7. Sendal Tua Emak Yang Usang

Sepanjang perjalanan menuju ke rumah pikiranku hanya tertuju kepada sosok Emak dengan sendal tuanya yang telah diberikan oleh Bapak. Ceramah yang dilontarkan oleh pak ustaz itu seakan terngiang-ngiang di pikiranku, sulit untuk bisa dilupakan karena setiap saat kalimat itu terlontar berhasil mengingatkan aku sosok emak.

"Woi kenapa kau diam saja?!!"

Suara teriakan itu berhasil membuat aku tersentak kaget. Aku dengan cepat mengusap dadaku yang berdebar-debar bukan main. Hampir saja jantungku itu melompat dari tempatnya.

Untung saja aku ini anak baik jika aku anak jahat seperti teman-teman yang selalu menghina aku di sekolah mungkin aku sudah menumbuk wajah si Bono itu dengan tinjuku. Bukan apa-apa tubuhku jadi gemetar setelah terkejut. Untung saja aku tidak punya riwayat sakit jantung.

Aku hampir mati!

"Kenapa?" tanyaku yang sedikit kesal walaupun gambaran kekesalan itu tak dilihat oleh Beno pada wajahku.

Aku terbilang cukup sabar hingga marah pun tidak tahu bagaimana caranya.

"Kenapa kau diam saja? Aku kan sudah bilang kalau rencana kita untuk membelikan baju kepada bapak tua itu. Apa kau setuju?"

"Beli baju?"

"Iya beli baju. Aku sudah bosan dan capek lihat bajunya yang begitu terus. Memangnya di rumah dia itu tidak ada baju yang selain warna hitam apa?"

Aku menghela nafas. Entah mengapa sahabatku ini selalu saja membahas sesuatu hal yang menurutku tidak penting. Memangnya apa yang salah jika orang menggunakan baju yang sama saat pergi sholat Jum'at. Lalu bagaimana dengan nasib diriku yang hanya memakai baju milik Bapak saat pergi salat Jumat, itu pun kebesaran.

"Sepertinya Bapak tua itu sudah tidak punya uang."

"Kenapa bisa seperti itu?" tanya aku yang malah membuat Boni semakin bertambah semangatnya saat menggibah.

"Yang benar. Lihat saja bajunya yang dia pakai itu terus. Mungkin dia punya uang untuk membeli baju. Kau punya uang?"

"Hah?"

"Iya kau punya uang?" tanya Bono yang malah menjulurkan telapak tangannya mebuat aku melirik keherangan.

"Uang untuk apa?"

"Untuk beli baju, kasihan orang tua itu tidak punya baju. Bajunya itu terus."

Aku mendecakkan bibirku dengan pandangan bosan. Sudah sejak tadi Beno selalu mengulang-ulang kalimat itu terus hingga aku merasa bosan.

"Sudahlah aku ingin pulang sampai jumpa di sekolah besok," ujarku lalu melangkah pergi.

"Hey! Mau kemana?!!"

Aku tetap berlari berusaha menjauh dari kalimat-kalimat Beno bahkan aku bisa mendengar ocehan Bono yang seakan memilukan gendang telinga.

Rasanya gendang telingaku ini juga sudah bosan mendengar ocehannya.

"Woy, Bandi! Mau ke mana kau? Malah pergi-pergi saja. Ini bagaimana dengan baju untuk bapak tua itu. Nanti mataku sakit kalau lihat bajunya yang warnanya begini terus!!!" teriaknya.

Aku menoleh menatap ke arah Bono yang masih menatap ke arahku sambil menopang pinggang sambil sajadahnya yang ia letakkan di atas kepala.

"Bukan mata kau yang sakit tapi hati kau!!!" teriakku.

"Hah?"

"Kenapa hatiku? Bukan hatiku yang sakit tapi mataku. Aku ini tidak sedang patah hati."

Aku tetap melanjutkan langkah pergiku meninggalkan Beno yang masih mengoceh di belakang sana. Aku tidak mengerti apa yang dia katakan Beno. Aku sudah cukup jauh lagi pula jadi aku sudah bosan mendengar suaranya yang itu tuh terus.

Sepertinya alasan yang membuat Beno tidak punya teman selain aku di sekolah karena suaranya yang sedikit cempreng, banyak bicara, suka menggosip dan membicarakan keburukan orang lain. Tunggu! Apakah dia juga menceritakan keburukanku di sana?

