Zico benar-benar keluar dari rumah sang ayah. Bungsu dari tiga bersaudara itu tetap kekeh untuk mengikuti jejak kakak sulungnya. Rasa kecewanya atas sikap kedua orang tua membuat pemuda itu tidak mau lagi hidup bersama keluarga.
Tidak memiliki tujuan untuk menjadi tempat berlangsungnya masa depan, Zico nekat mengikuti pergaulan teman dekatnya. Atas bantuan dari salah satu teman, dia terjerumus oleh dunia gelap.
"Lu yakin gue bakal berhasil?" tanya Zico ragu.
"Gue yakin, lu tinggal puasin aja cewek yang udah booking lu."
Zico menggaruk lehernya pelan. Pemuda itu masih menimang keputusan untuk ikut bekerja seperti si teman atau kembali ke rumah sang ayah. Namun, ketika bayangan ayahnya yang memaki sang kakak membuat Zico merasa tidak Sudi untuk kembali ke rumah itu.
"Tapi gue belum pernah gituan, Bro. Nanti kalau itu cewek malah marah-marah gimana?" tanyanya sekali lagi.
"Aelah, tinggal ikutin aja insting lu sebagai cowok. Repot amat! Udahlah, terima aja. Bentar lagi ada cewek dateng, dia yang udah booking lu malam ini. Sekarang gue tinggal dulu." Si teman pergi dengan buru-buru.
Tidak lama Zico menunggu sendirian setelah ditinggal pergi oleh temannya, seorang perempuan bertubuh montok menghampiri Zico.
"Kamu temannya Erlan?" tanya perempuan itu dengan kerlingan nakal.
Baru melihat tubuh montok dan suara seksi dari perempuan di depannya saja sudah mampu membuat Zico meneguk ludah kasar. Mulai malam ini, pemuda yang sebenarnya belum pernah melakukan **** itu akhirnya benar-benar terjun menjadi pria sewaan.
Lama kelamaan kabar tentang Zico di ketahui oleh sang kakak. Adeline memutuskan untuk menemui adik bungsunya itu. Mereka berjanji akan bertemu di sebuah taman. Sang kakak sudah lebih dulu sampai di tempat, menunggu adiknya yang belum juga datang.
Ini sudah kesekian kalinya Adeline memeriksa jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Zico lama sekali, sih!" rutuknya kesal.
Terlalu lama menunggu membuatnya bosan, Adeline berdiri berniat untuk pergi dari tempat itu. Lagi pula nomor ponsel sang adik juga tidak bisa di hubungi. Namun, ketika Adeline mau melangkah pergi, sang adik tiba-tiba muncul dengan wajah memerah dan napas tersengal.
"Kamu kenapa, Zico?" tanya Adeline cemas.
Zico masih berusaha mengatur napasnya yang tersengal akibat berlari terlalu jauh, belum berniat menjawab pertanyaan sang kakak.
Adeline yang baru pertama kali melihat kondisi adiknya seperti ini dengan sigap mengambil botol air mineral di dalam tas ransel berukuran kecil miliknya. Jika keluar pada siang hari, penampilan Adeline memang jauh berbeda dengan saat malam hari.
Ketika siang Adeline memang lebih nyaman menggunakan pakaian casual. Seperti saat ini dia memakai celana jeans yang di padukan dengan kaos polos serta jaket kulit berwarna senada dengan celananya. Rambutnya di kuncir tinggi lalu membawa tas ransel berukuran kecil yang di gunakan untuk menaruh barang-barang miliknya.
"Nih minum dulu." Adeline mengulurkan air mineral untuk sang adik.
Zico yang kehausan akhirnya mengambil botol mineral pemberian sang kakak dan langsung meneguknya hingga tandas. Adeline sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan sang adik.
"Kamu ini kenapa? Habis dikejar hantu?" tanya Adeline tidak sabar.
"Sebentar, Kak. Biarkan aku bernapas dulu," ujar Zico yang menjatuhkan bokongnya di kursi taman.
Adeline ikut duduk di samping sang adik, tangannya dengan lembut mengelus punggung sang adik agar pemuda itu cepat merasa lebih baik. Si kakak begitu sabar menunggu sang adik untuk mengatur pernapasan.
Sebenarnya Adeline merasa kasihan dengan nasib Zico sekarang. Adiknya itu memilih pergi dari rumah dan melepaskan semua fasilitas yang di berikan oleh sang ayah demi membela dirinya.
"Pasti kamu menjalani kehidupan yang sangat sulit, Zico. Kakak minta maaf," lirih Adeline dengan raut wajah bersalah, kedua tangannya bertaut di bawah sana.
Seketika Zico menoleh ke arah kakaknya, pemuda itu menatap sang kakak dengan senyum kecut. Meski kehidupannya memang lebih sulit setelah keluar dari rumah, akan tetapi dia tetap merasa lega karena dapat mengutamakan harga diri kakak sulungnya.
Zico menyenggol pelan lengan sang kakak. "Sejak kapan Kak Elin jadi mellow seperti ini? Zico baik-baik saja, Kak. Kakak lihat, Zico sehat tanpa kurang suatu apapun."
Mendapat senggolan di lengannya Adeline menoleh ke arah sang adik. Tatapan keduanya kini bertemu. Melihat senyuman manis dari adiknya itu membuat hatinya menghangat seketika.
"Kamu tahu, Zico. Kamu adalah pewaris tunggal bisnis papa, kenapa kamu malah keluar dari rumah? Kalau bukan kamu, siapa lagi yang akan meneruskan bisnis yang selama ini papa rintis?" tanya Adeline pada poin pentingnya.
"Kak Elin sadar tidak, sih? Sikap papa jadi seperti ini pada kita karena harta. Zico tidak ingin menjadi seperti papa," ujar Zico jujur.
Adeline memalingkan wajah, setetes cairan bening lolos dari salah satu sudut matanya. Sikap orang tuanya memang berubah semenjak mereka sukses dengan bisnisnya. Meski dalam hal ini, Adeline lah yang paling merasakan dampak buruknya.
"Kakak bangga sama kamu, Zico. Kamu sudah tidak menjadi anak manja seperti dulu. Kakak akan dukung jika kamu tidak ingin meniru sikap papa. Tapi, sekarang kamu tinggal dimana?" tanya Adeline yang merasa tidak ingin melanjutkan pembahasan tentang sikap sang ayah.
Wajah Zico mendadak tegang saat mendapat pertanyaan yang menyangkut tentang kehidupannya saat ini. Pemuda itu merasa bingung untuk jujur atau menyembunyikan sisi gelapnya dari sang kakak.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 247 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus sabar
2023-01-21
0
Hanum Anindya
Zico seperti mendukung Adelia sih, tapi nggak tahu juga sih
2023-01-06
0