Emak yang benar-benar murka. Aku tahu Emak marah tak ada tujuan lain selain hanya ingin menasehati aku ia ingin jika anaknya ini tidak terjadi apa-apa terlebih lagi melihat telapak tanganku yang berdarah seperti ini tentu saja membuatnya semakin merasa sedih.

"Lain kali jangan seperti ini. Hampir saja kau mati. Kepala kau ini hampir terbentur di batu, kau tahu batu itu keras kalau kepala kau terbentur di sana tadi mungkin kepala kau bisa pecah."

"Kau tahu apa hasilnya jika kepala pecah? Hah? Mati kau mau mati? Kau mau tinggalkan Emak?"

Aku hanya terdiam, tak berani berkata-kata serta tak berani berbicara sedikitpun. Jika aku berani bicara maka Emak semakin akan memarahiku. Ini adalah peraturan, jika seorang Emak berbicara, memarahi atau menasehati maka jangan sesekali ikut bicara maka Emak tidak akan berhenti untuk bicara atau melainkan juga ia akan kembali mengoceh atau bahkan tidak segan untuk memukul namun, aku menemukan sosok sifat Emak yang jauh dari pemikiran orang-orang ketika mendengar kata emak.

Jika pendapat orang lain setelah mendengar nama Emak di luar sana mungkin yang ada di pemikiran orang banyak adalah wanita yang akan suka memarahi anaknya lalu memukulnya maka Emak tidak pernah melakukan hal itu. Emak sekalipun ia memukul diriku walaupun aku membuat sebuah kesalahan.

Semenjak Bapak meninggal, Emak benar-benar menyayangiku iya bahkan tak pernah memukulku sedikitpun. Dia beranggapan jika ia memukulku maka itu berarti dia juga telah memukul Bapak.

Yah, lagi dan lagi aku dibuat teringat pada sosok pria itu, pria kebanggaanku yaitu, Bapak.

Emak melangkah pergi setelah memberitahu agar aku tetap disini menantinya kembali. Aku tak tahu ke mana Emak pergi dan untuk apa dia pergi tanpa memberitahu.

Aku aku hanya terdiam dan kini aku merasa sedih menatap ke arah sandal peninggalan Bapak untuk Emak yang telah benar-benar tak bisa lagi digunakan.

Aku yang berniat membawakan sendal untuk Emak agar saat ia pulang nanti kakinya tidak sakit tertusuk duri ataupun mendapat disakiti oleh batu-batu yang kasar tapi apa yang telah aku perbuat? Aku malah membuat sandal ini rusak dan tak ada lagi sendal untuk Emak yang bisa saya gunakan.

Tak berselang lama aku bisa melihat sosok Emak yang nampak melangkah melewati tanggul tua dan beberapa orang-orang pemukul batu-batu sungai yang juga terlihat sibuk bekerja, sepertinya mereka menginginkan uang banyak sehingga bekerja lebih giat dari biasanya.

Emak duduk di hadapanku. Ia mengeluarkan segenggam irisan daun kayu Cina yang terlihat basah lalu mendekatkannya pada luka-luka yang ada di tubuhku.

Aku lantas menjauhkan telapak tanganku merasa takut pada apa yang dijulurkan oleh Emak seakan irisan danun kayu Cina itu adalah benda tajam.

"Apa itu, Mak?"

"Ini obat untuk luka supaya cepat sembuh."

Emak menarik paksa tanganku. Masalah soal luka Emak begitu sangat sensitif. Apalagi luka itu jika terdapat pada diriku. Emak menutup luka-luka itu dengan irisan-irisan tipis membuat aku sendiri meringis saat merasakan sensasi rasa nyeri. Yah air kayu cina ini memiliki air yang sedikit perih

"Lain kali jangan seperti itu!"

"Tapi Bandi hanya bawa sendal ini untuk Emak. Bandi ingin Emak memakai sendal kalau pulang nanti."

Emak menunduk menatap sendal yang kini ada di sampingku. Sudah terlihat tak layak pakai lagi, sendal itu benar-benar rusak parah.

"Kenapa harus dibawa? Emak sudah sengaja menyimpannya di rumah dan tidak membawanya ke sini."

"Ini supaya Emak bisa pakai sendal untuk pulang ke rumah."

"Emak sengaja menyimpannya supaya sendal itu tidak bertambah rusak. Lagi pula Emak sudah terbiasa tidak pakai sendal."

"Emak tidak mau pakai sendal itu karena sudah rusak, kan?"

"Iya dan tentunya Emak tidak mau sendal itu tambah rusak dan sendalnya tidak bisa lagi Emak pakai kalau pergi-pergi."

"Kalau begitu Bandi akan belikan sandal untuk Emak."

"Ah, tidak usah."

"Kenapa Mak? Emak tidak suka pakai sendal."

"Lalu kenapa sandal pemberian Bapak emak simpang?"

"Karena itu pemberian Bapak kau."

"Kalau sandal pemberian dari Bandi bagaimana? Apa Emak juga tidak mau memakainya?"

Emak tersenyum kecil selalu bertanya, "Memangnya kau punya uang untuk membeli sendal untuk Emak?"

"Bandi bisa bekerja."

"Hust! Bekerja! Bekerja! Bekerja terus! Tugas Bandi itu hanya sekolah. Yang bekerja itu tugasnya Emak."

Aku menggaruk kepalaku. Nafas seakan tertahan di dadaku saat aku mendengar penjelasan Emak. Jika Emak melarang aku bekerja lalu bagaimana caranya aku bisa membelikan sandal untuk Emak? Terlebih lagi Emak yang bersikeras tidak ingin dibelikan sandal lalu sekarang harus bagaimana?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!