Hah, sepertinya tidak mungkin. Aku merasa tidak punya keburukan di hadapan Bono tapi aku tidak tahu kalau di belakang.

Setibanya di rumah aku duduk di anakan tangga sambilelepas sandalku yang masih baru itu lalu aku meletakkannya di samping sendal Emak yang terlihat sangat tua bahkan bagian telapak sendalnya telah sedikit terkelupas, menipis dan warnanya yang sudah tidak rata bahkan aku bisa melihat beberapa tali yang mengikat bagian penyangganya.

Sudah beberapa kali sendal ini putus. Aku pernah melihatnya bahkan menjadi saksi saat itu. Aku menghela nafas panjang saat ceramah pak ustadz itu kembali teringat di pikiranku.

Apa jadinya jika aku tidak bisa membelikan sandal untuk Emak? Apakah itu berarti surgaku juga akan terluka. Aku tidak punya uang untuk membelikan sandal untuk Emak karena aku tidak punya pekerjaan bahkan Emak melarang aku bekerja dan hanya mengizinkan membantu Emak bekerja di hari libur saja.

Bagaimana aku bisa mendapat uang yang banyak agar bisa memberikan sendal yang bagus untuk Emak?

Aku menoleh menatap ke arah pintu di mana pintu yang saat aku berangkat menuju sholat jum'at terlihat terbuka menampakkan sosok Emak yang menatapku dari atas sana.

Yah, mungkin pintu rumah ini tertutup rapat karena emak yang sedang mandi atau sedang tidur. Aku melangkah menaiki anakan tangga setelah meletakkan sendal di sebelah sendal milik Emak.

Aku mendorong pintu dengan pelan hingga suasana rumah yang sunyi dan sepi terpampang dengan jelas. Aku menyusuri ruangan, Emak tak ada bahkan tak terlihat sedikitpun dan suara sangkutannya tak aku dengar.

"Mak!" panggilku lagi sambil melangkah mendekati ranjang dan aku tak menemukannya di sana.

"Emak!" panggilku lagi yang tak henti-hentinya sampai aku benar-benar mendengar suara Emak namun, suara sahutan Emak tak kunjung terdengar.

Aku melangkah ke arah dapur dan hasilnya kosong dan sepi, tetap sama apa yang aku lihat saat pertama kali masuk rumah.

Mungkin Emak sedang mandi. Setelah berpikir sejenak kini aku memutuskan untukmelangkah ke arah kamar mandi dan kini aku dibuat terdiam saat aku tak menemukan sosok Emak di sana.

Aku mendudukkan tubuhku di kursi. Kursi rotan yang selalu Emak gunakan saat ia berusaha untuk menjahit bajunya. Tempat dimana Emak selalu duduk dan aku akan duduk sambil membaringkan kepalaku di atas pahanya, membiarkan Emak mengelus kepalaku.

Aku menghembuskan nafas dengan pelan. sepertinya Emak sudah berangkat kerja setelah melihat bapak-bapak yang telah melangkah pulang setelah shalat Jum'at.

Hal itu semua semakin memperkuat dugaanku setelah aku tak melihat topi yang selalu digunakan Emak untuk bekerja. Tak ada pula botol minum Emak yang selalu ia pakai dan ia bawa pergi bekerja.

Aku bangkit dari kursi rotan melepas sarung, peci dan baju koko yang telah aku gunakan dan menggantinya dengan baju biasa. Di sela-sela aku memakai pakaianku aku baru menyadari jika Emak tidak menggunakan sendal untuk pergi bekerja.

Apa itu berarti kaki Emak menginjak kasar kerikil-kerikil yang ada di jalanan? Dengan cepat aku berlari menuruni tangga memakai sendal lalu melanjutkan lariku.

Lariku yang sudah cukup jauh dari rumah itu kembali terhenti, aku lupa sesuatu membuat aku kembali pulang ke rumah meraih sendal milik Emak yang begitu sangat ringan aku bawa.

Aku berlari kencang melewati jalanan yang tak beraspal dipenuhi dengan bebatuan halus serta kasar bahkan kerikil-kerikil menjadi hiasan pada perjalanan itu dan setelahnya jalanan rerumputan yang ditumbuhi dengan duri-duri tajam menempel pada permukaan telapak sendal yang aku gunakan saat melewatinya.

Jika duri-duri ini saja bisa menempel di telapak sendal yang aku gunakan lalu bagaimana dengan kaki Emak yang tak beralaskan itu?

Hah, sudah kesakitan surgaku itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!