"Tampaknya apa yang dikatakan anak buahmu terlalu berlebihan." Tiba-tiba Vegard datang membuka pintu rumah sakit. "Bahkan kalian masih bisa bermesraan saat ini."
Vernon langsung melepas dekapannya dari tubuhku ketika Vegard datang. Dengan tatapan tajam, Vernon menoleh ke arah pintu pada Vegard.
"Baiklah kalau kau ingin pulang sekarang." Ucapku karena bingung dengan apa yang terjadi. Alasan Vernon memelukku dengan kata-katanya yang terdengar sangat merasakan kelegaan karena aku baik-baik saja.
Aku mengikuti Vernon berjalan masuk ke kamar Alec untuk melihat kondisinya. Olivia sudah berada di dalam ruangan itu bersama dengan Alec. Melihatnya timbul rasa cemburuku saat ini. Walau aku tahu Alec mencintaiku, tetap saja aku tidak suka saat dirinya bersama dengan Olivia, walaupun mereka nanti juga akan menikah.
"Bagaimana keadaanmu, Alec?" Tanya Vernon.
"Aku baik-baik saja. Kau sudah ingin pulang? Apa lukanya tidak parah?" Alec terlihat heran karena Vernon ingin pulang padahal dia mendapatkan sebuah luka tembak.
"Viv, akan merawatku katanya." Jawab Vernon.
Mendengar perkataannya membuat aku melihat pada Vernon. Aku tidak pernah mengatakan hal itu padanya, kenapa dia berkata seperti itu? Alec pun sekarang jadi menoleh padaku, terlihat dari tatapannya dia merasa heran. Bagaimana tidak, Alec pun tahu kalau diriku tidak becus mengurusi apapun, apalagi merawat luka tembak.
Vernon menarik lenganku saat keluar dari ruangan Alec dirawat. Dia membawaku seperti menyeret diriku karena genggaman tangannya sangat kuat hingga lenganku sedikit merasa kesakitan.
"Viv, kau baik-baik saja?" Tiba-tiba Arthur datang dan menghampiriku bersama Renata.
Vernon melepaskan tanganku yang dipegangnya. "Aku akan menunggumu di lobby." Ucap Vernon setelah itu berjalan pergi bersama beberapa anak buahnya dan dua orang anak buahnya disuruhnya menunggu aku.
"Kau tidak terluka kan?" Tatap Arthur penuh kecemasan hingga memegang wajahku dengan kedua tangannya.
Melihatnya yang sangat cemas pada diriku membuat aku malah menjadi kesal. Bagaimana tidak, saat ini dia mengkhawatirkan aku sedangkan dia sudah menyerahkan aku menikah dengan musuhnya.
"Sudahlah Art, kau berlebihan." Aku menepis tangannya agar menyingkir dari wajahku. "Aku tidak apa-apa. Semua karena tunanganmu."
Renata tersenyum mendengar ucapanku. Dia juga langsung merangkul lengan kiri Arthur dan mengecup bibirnya. Melihatnya aku langsung melangkahkan kakiku karena malas melihat mereka berdua yang sedang berciuman. Mereka memang pasangan serasi, aku tidak heran sekarang.
Tidak berapa lama kami sampai di rumah. Vernon langsung masuk ke kamar dan aku mengikutinya.
"Kenapa kau bilang kalau aku akan merawatmu, Vern?" Tanyaku dengan kesal pada Vernon yang sudah duduk bersandar di atas tempat tidur. "Seharusnya kau tetap di rumah sakit dan tidak merepotkan aku."
"Keluarlah, aku ingin istirahat." Ucap Vernon dingin.
Saat ini wajah Vernon terlihat pucat, itu membuat aku menjadi meredam emosi marahku padanya.
"Kau baik-baik saja?" Tanyaku dengan agak khawatir dan langsung berjalan mendekati Vernon. "Apa kataku sebaiknya kau memang di rawat dirumah sakit tadi."
"Diamlah!! Sebaiknya kau keluar!! Aku tidak butuh mendengarkan ocehanmu." Seru Vernon sambil berbaring.
Dengan cepat aku memegang kening Vernon dan merasakan kalau saat ini dirinya sedang demam. Apa karena luka tembaknya?
"Kau demam. Apa yang terjadi?" Tanyaku cemas dan bingung. "Vern, kau tidak mati kan? Buka matamu?" Aku sedikit khawatir saat melihat Vernon menutup matanya. "Vern kau dengar aku kan?"
"Diamlah, kau berisik sekali." Ucap Vernon masih menutup matanya.
Mendengarnya aku sedikit merasa lega karena sejenak tadi aku berpikir kalau Vernon sudah mati karena tidak bisa menahan rasa sakit di tubuhnya.
Aku segera menghubungi Renata untuk memintanya datang melihat keadaan Vernon yang sakit. Hanya dia yang terpikirkan olehku. Bagaimanapun juga Renata seorang dokter, dan dia satu-satunya dokter yang sangat aku kenal.
