Icha dan mama Tanti sudah di stasiun kereta api. Mereka akan ke Jakarta melalui jalur kereta api. Wulan memeluk sahabatnya dan menangis. Ternyata berat berpisah dengan orang terkasih.
"Hati-hati ya, cha... dan cepat hubungi aku kalau udah di Jakarta." Ucap Wulan sambil terisak menangis. Icha yang awalnya tidak mau menangis akhirnya luluh juga. Airmatanya ikut turun menderas.
"Iya, pasti aku langsung hubungi kamu. Jaga diri baik-baik ya. sering-sering berkabar." Ujar Icha sambil tersenyum.
Mama Tanti hanya tersenyum melihat dua gadis muda yang sedang asyik menangis tanpa peduli dengan orang-orang di sekitar mereka. Ia membelai kepala dua anak gadisnya.
"Udah ya teletubiesnya... sekarang Icha harus naik keretanya." Kata mama Tanti sambil melepaskan pelukan Icha pada Wulan. Kalau tidak, maka mereka akan terus berpelukan. Icha menghapus airmatanya dan tersenyum pada Wulan.
"Bye... see you." Icha langsung naik ke atas kereta diikuti oleh mama Tanti. Wulan hanya melambai lemah masih dengan airmata di pipinya.
Tidak berapa lama, kereta pun mulai merangkak pelan mengikuti alur relnya. Bunyi kereta pun mulai menggema meninggalkan stasiun.
Icha duduk terdiam melayangkan pandangannya ke luar jendela. Airmatanya jatuh. Tapi dengan cepat ia menghapus airmatanya. Takut dilihat sang mama. Tapi Icha terlambat. Mama Tanti melihat airmata itu. Mama Tanti tersenyum pada Icha seakan-akan menguatkan anak gadisnya.
"Harus kuat, cha. Kamu yang memilih untuk jauh dari papa, mama, keluarga dan sahabat kamu. Itu artinya kamu sudah harus siap berpisah dengan mereka. Lagian Jakarta-Bandung dekat kok. Kalau kangen tinggal pulang aja. Iya, kan?" Ucap mama Tanti menguatkan Icha. Icha hanya mengangguk dan menyandarkan kepalanya di bahu mama.
Bukan, ma. Bukan soal papa, mama, keluarga dan sahabat Icha. Ini soal dia, ma. Dia yang sudah memberi rasa ini pada Icha. Icha tersiksa dengan rasa ini. Tapi, Icha nggak berani cerita, ma. Icha malu. Icha hanya anak SMA yang jatuh cinta pada gurunya. Cinta yang tidak terbalaskan. Ya, bagaimana harus dibalas? Icha bukan siapa-siapa. Sedangkan dia, laki-laki dewasa penuh pesona.
Icha hanya bisa berteriak dalam hati. Airmatanya makin deras luruh begitu saja. Mama memeluk Icha. Mungkin kalau Icha mau sedikit saja berbagi cerita, pasti hatinya tidak akan sesesak ini. Tapi Icha terlalu malu untuk bercerita.
Tanpa terasa Icha tertidur cukup lama setelah menangis. Mama Tanti membangunkan Icha karena sebentar lagi sampai Jakarta. Perjalanan tidak memakan waktu lama.
Icha bangun dengan kepalanya sedikit berat. Matanya juga agak bengkak akibat menangis.
Mereka sibuk mengangkat barang. Setelah selesai, menunggu taksi untuk ke tempat kos Icha. Tempat kos Icha sudah dibooking dari jauh-jauh hari. Pemilik kos sempat memposting kost-kostannya di media sosial, hingga Icha langsung membookingnya dan membayar setengah uang kosnya. Enaknya hidup di jaman teknologi modern seperti ini. Tidak perlu repot-repot mencari sesuatu lagi.
Icha dan mamanya sampai ke tempat kos Icha. Mereka disambut Ibu kos. untungnya juga Ibu kos Icha sangat ramah. Ia membuka pintu kamar Icha dan mempersilahkan Icha masuk. Kesan pertama nyaman. Sangat nyaman. Terletak di kawasan yang aman juga. Dijaga pos satpam di depan jalan masuk. Mama Tanti pun senang dan lega bisa meninggalkan Icha hidup sendiri nantinya.
Kamar kos lengkap dengan dapur dan kamar mandi di dalam. Ada AC juga. sudah tersedia tempat tidur dan alat memasak di dapur. Lumayanlah. Pikir Icha.
Mama Tanti dan Icha mulai membereskan semua barang-barang Icha. Berkas-berkas penting disimpan dengan rapi dalam laci lemari. Setelah selesai, Icha pun bersih-bersih di kamar mandi. Mama Tanti masih sibuk memanaskan makan malam meraka. Mama Tanti sengaja membawa makanan dari rumahnya agar sampai Jakarta mereka tidak repot mencari rumah makan.
Saking capeknya, mama Tanti pun tertidur setelah makan malam. Icha masih duduk di teras kecil kamar kosnya. Ia hendak menelpon Wulan.
"Haiiiiii..... " Suara Wulan terdengar ribut setelah videocall Icha tersambung. "Kok baru telepon?" lanjutnya sewot.
"Baru bisa istrahat sekarang, makanya baru telepon. Mama aja udah tidur tuh, saking lelahnya." Jelas Icha pelan.
"Udah makan?" Tanya Wulan perhatian.
"Udah." Jawab Icha singkat.
"Eh, Cha... tadi aku ketemu Pak Marco." Seru Wulan heboh.
"Dimana?" Tanya Icha penasaran.
"Di kampus X. Aku kan mau daftar di situ juga."
Icha menarik napas panjang.
"Trus?" Tanya Icha.
Wulan langsung memasang muka sedihnya. "Aku sapa dia... eh, nggak dijawab. Hanya melirik sebentar dan kabur deh. Dasar beruang kutub." Sesal Wulan mengingat pertemuan tadi.
Icha tersenyum lucu. "Buru-buru mungkin." ujar Icha tetap berpikir positif.
"Mungkin. Kata orang-orang itu kampus punya dia. Dia ada di sini untuk mengurus beberapa sekolah dan kampus milik keluarganya. Setelah itu dia kembali ke kota tempat tinggalnya. Tapi nggak tahu di mana." Jelas Wulan panjang lebar.
Icha hanya angguk-angguk paham. Tapi bingung mau ngomong apa lagi.
"Apa dia tinggal di kota Bandung ya?" Wulan masih penasaran.
"Bisa jadi. Dia ke daerah kita hanya untuk kontrol pekerjaannya." balas Icha sok tahu.
"Tadi aja heboh sekampus waktu Pak Marco datang." Cerita Wulan masih berlanjut. "Semua perempuan pada heboh ngeliat dia."
"Kamu ikutan heboh dong?" Goda Icha.
"Gimana mau heboh. Aku sapa aja dia nggak peduli. Buang-buang energi aja." balas Wulan lemas. Icha tertawa melihat ekspresi sahabatnya.
" Ya udah... lain kali nggak usah disapa aja kalau ketemu." saran Icha sekenanya.
"Pengennya sih... tapi nggak kuat liat pesonanya." Ujar Wulan dengan memonyongkan bibirnya.
Icha hanya tertawa lucu. Dalam hatinya masih ada rindu untuk laki-laki itu.
Mereka masih terus asyik bercerita sampai Icha pamit untuk tidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments