Pagi ini Marco bersemangat untuk ke perusahaan. Dukungan kakek semalam membuat ia tidak sabar untuk bertemu sang sekretaris.
Tidak ada yang perlu ditutupi lagi. Selama ini ia masih menjaga jarak dengan Icha karena tidak ingin hati Icha terluka. Ia masih harus memantapkan hati untuk memilih Icha atau Velencia.
Ya, Marco jatuh cinta pada Icha saat ia masih duduk di bangku SMA dulu. Umurnya baru 17 tahun, jalan 18. Sedangkan Marco yang menjadi guru dadakan berusia 26 tahun. Marco berpikir itu hanya perasaan suka laki-laki terhadap perempuan. Perasaan yang lumrah. Laki-laki mana yang tidak tertarik kepada perempuan imut, cantik, bibir tipis dengan bola mata besar dan berbulu mata lentik. Ditambah lesung pipi sebagai pemanis wajahnya.
Tanpa Icha sadari, Marco sering memperhatikannya saat di kelas. Hingga Marco pernah dengan sengaja menyuruh Icha untuk mengumpulkan tugas semua teman kelas dan membawanya ke ruangan Marco.
Semenjak pertemuan mereka di kelas, perasaan Marco semakin mendua antara Valencia atau Icha. Hampir 6 tahun menjalani kisah cinta dengan Valencia, tentu tidak mudah melepaskan gadis itu. Apalagi hubungan mereka sampai saat ini baik-baik saja. Tetapi, ia pun tidak bisa mencegah rasa yang tumbuh dalam hati untuk Icha, muridnya. Bahkan rasa itu semakin kuat mengikat hati dan perasaan.
Setelah seminggu Icha menjadi sekretaris, Marco semakin tersiksa dengan perasaan sendiri. Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk memilih Icha. Walau pun ia sangat menyadari bahwa akan ada hati yang terluka. Bukan hanya Valencia, tetapi keluarga besar gadis seksi itu.
Mungkin keluarga besarnya juga akan marah, tapi Marco tidak terlalu mengkhawatirkan itu. Asalkan ada kakek yang sudah mendukungnya, maka Marco menganggap ringan semua halangan.
Apalagi setelah berbicara dari hati ke hati dengan kakek, Marco pun mendapat jawaban untuk pertanyaannya sendiri. Ya, ia memilih Icha. Perasaannya pada Icha berbeda ketika ia bersama Valencia. Ia pun menyadari bahwa apa yang ia rasakan itu adalah cinta. Dan ia mau hidup berdampingan dengan cintanya.
Marco tiba di kantor pukul 07.45. Walaupun ia pemilik perusahaan, tetapi ia selalu menunjukkan dedikasi yang tinggi.
Ia segera masuk dalam lift khusus dan menekan tombol angka ruangan pimpinan tertinggi berada. Ia tidak sabar menemui Icha.
Pintu lift terbuka, Marco segera keluar berjalan menuju ruangannya. Dari jarak beberapa meter sudah terlihat ruangan Icha.
"Pagi, tuan." Suara Raymond terdengar memberi salam pada Marco yang dibalas dengan anggukan pelan.
"Pagi, tuan.. "Suara gadisnya terdengar. Marco melihat ke arah Icha dan mendekatinya.
"Pagi... buatkan aku kopi." Perintah Marco sambil menatap bibir Icha. Ia sangat rindu bibir itu. Marco sangat menyukai bentuk bibir Icha.
Mendengar perintah Marco, Icha segera menunduk hormat.
"Baik, tuan." Jawab Icha tenang, padahal jantung serasa mau copot gara-gara tatapan Marco. Tetapi, menurut Icha tatapan itu berbeda kali ini. Entah apa perbedaan itu ia pun tidak mengerti.
Icha segera ke pantry dan membuat kopi untuk Marco. Ia juga mengambil beberapa kue yang khusus disiapkan untuk CEO perusahaan.
"Kopinya, tuan... silahkan!" ucap Icha lembut setelah meletakkan kopi di atas meja kerja Marco. Ia berusaha untuk tetap tenang dan memberikan senyuman tipis.
"Ini berkas dari divisi keuangan?" Tanya Marco sambil menunjukkan tumpukan kertas di hadapannya.
"Iya, tuan... tadi diantar manajernya." Jawab Icha.
Marco mengangguk paham. Ia meletakkan berkas-berkas itu kembali dan mengambil kopi buatan Icha tadi. Sebelum meneguk kopi itu, matanya sempat melirik ke arah Icha. Ada segurat senyum misterius di sana yang tidak dilihat oleh Icha.
"Cuuuuuiiih... kopi apa ini? Kenapa manis sekali?" Marco menaruh kopi itu di meja dan menatap Icha tajam.
Icha terperanjat kaget.
"Maaf, tuan... te-tetapi, saya membuat kopi dengan takaran seperti biasa. Maaf, kalau terlalu manis." Icha Ketakutan. Seingatnya, ia membuat sesuai takaran yang biasa diminum Marco. Dua sendok kopi dan setengah sendok gula. Tidak ada yang salah.
"Jadi, maksud kamu saya bohong dengan rasa kopi ini?" ucap Marco mengintimidasi. Ia berjalan semakin dekat ke arah Icha dengan memegang cangkir kopi di tangan.
Icha hanya menunduk takut.
"Coba kamu minum kopi ini." Ucap Marco sambil memberikan kopi untuk Icha. Gadis itu melongo. Marco segera mengarahkan cangkir kopi ke bibir Icha. Mau tidak mau Icha terpaksa meneguknya dengan gugup sampai kopi itu sedikit mengenai pelipis bibir Icha, dan meninggalkan bekas.
