Dalam keadaan yang amat sangat bersedih, aku mengajak Sesya ke tempat karaoke salah satu tempat usaha milik keluargaku. Aku merasakan rasa sedih yang sangat luar biasa di hatiku saat ini. Aku selalu mencintai Alec sudah terlalu lama, bahkan aku tidak tahu kapan aku jatuh cinta padanya.
Aku bernyanyi dengan berteriak dalam keadaan mabuk karena meminum minuman beralkohol. Aku menumpahkan rasa sedihku dengan mengkonsumsi minuman tersebut.
"Viv, sudahlah, hentikan kelakuanmu!!" Sesya berseru padaku yang bernyanyi dengan berteriak seperti orang kesetanan. "Sudah aku katakan, sebaiknya lupakan Alec."
Mendengar perkataan Sesya membuatku semakin berteriak saat bernyanyi. Aku tidak mungkin melupakan Alec dengan mudah, lebih tepatnya aku tidak ingin melupakannya. Dia adalah cinta pertama dan terakhirku.
"Aku juga yakin Olivia bukanlah wanita pertama yang bercinta dengannya. Kau terlalu naif Viv, dia pasti sudah sering bercinta dengan banyak wanita. Itu tidak mengherankan. Wajahnya tampan dan dia seorang pengacara muda yang kompeten, jika dia mau akupun ingin mencoba bercinta dengannya juga." Ujar Sesya dengan sangat mudahnya.
Aku terjatuh lemas dalam posisi telungkup ke sofa mendengar perkataan Sesya yang memang sangat mungkin semua itu terjadi pada Alec. Pria seperti Alec pasti akan mudah mendapatkan wanita yang ingin bercinta dengannya.
"Sudah aku bilang padamu sejak dulu. Kalau kau menyukainya kau bisa menggodanya sejak lama. Tapi kau terlalu yakin kalau kalian akan menikah pada akhirnya. Sampai-sampai kau menolak semua pria yang mendekatimu. Kau bahkan hanya ingin bercinta dengan Alec. Kau benar-benar bodoh, Viv."
Tubuhku sudah tak bertenaga saat ini. Kepalaku juga terasa sangat menyakitkan. Sudah hampir tiga jam aku berteriak-teriak bernyanyi seperti orang gila tadi. Pengaruh alkohol juga semakin membuat diriku tak bisa berpikir banyak. Aku hanya meracau tak jelas mengatakan banyak hal dengan sesekali menangis dengan penuh air mata.
"Kau baik-baik saja, Viv?" Tanya Sesya menghampiriku yang masih telungkup di sofa.
"Aku selalu baik-baik saja." Jawabku dengan setengah kesadaran.
"Kau benar-benar sudah sangat mabuk." Ujar Sesya. "Ini juga sudah malam, sebaiknya kau pulang."
"Aku tidak ingin pulang. Aku tidak ingin kembali ke rumah itu. Aku tidak ingin melihat pria itu. Aku tidak ingin melihat gadis itu juga... Itu akan membuatku..." Aku menghentikan perkataanku dengan sebuah tangisan.
"Ya ampun, Viv, berhentilah bersedih. Dengarkan kata-kataku kemarin. Lupakan Alec, dan mulailah mencintai Vernon. Dia tidak buruk juga, buktinya hingga sekarang dia tidak berbuat apapun padamu. Jika dia pria bajingan, sudah setelah menikah dia sudah memaksamu bercinta dengannya, atau bahkan dia akan melakukannya sebelum kalian menikah waktu itu. Tapi dia tetap mendengarkan semua perkataanmu kan?"
"Dia tidak sebaik itu." Aku bergumam dengan lirih.
"Apa maksudmu?" Aku bisa merasakan rasa kesal terpancar dari nada suara Sesya saat ini. "Dia memaksa menciummu? Kalian sudah menikah. Dia bisa melakukan itu. Kaulah yang buruk, Viv. Ya, kau dan Alec sangat buruk. Kau membiarkan Alec menciummu sedangkan kau sudah menikah, Alec juga sama buruknya. Dia menciummu sedangkan tahu kau sudah menikah dan dia sendiri akan segera menikah. Alec lah yang terburuk."
Dengan kesal aku beranjak bangun karena kata-kata Sesya terdengar sangat jahat pada Alec. Walaupun Sesya adalah sahabatku, tetap saja aku tidak bisa menerima dia menjelek-jelekan Alec di depanku.
"Diamlah!! Jangan berkata seburuk itu tentang Alec!! Dia adalah malaikat!!" Seruku dengan marah pada Sesya.
Kekesalanku membuat aku meminum kembali minuman alkohol langsung dari botolnya. Aku menenggaknya hingga habis tak bersisa. Lalu langsung terbaring di sofa dengan pandangan yang berputar-putar. Aku semakin merasa semakin mabuk.
"Sebaiknya aku memanggil Arthur agar kau berhenti minum dan membawamu pulang." Ucap Sesya. "Ahh, aku lupa kau sudah menikah."
Sejenak aku menikmati diriku yang seperti melayang-layang saat ini. Aku sudah tidak bisa memikirkan apapun lagi karena rasa mabuk sudah menguasai diriku saat ini.
Hanya berbaring di sofa dengan sesekali menertawakan diriku karena memikirkan kondisiku saat ini sangat memalukan. Aku pasti sudah gila saat ini.
"Kau sangat menyedihkan, Viv." Ucap Sesya.
Kalimat itu yang terakhir kali aku dengar sebelum diriku tertidur karena rasa berat di kepalaku. Hingga sesuatu menyadarkan aku.
Aku membuka mata saat merasakan diriku benar-benar seperti melayang. Awalnya aku pikir saat ini aku memang sudah melayang ke surga, namun ternyata seseorang mengangkatku dengan kedua tangannya. Aku menatap ke pria yang menggendongku tersebut namun cahaya lampu yang menyilaukan membuat mataku tidak bisa melihat siapa orang itu.
Sesya pasti menghubungi Arthur. Ya, Sesya selalu memanggil Arthur setiap kali aku tak sadarkan diri karena mabuk. Saat ini Arthur pasti menggendongku seperti biasanya.
"Art, kau sangat bodoh!! Kenapa kau membiarkan aku menikah dengan pria seperti itu?" Aku meracau dalam gendongan. "Aku ingin menikah dengan pria yang aku cintai. Aku juga ingin bercinta dengannya. Tidak, aku tidak ingin melakukannya lagi. Aku tidak mungkin melakukannya dengannya lagi. Aku tidak mau." Aku mulai menangis dan membenamkan wajahku ke dada pria yang menggendongku.
Tidak berapa lama aku merasakan tubuhku berbaring di sebuah tempat tidur yang nyaman. Aku membuka mataku dan melihat saat ini aku berada di kamar hotel yang berada dalam satu gedung tempat aku dan Sesya berkaraoke tadi. Biasanya jika Arthur tidak menjemputku, dan Sesya juga mabuk sepertiku, kami menginap di hotel tersebut.
"Kenapa kau tidak membawaku pulang, Art? Aku merindukan kamarku." Gumamku pada seseorang yang baru saja menurunkan aku.
"Tidurlah disini, aku tidak akan membawamu pulang dalam keadaan mabuk seperti ini. Kedua orang tuaku sedang berada di rumah."
Aku mengusap mataku saat bukan suara Arthur yang aku dengar. Melainkan suara suamiku yang tidak aku cintai. Vernon berdiri menatapku dengan wajah yang terlihat kesal menatapku. Melihatnya yang kesal membuat aku tertawa dalam mabukku.
"Vern, kau bilang akan membuatku hidup seperti di neraka? Aku menantikannya. Aku ingin hidup seperti di neraka. Karena saat ini aku merasa hidupku jauh lebih buruk dari di neraka."
Aku terus meracau sambil berusaha bangun namun tubuhku goyah hingga kehilangan keseimbangan. Dengan sigap Vernon memegangiku dan aku memberikan senyum bodoh padanya.
"Tidurlah di sini. Kau terlihat sangat kacau."
Karena mabuk dan tidak bisa berpikir aku memeluk Vernon dengan tawa kecil. Aku benar-benar sudah tidak bisa berpikir jernih karena rasa sedih bercampur mabukku saat ini.
"Lepaskan aku. Aku tidak suka bermain-main dengan wanita mabuk." Ujar Vernon memegang tanganku agar melepas pelukannya.
Mendengarnya membuat aku tertawa kecil sekali lagi dengan mencoba membuka mataku yang terasa sangat berat menatap Vernon.
"Sesya bilang aku harus mencintaimu, dan membuatmu mencintaiku. Aku rasa dia benar." Ucapku.
Vernon melepas pegangannya dariku. Aku bisa melihat bagaimana dirinya tampak tidak menganggap perkataanku dengan serius. Namun sebelum dia membalikkan tubuhnya, aku menarik tengkuknya untuk menciumnya.
"Berani sekali kau menantangku." Seru Vernon dengan tatapan kesal padaku. "Aku tidak akan menghentikannya lagi—"
Sekali lagi aku mencium Vernon. Aku hanya mengikuti apa yang ada dipikiranku saat ini. Melihat Alec mencium dan bercinta dengan Olivia membuat hatiku hancur. Aku juga akan menghancurkan hidupku sekalian dengan memberikan diriku pada Vernon, suamiku.
Vernon membawaku ke atas tempat tidur dengan terus mencium bibirku. Aku pun menikmatinya. Aku sudah pasrah sekarang. Aku tidak akan menghentikan dirinya yang ingin menyentuhku.
"Jangan berusaha untuk menghentikan aku..."
"Tidak akan." Jawabku yang berada di dalam kungkungan Vernon. "Aku akan hidup di neraka yang kau ciptakan untukku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ🥀⃟ʙʟͤᴀͬᴄᷠᴋͥʀᴏsᴇ
ckckck
2023-01-09
1