"Berikan dia aspirin ini nanti juga akan membaik." Ucap Renata memberikan botol obat padaku, yang di dalamnya terdapat beberapa butir obat. "Biarkan dia istirahat nanti pun akan sembuh."
Mendengarnya aku menjadi bernapas lega. Walau aku membencinya tidak mungkin juga aku ingin Vernon mati. Tapi tidak tahu kenapa aku seperti itu. Jika dipikir lagi, bukankah itu bagus jika Vernon mati? Saat dia mati, itu adalah tanda kebebasanku.
"Viv, apa aku harus memberitahu Art tentang yang aku lihat tadi?" Tanya Renata ketika aku mengantarnya keluar rumah.
Aku tahu apa yang dia maksud. Pasti saat dia memergoki aku dan Alec bercinta di kamarku tadi pagi. Namun mendengar ucapannya sedikit membuatku heran, kenapa dia bertanya seperti itu, seharusnya dia pun tahu jika itu adalah hal yang wajib dia rahasiakan.
"Ren, seharusnya kau pun mengerti, untuk apa kau memberitahu Art? Jangan ikut campur urusanku!!" Seruku dengan menahan marah. "Dan aku ingin tahu, apa yang kau maksud dengan Art yang menganggap Vernon adalah sahabatnya? Kau jangan mengelabuiku ya!!"
Renata hanya tersenyum mendengar perkataanku, itu membuatku menjadi kesal melihat dirinya yang seperti menyembunyikan sesuatu.
"Katakan padaku, Ren!!"
"Viv, apa kau bisa menceritakan padaku apa yang terjadi keesokan harinya setelah perayaan ulang tahunmu ke 14 tahun?" Tanya Renata.
Aku terdiam sesaat. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi satu hari setelah perayaan ulang tahunku yang ke 14 tahun. Tapi kenapa Renata tiba-tiba menanyakan hal tersebut? Padahal saat ini aku yang sedang bertanya padanya mengenai perkataannya tentang Arthur yang menganggap Vernon adalah sahabatnya.
"Memangnya ada apa?" Tanyaku bingung.
"Renata..." Tiba-tiba Vegard datang dan langsung menghentikan aku yang masih berusaha mengingat-ingat kejadian lebih dari sepuluh tahun lalu.
"Veg, apa kabar?" Tanya Renata sambil memeluk Vegard. "Sudah lama kita tidak bertemu."
"Kau masih sangat cantik seperti biasanya, Ren." Ujar Vegard. "Aku dengar kau belum juga menikah, apa yang terjadi? Apa Art masih belum mau menikahimu?"
"Perkataanmu jahat sekali. Kami hanya masih menunggu hari baik untuk menikah." Jawab Renata dengan tersenyum.
Mendengar mereka berdua berbincang dengan akrab, membuat aku memilih meninggalkan mereka untuk kembali ke kamar. Aku kembali mengingat mengenai pertanyaan Renata tadi namun aku tidak bisa mengingat apapun Hingga saat masuk ke dalam kamar, tetap tak ada jawaban yang aku dapat. Aku tidak bisa mengingat apa yang terjadi setelah perayaan hari ulang tahunku ke 14 tahun.
Aku menyerah, mungkin karena rasa lelah setelah melewati satu hari yang berat ini hingga aku sulit berpikir saat ini. Aku membuang napas dan mengalihkan pandanganku ke arah tempat tidur. Aku menatap Vernon yang tampak sedang tertidur pulas.
Renata bilang jika sebaiknya dia meminum aspirin dulu setelah itu baru istirahat agar demamnya hilang segera. Aku mengambil botol obat yang diberikan Renata di meja kecil di samping tempat tidur, lalu duduk di sisi ranjang. Berniat membangunkan Vernon agar dia meminum obatnya.
"Vern, bangunlah dulu." Aku memegang lengan Vernon yang masih tertidur dan menggoyangkannya perlahan namun Vernon tidak juga bergeming. "Kau dengar aku kan, Vern?"
Tiba-tiba Vernon membuka matanya dengan sedikit terkejut sambil memegang tanganku yang memegang lengannya. Tatapannya padaku sangat lekat, aku menjadi tahu kalau baru saja dia terbangun dengan terkejut karena sebuah mimpi. Ketika semua kesadarannya sudah terkumpul Vernon melepaskan tanganku segera.
"Minumlah obat ini dulu setelah itu kau bisa lanjut tidur." Ujarku memberikan satu butir obat ke genggamannya.
Ketika aku hendak beranjak bangun untuk mengambilkannya segelas minuman untuknya minum obat, tiba-tiba Vernon menarikku dan menjatuhkan aku ke pangkuannya.
"Aku tidak butuh minum obat, aku hanya membutuhkanmu" Ujar Vernon dengan tatapan dingin dan setelahnya menciumku.
...–NATZSIMO–...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ🥀⃟ʙʟͤᴀͬᴄᷠᴋͥʀᴏsᴇ
ah baper
2023-01-09
1