Suara dering ponsel miliknya menarik paksa kesadaran Adeline dari lamunannya tentang sang kekasih yang kini justru menikahi adik kandungnya. Perempuan itu mengalihkan pandangannya ke atas nakas, tempatnya menaruh ponsel.
Perempuan yang masih menggunakan pakaian pesta itu dengan malas mengambil ponsel miliknya. Ketika melihat nama seseorang yang tertera di layar benda canggih itu, Adeline hanya menanggapinya berdecak lirih tanpa berniat menjawab panggilan tersebut.
Pada akhirnya adeline hanya membiarkan ponselnya berdering hingga mati karena tidak dijawab olehnya. Ketika dia berniat kembali menaruh benda pipih itu ke tempatnya semula. Muncul suara denting yang menandakan adanya pesan masuk.
"Kamu dimana?" Isi pesan singkat yang dikirim oleh Monica.
Meski dengan malas, Adeline tidak mau membuat sang ibu khawatir padanya. "Mulai saat ini, Elin akan tinggal di bar." balas Adeline dengan jelas.
Tidak ada lagi balasan dari sang ibu, akan tetapi pesan yang dikirim oleh Adeline sudah centang biru yang menandakan pesan tersebut sudah dibaca. Namun, ketika di pemilik ponsel berniat menaruh kembali benda berjuta manfaat itu ke atas nakas tiba-tiba benda itu kembali berdering.
"Mama tidak akan puas jika belum mendengar suaraku. Dia pasti berpikir yang tidak-tidak," ujarnya seraya mengusap kasar wajahnya.
"Hallo, Mah," sapa Adeline yang akhirnya mau tidak mau menerima panggilan dari sang ibu.
"Elin, kenapa mau tinggal di bar? Apakah mansion ini kurang luas sampai kau memutuskan untuk tinggal di tempat itu?" tanya Monica dengan nada cemasnya.
"Enggak, Mah. Aku cuma ingin hidup mandiri, itu saja, kok. Mama tidak perlu khawatir, tempat ini lebih aman daripada tempat-tempat yang pernah aku datangi."
"Ya sudah jika itu sudah keputusanmu, tapi besok kamu harus pulang untuk acara keluarga. Penyambutan adik iparmu yang akan ikut tinggal di mansion bersama kita," perintah si ibu dengan gamblang.
"Sudah aku duga, Kak Rich akan tinggal di mansion. Pilihanku untuk pindah ke tempat ini adalah keputusan yang paling tepat," batin Adeline disertai senyum kecut.
"Elin. Kamu dengar tidak omongan mama?" teriak si ibu yang kesal karena tidak ada jawaban dari si anak.
"Iya, Mah. Elin usahakan untuk pulang sebentar, kalau kerjaan bisa ditinggal," jawab Adeline malas.
"Jangan kecewakan adikmu, Elin. Kalau tidak, papamu pasti akan marah pada mama!* ancam si ibu.
Kesal karena orang tuanya lebih berpihak pada sang adik tanpa sedikitpun memikirkan perasaannya, Adeline memutuskan untuk mengakhiri sambungan teleponnya. Perempuan molek itu malas jika lagi-lagi harus berdebat dengan kedua orang tuanya.
Dia bahkan tidak peduli jika di seberang sana sang ibu memakinya karena tidak sopan mematikan telpon tanpa pamit. Helaan napas berat terdengar dari mulut seksi Adeline. Perempuan itu merasa takdirnya sangat miris.
Adeline bangkit lalu berjalan kearah cermin panjang yang kini menampakkan dirinya. Perempuan dengan gaun pesta merah menyala itu menatap pantulan cermin di depan. Lagi-lagi senyum kecut terukir di bibir seksinya.
"Aku tidak buruk, meskipun usiaku sudah tidak muda lagi wajahku masih terlihat cantik. Jika disandingkan dengan Grasiela, aku jauh lebih cantik, tubuhku juga lebih seksi darinya. Tapi kenapa? Kenapa takdirku seburuk ini? Aku ditinggal menikah oleh kekasihku yang tiba-tiba justru menikahi adik kandungku sendiri. Miris bukan?" racaunya dengan suara bergetar menahan tangis.
Ketika amarah itu kembali memenuhi jiwanya, Adeline menyambar sebuah vas bunga di sampingnya lalu dengan sekuat tenaga melemparkan benda itu ke arah cermin.
Suara pecahan kaca terdengar sangat keras di kamar itu. Namun, tidak ada seorangpun yang dapat mendengarnya karena kamar tersebut kedap suara.
"Apakah lebih baik ku akhiri saja hidupku malam ini?" monolognya dengan suara lirih.
Adeline berjongkok mengambil satu keping pecahan cermin yang terlihat sangat tajam di satu sudutnya. Dengan tangan kanan yang gemetar, perempuan itu menaruh pecahan cermin di lengan kirinya, tepat pada urat nadi.
Berharap dia akan m*ti dengan cepat. Cukup lama Adeline menempelkan pecahan cermin itu di lengannya. Namun, ketika dia memikirkan pengkhianat itu tiba-tiba tangan kanannya lemas. Pecahan itu terjatuh ke lantai dan kembali pecah menjadi kepingan lebih kecil lagi. Meski sebelumnya kepingan itu sudah berhasil menggores lengan mulusnya.
"Arg!" teriak Adeline dengan lantang bersamaan dengan bok*ngnya yang mendarat di lantai marmer yang dingin.
Adeline menangis sejadi-jadinya, meratapi kehancurannya seorang diri. Tanpa teman, tanpa keluarga yang menemaninya. Hanya ada darah yang mengalir dari pergelangan tangannya yang terluka. Perempuan itu menangis hingga lama-kelamaan kedua kelopak matanya tertutup sempurna dan tubuhnya yang tergeletak di lantai.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 247 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus bahagia
2023-01-21
0
Hanum Anindya
kalau dia dikhianati oleh pacarnya kerena pacarnya menikah dengan adiknya. beda jalan cerita denganku.
2023-01-02
1
MissHaluuu ❤🔚 "NingFitri"
ahhh penazaran thor upx banyakin nape 🤭
2023-01-02
2