Terkejut, itulah yang saat ini di rasakan oleh Adeline. Baru saja bar miliknya di kacaukan oleh orang-orang kejam, sekarang masalah kembali terjadi di kantor keluarganya.
"Sekarang, papa dan mama dimana?" tanyanya pada Grasiella.
"Papa ke kantor, tapi, mama jatuh pingsan, Kak. Bagaimana ini?" Grasiella terdengar sangat panik.
"Kau tenanglah! Panggilkan dokter pribadi keluarga kita. Kakak yang akan menyusul papa," perintah Adeline kepada adiknya itu.
"Baik, Kak. Kakak hati-hati, yah!"
"Hem,"
Panggilan berakhir, Adeline segera mengganti pakaiannya dengan pakaian yang simple. Perempuan itu bergegas pergi menuju kantor sang ayah. Meski keluarganya kerap berlaku tidak adil, akan tetapi Adeline tidak pernah sedikitpun merasa dendam pada mereka.
Saat sampai di lingkungan kantor sang ayah, tempat itu sangat ramai. Banyak sekali pemadam kebakaran yang dikerahkan untuk memadamkan api yang sudah melahap sebagian besar gedung, serta ada juga petugas keamanan yang mencoba mendalami penyebab kebakaran.
Pandangan Adeline berkeliling untuk mencari keberadaan sang ayah. Perempuan itu begitu mengkhawatirkan keadaan ayahnya yang berada di tengah keramaian itu, diapun yakin pasti ayahnya merasa sangat terpukul dengan kecelakaan tersebut.
"Ah, itu papa. Kasihan sekali, kantor ini di bangun oleh papa dengan kerja keras dan dalam sekejap lenyap di lalap oleh api. Aku harus menenangkan papa," ujarnya seraya melangkahkan kakinya mendekati pria paruh baya yang sedang mondar-mandir dengan memegangi kepalanya.
"Aku pasti akan hancur setelah ini. Perusahaanku, sudah hangus terbakar!"
"Papa," panggil Adeline saat sudah berada di belakang tubuh sang ayah.
Antonio menoleh ke arah sumber suara. Wajahnya yang tampan terlihat kacau balau. Perusahaan yang selama ini dia bangga-banggakan lenyap dalam sekejap. Kini kebangkrutan yang akan menyambutnya di depan mata.
"Elin, mau apa kau kemari?" tanyanya dengan suara datar.
"Grasiella memberi tahu aku tentang kebakaran ini. Elin hanya khawatir pada papa," jawab Adeline yang memposisikan diri di samping ayahnya.
"Benarkah? Bukankah kamu datang untuk mentertawakan kehancuranku?" tuduhnya tanpa belas kasih.
Adeline menggeleng cepat. "Aku tidak sejahat itu, Pah. Aku hanya khawatir pada papa." Perempuan itu menatap sekitar. "Zico mana?" tanyanya kemudian.
"Tidak tahu. Dia bilang akan segera kesini, tapi sampai sekarang belum sampai juga," jawab Antonio acuh.
Adeline yang tidak mau semakin memperpanjang masalah dan terjadi perang antara dirinya dan sang ayah memutuskan untuk diam. Ternyata kedatangannya masih tidak di harapkan oleh pria yang begitu dia cintai itu.
Dia hanya bisa melihat pemandangan api yang berkobar itu seraya mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut ayahnya. Sudah berjam-jam api itu tidak kunjung padam. Padahal perusahaan itu tidak memiliki banyak barang yang mudah terbakar. Namun, entah kenapa sepertinya api sangat sulit di jinakkan.
Fajar hampir tiba saat api itu berhasil di padamkan. Hingga saat ini, Zico sama sekali tidak menampakkan diri disana. Adeline sebenarnya merasa bimbang untuk tetap bertahan ditempat itu atau pergi. Keberadaannya sama sekali tidak di anggap oleh sang ayah, akan tetapi untuk pergi diapun merasa kasihan pada pria yang dulu pernah begitu menyayanginya ketika kecil.
Seorang petugas keamanan menghampiri si pemilik perusahaan. Adeline masih diam berdiri di samping ayahnya meski tidak ada sedikitpun obrolan antar keduanya. Padahal, Adeline sangat ingin menenangkan sang ayah dari kegelisahannya saat ini.
"Maaf, Tuan. Kami menduga kebakaran ini terjadi akibat korsleting listrik. Tidak ada penyebab lain."
Antonio hanya diam tanpa menjawab apapun. Sepertinya pria itu masih merasa syok dengan musibah yang di alaminya.
"Tapi, Tuan. Bagaimana bisa api begitu cepat menjalar jika hanya karena korsleting listrik. Perusahaan ini tidak memiliki banyak barang-barang yang mudah terbakar," timpal Adeline yang merasa janggal.
"Kami tidak menemukan adanya keanehan dalam kecelakaan ini, Nona. Ini murni kecelakaan," jawab si petugas keamanan.
Adeline memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Entah apa yang terjadi sebenarnya, kenapa musibah itu datang berturut-turun hanya dalam waktu satu malam. Melihat sang ayah yang masih diam saja, Adeline memutuskan untuk membujuk pria itu kembali ke rumah mereka.
Tidak ada gunanya lagi mereka berdiri disana, semua sudah hangus terbakar. Jangankan barang ataupun berkas penting, bangunan yang awalnya mewah itupun juga sudah sangat memprihatinkan.
Antonio yang dalam keadaan syok akhirnya hanya menurut saat sang putri membawanya untuk pulang. Perempuan itu berkali-kali menoleh ke arah sang ayah yang masih terdiam dengan tatapan kosong.
"Pah, jangan terlalu di pikirkan. Nanti, Elin akan berusaha membantu papa," ujar Adeline yang sama sekali tidak di pedulikan oleh sang ayah.
Pria paruh baya itu masih saja terbayang-bayang dengan kobaran api yang melahap habis perusahaannya. Adeline menambah laju mobilnya agar lebih cepat sampai ke rumah.
Setelah sampai ternyata keadaan rumah juga tidak baik-baik saja. Sang ibu sedang menjerit histeris, Ella dan beberapa pelayan bahkan kualahan untuk menenangkan Monica.
"Ella, apa yang terjadi? Kenapa mama histeris?"
"Mama tidak sengaja melihat berita di tv yang meliput kebakaran perusahaan kita, Kak."
Ketika Adeline masih di pusingkan dengan keadaan orang tuanya yang benar-benar terpukul dengan musibah yang terjadi. Akhirnya Adeline mengambil ponselnya untuk menghubungi sang adik. Kekacauan ini tidak mungkin dia kendalikan sendiri, sementara Grasiella juga tidak terlalu bisa di ajak bertukar solusi.
"Hallo. Zico, kamu dim–,"
"Maaf, Nona. Pemilik ponsel ini sedang di tangani oleh dokter. Dia mengalami kecelakaan tunggal di jalan," jelas seseorang yang merupakan penolong Zico.
Adeline memaku di tempatnya.
Lagi-lagi musibah yang datang pada keluarga itu, Adeline merasakan lemas pada tubuhnya saat di terpa banyak sekali masalah. Pertama tentang bisnisnya, lalu perusahaan ayahnya dan sekarang adiknya juga mengalami kecelakaan.
"Dia di bawa ke rumah sakit mana? Saya akan segera kesana."
Adeline bergegas menuju tempat dimana sang adik di rawat. Dia terpaksa pergi seorang diri karena tidak mungkin dia mengungkapkan masalah itu kepada orang tuanya yang masih belum bisa menerima kenyataan. Namun, ketika perempuan itu sedang dalam perjalanan ke rumah sakit, ponselnya berdering. Nomor asing yang tertera di layar ponsel. Awalnya Adeline mengacuhkan panggilan tersebut, akan tetapi ketika ponselnya itu terus berdering tanpa henti akhirnya Adeline menerima panggilan itu.
"Siapa?" tanya Adeline dengan ketus.
"Bagaimana, Sayang? Masih mau melawan dan menolakku?" Suara yang tidak asing menyapa pendengarannya, panggilan itu juga hanya ada satu orang yang berani memanggilnya dengan sebutan itu.
"Kau!" pekik Adeline dengan suara lantang.
"Jangan berteriak, Sayang! Suaramu itu membuatku ingin segera melahapmu."
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 247 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus sabar
2023-01-21
0
MissHaluuu ❤🔚 "NingFitri"
wahhh garcep jga si brondong gila 🤭🤭🤭🤭
2023-01-11
1