Marco tersenyum penuh arti. Ia mengambil gelas kopi dari tangan Icha dan menatapnya dalam. Perlahan ia menurunkan kepala dan mengecup pelipis bibir Icha yang terkena kopi. Agak lama ia menikmati ciuman sepihak itu. Icha terpatung diam antara sadar dan tidak.
"Aku suka kopinya." bisik Marco di telinga Icha. Segera Icha tersadar dan melangkah mundur. Ia memegang ujung bibir yang dicium Marco. Dan tanpa pamit, Icha keluar dari ruangan Marco.
Marco tidak menahannya. Ia sengaja membiarkan Icha menenangkan diri dulu. Karena ia tahu, pasti saat ini jantung Icha seperti marathon.
Marco tersenyum bahagia. Ia memegang bibirnya membayangkan kejadian tadi. Ia akan terus menggoda gadis itu sampai ia mendapatkan hatinya.
Rutinitas GT Corp berjalan seperti biasa. Semua karyawan bekerja dengan giat untuk menunjukkan kualitas dan potensi diri mereka, agar mereka mendapat bonus yang cukup besar dari perusahaan.
Berbeda dengan Icha. Moodnya langsung berantakan setelah ciuman pagi tadi. Ia masuk ke ruang pribadi dan menatap cermin lama. Tiba-tiba air matanya jatuh. Icha terisak Sendiri di sana. Ada rasa bahagia di hati, tetapi juga ada rasa takut yang menghantui. Ia takut Marco hanya mempermainkan hatinya yang sudah terlanjur jatuh cinta sejak 5 tahun yang lalu.
Ya Tuhan... aku bingung.
Ia segera mencuci muka dengan air bersih dan menempelkan sedikit bedak dan memoles bibir dengan lip tint, sehingga wajahnya terlihat lebih segar. Ia tidak mau ada orang yang melihat wajah sembabnya.
tok... tok... tok...
Pintu ruangan pribadi Icha diketuk dari luar. Icha melihat penampilannya di cermin sebelum membuka pintu.
"Hei... ngapain sih di dalam?" Raymond sudah di luar dengan berkas di tangan.
"Nih, antar gih ke ruangan Pak Marco." Lanjutnya sambil menyerahkan beberapa lembar kertas ke tangan Icha. Icha mengerutkan kening sambil membaca isi kertas itu.
"Kok aku sih? Kamu bisa kan antar ke dalam?" Tolak Icha.
"Cih... aku masih banyak kerjaan. sana gih!" Tanpa menunggu jawaban dari Icha, Raymond langsung berbalik menuju ruangannya. Namun, sebelum masuk dalam ruang kerja, ia berbalik melihat ke arah Icha.
"Semangat, ya!" ucapnya pelan hampir tidak terdengar. Hanya bisa terbaca dari bentuk bibirnya lalu segera masuk ke dalam ruangan setelah melihat raut wajah Icha yang kesal bukan main.
Icha membolak balikkan kertas di tangannya dengan kesal.
"Raymond aneh deh. Masa aku yang harus ngantar ini sih." Ujar Icha sewot. "Kan aku masih malu ketemu dia." Ia menutup wajahnya dengan lembaran kertas di tangan. "iiiiih... kesel banget sih." Icha menghentakkan kaki kesal sambil berjalan menuju ruangan Marco.
Tok... tok... tok...
Setelah menarik napas panjang, ia memberanikan diri mengetuk pintu.
"Masuk." Suara dari dalam membuat Icha bertambah gugup.
Icha membuka kenop pintu dengan pelan. Ia masuk dan berjalan mendekati meja kerja Marco.
Marco yang melihat kedatangan Icha, segera melepas ballpoint di tangan dan menatap gadis itu sedikit heran.
"Maaf, tuan... saya disuruh Raymond mengantarkan ini." ucap Icha pelan sambil meletakkan kertas di depan Marco. Ia tidak berani menatap mata Marco.
"Saya permisi." Icha langsung berbalik badan dan hendak berjalan ke luar ketika Marco menahannya.
"Tunggu." Perintah Marco datar. Ia berdiri dan mendekati Icha yang membelakanginya. Leher jenjang Icha bisa dilihat dengan jelas karena ia mencepol rambut ke atas.
Marco berdiri hanya beberapa centi di belakang Icha. Ia membuka jepit rambut Icha dan membiarkan rambutnya tergerai cantik. Icha menutup mata karena gugup.
"Jangan memperlihatkan leher jenjang kamu ke semua orang.. Aku tidak suka." Bisik Marco di telinga Icha. Bulu kuduk Icha meremang. Wajah Marco sudah berada tepat di samping wajah Icha. Kalau saja ia menoleh ke kanan pasti hidung dan bibir Icha akan menempel di pipi Marco. Maka, Icha hanya mengangguk. Sepersekian detik mereka terdiam di posisi yang intim. Sampai akhirnya, Icha buka suara.
"Saya permisi." Ia langsung berlari ke luar ruangan Marco. Jantungnya benar-benar hampir meledak. Bahkan Wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus.
Marco tersenyum simpul. Harum rambut Icha seperti masih menempel di hidungnya. Ia menarik napas panjang tetap dengan senyum yang memancarkan kebahagiaan.
Inikah rasanya jatuh cinta? Enam tahun bersama Valencia, aku tidak pernah merasakan gejolak seperti ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments