Keesokan harinya Adeline baru saja sadar dari pingsan saat merasakan hawa dingin di tubuh moleknya. Kedua mata itu mengerjap perlahan hingga terbuka sempurna. Ketika bangun, dia sedikit kebingungan karena ternyata dia semalaman tergeletak di lantai tanpa sedikitpun alas. Pandangannya berkeliling, kamar yang biasanya rapi kini terlihat seperti kapal yang baru tersapu ombak besar.
Adeline memijat pelipisnya yang terasa berdenyut dengan tangan kiri. Namun, penglihatannya terganggu oleh cairan berwarna merah yang terlihat sudah mengering di pergelangan tangan kiri.
Senyum miris lagi-lagi terukir di wajah pucat itu. Kehilangan banyak darah serta tergeletak di lantai dingin membuat tubuhnya terasa sangat lemah. "Bodoh sekali kamu, El. Hanya karena Kak Rich, kamu sampai mau mengakhiri hidupmu!" hina Adeline pada dirinya sendiri.
Dia berusaha untuk bangun dengan sisa-sisa tenaga yang di miliki. Sekilas dia menatap jiji pada bekas darah yang sudah kering di lantai itu. "Bodoh! Untung kau tidak m*ti karena kebodohanmu semalam."
Perempuan bertubuh molek yang bernasib malang itu berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Meski tengah hancur oleh kenyataan pahit yang di alami, dia masih mengingat permintaan sang ibu untuk datang ke rumah dengan alasan menyambut kedatangan adik ipar.
Walaupun pergelangan tangan yang terluka akibat perbuatannya sendiri itu terasa sangat perih saat terkena guyuran air deras dari shower, Adeline sama sekali tidak memperdulikan hal itu. Pedih dihatinya setelah pengkhianatan yang dilakukan oleh Ricardo lebih mendominasi saat ini.
Selesai membersihkan dirinya, Adeline membongkar isi koper yang terletak di sudut ruangan. Tanpa banyak memilih, dia mengambil sebuah dres tanpa lengan berwarna hitam dengan belahan setinggi paha yang menampakkan kaki jenjangnya yang mulus.
"Kau akan tahu pembalasanku nanti, Kak. Aku memang diam untuk sekarang, tapi kita tunggu waktu yang akan membuatmu menyesal," ujarnya dengan seringai di bibir, ketika sudah selesai memoles wajahnya menggunakan make up tebal serta bibir merah menyala.
Adeline menyempurnakan penampilannya dengan Hells putih setinggi 10 Cm dan tas kecil berwarna senada tersampir di bahu. Merasa penampilannya sudah lebih menarik, perempuan itu segera keluar dari kamar.
Langkah anggun penuh pesona yang di miliki Adeline dapat menghipnotis setiap pekerja yang bertugas membersihkan sisa-sisa kesenangan dari para pelanggan bar semalam. Mereka menatap takjub pada wajah cantik tanpa cela itu. Tanpa mereka tahu bahwa perempuan berparas ayu tersebut sedang patah hati.
"Hei, siapa namamu?" tanya Adeline yang menghampiri seorang pekerja disana.
Pekerja yang dihampiri oleh Adeline terpaku dengan wajah cantik perempuan di depannya. Untuk sepersekian detik dia menatap tanpa kedip pada makhluk ciptaan Tuhan yang berdiri tepat di hadapannya. Dia bahkan lupa bahwa perempuan yang tengah di pandangi itu merupakan bos di bar tersebut.
"Jangan pernah tatap saya dengan mata kotormu itu, jika tidak mau kehilangan pekerjaanmu!" bentak Adeline yang tidak suka jika ada yang menatapnya dengan tatapan kurang ajar.
Seketika pria itu tersadar, buru-buru dia menurunkan pandangannya. "Maaf, Nona. Saya tidak sengaja, tolong jangan pecat saya."
Mendengar keributan yang berasal dari lantai dasar bar, Maya yang merupakan sekretaris Adeline segera turun dari lantai dua gedung itu. Dia mempercepat langkah saat melihat si bos tengah mengintimidasi seorang pekerja.
"Maaf, Nona El, ada apa?" tanya Maya bergantian menatap Adeline dan pekerja yang masih menunduk itu.
"Bilang pada semua pekerja disini, aku tidak suka jika ada yang menatapku dengan berani. Apa lagi dia hanya pekerja disini!" tekan Adeline tanpa mengalihkan pandangan.
Tatapannya masih tertuju pada pekerja Office boy yang sedang gemetar di depannya. Sebelum mengalami pengkhianatan ini, Adeline tidak pernah mempermasalahkan siapa saja yang menatap tubuhnya asal masih dalam batas wajar. Namun, entah kenapa setelah mendapatkan luka dari pria tercinta, membuat perempuan itu sangat membenci tatapan mata yang berasal dari pria-pria disekitarnya.
"Baik, Nona. Saya akan mengurus segalanya," jawab Maya yang masih kebingungan.
"Tolong nanti bereskan kamarku. Keluarkan semua barangku dan susun ke dalam lemari. Aku ada urusan sebentar," perintah si bos sebelum melangkah pergi dari tempat itu.
Maya yang mendapat perintah dari Adeline segera berjalan menuju kamar pemilik tempat tersebut yang berada di lantai tertinggi gedung. Sebagai seorang sekretaris, Maya memang sangat cekatan dan tidak suka membuang-buang waktu. Dia selalu mengerjakan apapun perintah Adeline tanpa sedikitpun bantahan.
Namun, berbeda dengan kali ini. Maya membulatkan matanya lebar-lebar saat masuk ke dalam kamar milik bosnya. Tempat itu sudah tidak layak disebut sebagai tempat istirahat, bahkan lebih tepat jika dilabeli dengan sebutan tempat untuk mengeluarkan seluruh amarah.
Pecahan kaca yang berserakan dan noda darah yang cukup banyak di lantai kamar membuat Maya berpikir keras. Apakah yang baru saja dilakukan oleh nona mudanya di kamar tersebut.
"Jangan-jangan, Nona berniat mengakhiri hidupnya? Tapi masalah apa yang membuatnya sampai nekat seperti ini? Apakah nona memiliki masalah yang sangat rumit?" monolog Maya karena di tempat itu hanya ada dia seorang diri.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 247 Episodes
Comments
Ra Jib
klo tokoh utamanya sombong/arogan..jadi malas nerusin baca
2023-08-09
1
Susana
Ceritanya menarik, Kak. 😍😍😍
2023-04-06
1
Mili
Mampir juga ya kak ceritaku
2023-03-12
1