Andre memperhatikan wajah adiknya, tangannya menggenggam tangan adiknya erat.
"Darel, maafkan Kakak. Kakak gagal menjagamu," lirih Andre.
"Kakak." Darel menangis. "Kakak jangan bicara seperti itu. Kakak tidak salah. Aku saja yang ceroboh. Aku lari begitu saja tanpa memperhatikan sekitarnya. Coba saat itu aku melihat kiri dan kanan mungkin kecelakaan itu tidak akan terjadi," ucap Darel.
"Tapi tetap saja Kakak yang salah."
"Kakaakk," lirih Darel menggelengkan kepalanya dan air matanya yang masih setia mengalir. "Kakak jangan menyalahkan diri sendiri. Aku tidak suka itu. Aku mohon, Kak. Berhentilah menyalahkan dirimu. Kalian kakak-kakak terbaik yang aku punya. Kalian menyayangiku, menjagaku, merawatku, dan selalu ada untukku. Kalian selalu bergantian mengantarku dan menjemputku ke sekolah. Aku menyayangi kalian, Kak!" tutur Darel.
Mereka terharu mendengar penuturan Darel.
"Kami semua menyayangimu, Rel!" jawab para kakak-kakaknya termasuk kakak-kakak sepupunya.
Sedangkan para orang tua sangat bangga melihat kedekatan, kekompakan, kepedulian anak-anak mereka.
"Coba saja putra-putraku memiliki sifat seperti keponakan-keponakanku mungkin aku juga bisa merasakan kebahagiaan sebagai seorang ayah," batin William.
Arvind yang menyadari bahwa adiknya sedari memperhatikan para anak-anak dalam diam.
"William," panggil Arvind sambil menepuk pelan bahu adiknya itu dan hal itu sukses membuyarkan lamunannya.
"Ada apa, hum? Dari tadi Kakak perhatikan kamu melamun saja dan arah pandanganmu melihat kearah anak-anak?" tanya Arvind.
"Aku hanya merasa iri saja, Kak! Aku iri melihat kalian yang memiliki putra yang begitu baik, sopan, ramah, kompak, perhatian peduli satu sama lainnya. Sedangkan aku, putraku beda jauh dengan putra-putra kalian," jawab William yang meneteskan air matanya.
"Hei, apapun itu. Mereka tetap putra-putramu? Mungkin caramu saja yang kurang memberikan nasehat dan arahan kepada mereka. Kau harus lebih tegas dan keras pada putra-putramu. Bukan keras dalam artian kau melakukan kekerasan fisik. Tapi keras dalam cara kau menasehati dan membimbing mereka," ucap Arvind.
"Papa setuju dengan Kakakmu, William! Mungkin caramu sangat lemah didepan mereka. Jadi mereka sama sekali tidak ada rasa takut denganmu. Maafkan Papa kalau selama ini selalu menyalahkanmu mengenai istri dan putra-putramu. Papa sangat menyayangimu. Papa menyayangi kalian semua," ucap Jeon Antony menambahkan.
"Ya, sudah! Jangan dipikirkan lagi, oke! Bagaimana pun dirimu, sifatmu. Kau adalah adiknya Kakak. Selamanya akan menjadi adiknya Kakak," ucap Arvind, lalu memberikan pelukan kepada adiknya.
"Aku menyayangimu, Kak! Maafkan aku," ucap William.
"Kau tidak salah. Dan Kakak tidak marah padamu. Kakak juga menyayangimu. Mungkin Kakak yang lebih besar sayangnya kekamu dari pada kamu kekakak." Arvind berucap sembari menggoda adiknya.
Lalu tiba-tiba, William memberikan cubitan kecil di pinggang Arvind.
"Aww." Arvind langsung melepaskan pelukannya dari William karena merasakan cubitan dari adiknya itu.
"Sudah berani mencubit Kakak rupanya ya!" protes Arvind.
"Kakak sendiri yang memulai," protes William balik.
Mereka semua tertawa melihat perdebatan kecil Arvind dan William.
"Aish. Papa dan Paman benar-benar lucu. Kalian seperti anak usia lima tahun saja. Perdebatan kalian bisa mengalahkan perdebatanku dengan Kak Raffa!" seru Darel nyaring.
Mereka semua tertawa mendengar ucapan yang keluar dari mulut sibungsu.
"Hahaha."
"Kamu ini ada-ada saja, Rel!" seru Salma, sang bibi.
"Ma, Pa." Darel memanggil kedua orang tuanya. Yang merasa dipanggil mengalihkan perhatian kepada Darel.
"Ada apa, sayang? Darel butuh sesuatu?" tanya Arvind.
"Aku mau pulang," jawab Darel singkat.
"Apaaa? Pulang?" teriak mereka bersamaan.
"Kenapa kalian semua berteriak? Memangnya ada yang salah dengan ucapanku?" tanya Darel dengan wajah polos tak berdosa.
"Sayang. Kamu itu baru sadar masa sudah langsung minta pulang," ucap Adelina lembut.
"Mama. Aku tidak mau lama-lama berada di rumah sakit. Rumah sakit ini sangat menakutkan," jawab Darel dengan mempoutkan bibirnya dan wajah memelasnya.
"Kau pikir ini rumah hantu, hah!" ucap Vano dengan menatap horor adiknya.
"Bahkan bagiku ini lebih dari rumah hantu, Kak Vano!" Darel menjawab pertanyaan dari Kakak esnya itu.
"Aish, kau ini selalu mengartikan dan memberikan julukan untuk tempat-tempat yang tidak kau sukai. Seperti sekarang ini. Kau mengatakan rumah sakit ini menakutkan," sela Axel.
"Itu memang kenyataannya, Kak Axel! Rumah sakit ini memang menakutkan. Apalagi sarangnya hantu. Kan banyak orang yang mati di rumah sakit. Ada yang mati tertabrak, ada yang mati bunuh diri. Ada yang mati habis melahirkan. Dan ada yang dibunuh. Dan mayat-mayat itu ujung-ujungnya di bawa ke rumah sakit setelah itu baru di bawa pulang oleh keluarganya," jawab Darel.
Mereka yang mendengar ucapan Darel hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum.
"Kamu ini ada-ada saja," kata Melvin Jecolyn sambil mengelus pelan kepala adik sepupunya.
"Dasar adik teraneh," ejek Raffa.
"Kau bahkan lebih aneh dari padaku, Kak! Bahkan otakmu kebanyakan isinya diluar nalar manusia pada umumnya," jawab Darel frontal.
Raffa melotot. Mulutnya menganga mendengar perkataan dari adiknya itu.
"Kau tidak tahu apa-apa tentangku kelinci laknat. Jadi jangan sok mengetahui apa yang ada di otakku ini," protes Raffa tak terima yang menatap horor adiknya.
"Aish. Kau lupa aku ini siapa bagimu dan kau siapa bagiku? Aku ini adikmu. Dan kau adalah kakakku. Jadi, aku tahu semua tentangmu. Termasuk isi otakmu itu," jawab Darel yang berhasil membuat Kakak aliennya itu bertambah kesal, terlihat dari wajahnya.
Melihat perdebatan kedua putra bungsunya. Arvind pun bersuara.
"Sudah, sudah! Kenapa jadi ribut seperti ini sih??"
"Kak Raffa yang mulai duluan Pa. Kan Kak Raffa yang mengataiku kalau aku ini aneh. Aku tidak terima." Darel pura-pura kesal dengan memanyunkan bibirnya.
Arvind hanya bisa pasrah melihat kedua putra bungsunya kalau sudah adu mulut begini.
"Bukan Kakak mengataimu. Tapi itu memang kenyataannya. Kau itu adik teraneh," ucap Darel yang masih terus membuat adiknya kesal.
Darel menatap tajam pada kakaknya itu dengan mulut yang digerak-gerakkan kekiri kekanan sambil mengucap kata sumpah serapah yang dituju untuk kakaknya.
"Dasar alien otak udang, otak dungu. Giliran aku sakit nangis-nangis. Giliran aku sehat dibully. Apa itu namanya? Kalau Kakak itu sama denganku? Sama-sama aneh," tutur Darel sambil membuang wajahnya dari Raffa.
Matanya sudah berkaca-kaca. "Kakak jahat. Aku tidak mau bicara dengan Kakak selama sebulan," Darel merajuk.
Raffa yang mendengar ucapan dari adiknya seketika terkejut dan juga merasa bersalah.
"Ooh tidak!! Ini tidak boleh terjadi. Duniaku bisa hancur kalau siluman kelinci ini mendiamiku selama sebulan," batin Darel.
Raffa mendekati ranjang Darel dan menggenggam tangan adiknya itu.
"Hei. Darel marah ya. Kakak kan cuma bercanda."
Darel menarik paksa tangannya yang digenggam oleh Raffa tanpa melihat kearahnya.
"Aku tidak mau bicara dengan Kakak."
"Aku ngantuk mau tidur. Jangan ada yang gangguin aku," ucap Darel dan langsung memejamkan matanya.
"Mati kau, Raffa. Siapkan saja mentalmu. Hari-harimu tanpa siluman kelinci itu? Siluman kelinci itu merajuk padamu," ejek Evan.
"Diam kau bantet," ucap Raffa kejam.
"Yak, Kau...!" ucapannya terhenti saat melihat tatapan horor dari Raffa.
"Bagaimana ya nasib seorang Raffa Wilson yang didiami oleh kelinci kesayangannya? Apalagi selama sebulan? Kakak tidak bisa bayangkan keadaan rumah pasti sangat sangat hening dan sepi tanpa teriakan sikelinci itu," goda Nevan.
"Ya, kau benar Kak Nevan. Rumah akan sepi kayak kuburan kalau tidak mendengar teriakan sikelinci itu," ujar Rendra menambahkan.
"Kau harus bertanggung jawab, Raffa." Satya ikut menjahili Raffa, adik sepupunya.
Semua mengangguk menyetujui ucapan Satya.
"Teriakan sikelinci itu sudah sarapan kita setiap hari. Kalau selama satu bulan kita tidak mendengar teriakan sikelinci itu, kita semua bisa mati," celetuk Daffa yang juga ikut menjahili adik bungsu keduanya.
"Betul.. Betul.. Betul!" seru Alvaro.
"Kalian benar-benar menyebalkan, Kak, Rendra! Bisa-bisanya kalian membullyku saat seperti ini. Bukannya membantu malah membuat makin stress," saut Raffa sambil mengusap wajah frustasinya.
"Itu salahmu sendiri. Jadi kau harus bertanggung jawab," ucap Davian yang juga ikut-ikutan menjahili adiknya.
"Kak Davian!!" teriak Raffa.
"Jangan teriak-teriak alien muka kadal. Kalau mau teriak-teriak, di hutan sana jangan disini. Kakak mengganggu tidurku," protes Darel.
Raffa reflek mengatup bibir saat mendengar protes adiknya.
Dan hal itu sukses membuat anggota keluarganya yang lain tidak bisa menahan tawa mereka. Dan akhirnya tawa mereka semua pecah saat melihat wajah Raffa yang begitu lucu.
"Hahahahaha."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 323 Episodes
Comments
Tim Hore
MC nya ini kaya nya lemah bgt
2024-05-23
0
Merlinda Ani Inda
terimakasih kak, ceritanya bagus
suka sekali melihat kekompakan mereka.
2024-05-11
0