Mereka sudah berada di dalam kamar Darel. Dan Darel sudah dibaringkan di tempat tidur. Dapat dilihat wajahnya yang pucat.
"Ma!!" Raffa menangis dalam pelukan ibunya.
"Tenanglah sayang. Adikmu akan baik-baik saja," hibur Adelina.
CKLEK!
Pintu kamar di buka. Dan terlihat seorang dokter paruh baya yang masih terlihat sangat tampan memasuki kamar, lalu dokter itu mendekati tempat tidur Darel.
"Apa yang terjadi? Kenapa Darel bisa pingsan?" tanya Fayyadh itu saat memeriksa Darel.
"Darel mengeluh sakit kepala, Paman. Saat kami ingin membawanya ke kamar, Darel tiba-tiba jatuh pingsan," jawab Daffa.
"Apa yang terjadi pada putraku, Fayyadh?" tanya Arvind.
"Darel mengalami trauma pada otaknya. Jadi, tolong jangan membebankan masalah padanya. Sebisa mungkin jauhkan masalah dari dirinya. Jangan buat dia tertekan ataupun stress," jawab Fayyadh.
"Apa hal itu akan membahayakan nyawa putraku?" tanya Arvind khawatir.
"Tidak sampai separah itu, Arvind! Kau tidak perlu khawatir. Hanya saja jauhkan putra bungsumu dari masalah berat yang bisa membuat dirinya stress. Orang yang mengalami geger otak ringan mengalami beberapa gangguan seperti migran, gangguan mental dan perubahan emosi. Ini resep obat dan vitamin untuk Darel. Usahakan Darel menghabiskannya. Kalau begitu aku permisi dulu," ucap Fayyadh.
"Mari aku antar Paman!" seru Vano.
"Melihat anak sial itu sakit. Semoga tua bangka itu merubah keputusannya untuk mewarisi semua kekayaannya kepadanya," batin Agatha.
Antony menyadari gerak gerik menantunya itu. "Apapun yang terjadi. Aku akan tetap pada keputusanku. Jangan harap aku akan membatalkan niatku," batin Antony Wilson.
Darel masih terlelap di kamarnya dan ditemani oleh kakak-kakak kesayangannya. Mereka dengan setia menemani adik bungsunya.
Davian Wilson selaku Kakak tertuanya amat sangat menyayangi adik-adiknya, terutama Darel. Davian mengelus lembut rambut coklat Darel dan mengecup keningnya dengan penuh sayang.
"Kakak berharap kamu selalu baik-baik saja, Rel!" Davian membatin.
CKLEK!
Pintu kamar Darel di buka. Dan terlihat Arvind dan Adelina memasuki kamar tersebut.
"Ma, Pa!" sapa Davian dan adik-adiknya.
"Bagaimana keadaan adik kalian?" tanya Arvind.
"Darel tidurnya sangat nyenyak sekali, Pa." Nevan menjawabnya.
"Coba lihat wajahnya. Darel berubah menjadi sosok anak kecil yang berusia 4 tahun jika sedang tidur. Wajahnya begitu imut dan menggemaskan. Dan tidak terusik sama sekali," pungkas Daffa.
Arvind dan Adelina tersenyum memandangi wajah damai putra bungsu mereka yang tengah tertidur. Dan tidak lupa mereka memberikan kecupan sayang di kening putra mereka.
Arvind menatap istrinya dengan tatapan lembut. "Terima kasih sayang. Kau sudah menjadi istri yang baik untukku dan ibu yang baik untuk anak-anak kita. Dan terima kasih kau telah memberikan putra-putra yang sangat tampan untukku." Arvind berbicara sembari memberikan ciuman di kening istrinya.
"Iih! Papa. Masih ada kami disini. Jangan buat kami iri melihat kalian berdua," goda Raffa.
"Papa sama Mama kalau udah mesra-mesraan sampai lupa dengan kami anak-anaknya." Vano juga ikut menggoda orang tuanya.
"Kalian mengganggu saja," sela Adelina tersenyum malu.
"Yaah! Siapa yang mengganggu, Ma? Inikan kamarnya Darel. Mama dan Papa berada di kamarnya Darel," sahut Ghali yang ikut bergabung menggoda orang tuanya.
Adelina pun tersipu malu atas kelakuan putra-putra mereka.
"Sudah, sudah. Kalian ini selalu saja menggoda Mama kalian. Lihat saja tu wajah Mama kalian seperti kepiting rebus." Arvind juga ikut menggoda istrinya.
Mereka semua pun tertawa.
"Hahahaha."
Saat mereka sedang tertawa. Mereka dikejutkan dengan suara igauan dari Darel.
"Aku tidak mau kek. Aku tidak mau."
Arvind mengusap lembut rambut Darel, putra bungsunya. "Darel, sayang. Darel dengar Papa, sayang? Buka matanya, Nak! Lihat Papa."
Berlahan Darel pun membuka kedua mata bulatnya itu. Dan dapat Darel lihat kedua orang tuanya dan para kakak-kakaknya berada di dalam kamarnya.
"Hei, sayang. Apa ada yang sakit, hum?" tanya Adelina.
"Sedikit pusing, Ma!" Darel menjawabnya.
"Pa," panggil Darel.
"Ada apa, sayang?" tanya Arvind.
"Katakan pada Kakek. Aku tidak mau menerimanya. Aku tidak mau, Pa! Pilih yang lain saja," lirih Darel.
Arvind dan Adelina saling pandang. Mereka juga bingung. Perkataan Antony, ayah mereka terngiang-ngiang di pikiran mereka.
"Bujuk Darel untuk menerima keputusan Papa. Atau Papa akan menghibahkan seluruh kekayaan Papa untuk orang lain yang lebih membutuhkan!"
"Darel, sebenarnya Papa dan Mama juga tidak setuju hal ini. Tapi kakekmu sangat keras dan tidak ada yang bisa membantahnya. Dan kakekmu sudah membuat keputusan besar pada keluarga ini. Kami semua tidak bisa berbuat apa-apa selain membujukmu sayang," tutur Arvind lembut.
"Memangnya Kakek sudah membuat keputusan apa sampai kalian tidak bisa membatalkan niat Kakek untuk mewarisi semua kekayaannya padaku?" tanya Darel.
"Kakekmu akan menghibahkan seluruh kekayaannya pada yayasan yang sudah ditentukan olehnya. Termasuk rumah ini. Jadi kita akan kehilangan rumah ini," jawab Adelina.
"Apa?!" teriak Darel
Mereka semua kaget saat Darel berteriak.
"Darel, jangan berteriak seperti itu." Andre yang sedikit kesal atas ulah adik bungsunya itu.
"Maaf Kak," sahut Darel menyesal, lalu kembali menatap wajah orang tuanya.
"Apa kalian serius? Kalian tidak membohongiku kan?" tanya Darel lagi.
"Kami tidak berbohong sayang. Karena itulah kenyataannya," jawab Adelina lembut.
Darel terdiam dan menatap kedepan. Pikirannya melayang jauh.
"Kakek mempercayaimu, Darel. Kau bisa melakukannya. Lakukanlah demi keluarga ini!!"
Itulah sepenggal kata-kata kakeknya, Antony saat dirinya berbicara berdua dengan kakeknya di kamar.
"Darel," panggil Arvind saat melihat putra bungsunya diam dan tidak bergeming.
"Apa ini yang dimaksud Kakek?? Kakek menyerahkan semua kekayaannya padaku agar kekayaannya tidak jatuh ketangan Bibi Agatha dan ketujuh putranya." Darel membatin.
Mereka semakin khawatir melihat Darel yang tidak merespon panggilan mereka.
"Darel, heii! Darel dengar Mama, sayang." Adelina benar-benar khawatir akan keterdiaman putra bungsunya. sedangkan yang dipanggil masih tidak bergeming.
"Darel," panggil Arvind dengan menyentuh wajah tampan putra bungsunya. Dan itu berhasil menyadarkan lamunan Darel.
"Papa," ucap Darel
"Hah." mereka semua bernafas lega.
"Ada apa, sayang? Apa yang Darel pikirkan?" tanya Adelina.
Darel hanya menggelengkan kepalanya. Dan detik kemudian Darel pun berucap, "Aku mau bertemu Kakek. Aku mau bicara dengannya."
"Ya, sudah! Kakak akan memanggil Kakek untuk datang kemari!" seru Alvaro.
"Tidak usah, Kak Alvaro. Biar aku saja yang menemui Kakek," saut Darel.
"Apa?!" teriak mereka semua.
Reflek Darel menutup kedua telinganya mendengar teriakan dari keluarganya.
"Aaiisshh! Kenapa kalian malah berteriak, sih? Kalau pendengaranku rusak bagaimana?" protes Darel dengan bibir yang di manyun-manyunkan.
Melihat hal itu sukses membuat kedua orang tua dan kakak-kakaknya tersenyum ketika melihat wajah kesal sang bungsu keluarga.
"Jadi, Darel yakin mau menemui Kakek, hum?" tanya Arvind.
Darel menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Arvind dan Adelina pun pasrah dan mengabulkan keinginan putra bungsunya untuk keluar kamar menemui sang Kakek.
"Ya, sudah! Kalau begitu Darel akan dibantu oleh kakak-kakaknya Darel. Papa dan Mama akan keluar memberitahu Kakek."
Lagi-lagi Darel hanya menganggukkan kepalanya yang membuat seisi kamar tersenyum melihatnya. Arvind mengecup kening putranya, lalu pergi meninggalkan kamar putranya disusul oleh istrinya.
"Kakak, bantu aku untuk duduk. Kepalaku masih sedikit pusing," rengek Darel.
"Hei, Rel. Kau memiliki dua belas Kakak disini. Kakak yang mana dulu?" tanya Axel menggoda adiknya.
Darel menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil memperlihatkan senyuman manisnya. Darel memandangi satu persatu wajah tampan kakak-kakaknya.
"Terserah kalian saja siapa yang mau membantuku? Aku bingung," jawab Darel polos.
Mereka semua tersenyum melihat kelakuan adik mereka. "Kakak yang akan membantu kamu," sahut Davian selaku Kakak tertuanya.
Davian membantu Darel untuk duduk. Saat Darel mengangkat kepalanya, rasa sakit itu datang kembali. Tapi tidak terlalu sakit.
"Aakkhh," rintih Darel
"Darel!" teriak mereka khawatir.
"Tidak apa-apa, Kak! Hanya sakit sedikit. Sakitnya tidak seperti tadi," ucap Darel.
"Apa kamu yakin?" tanya Evan.
"Sangat yakin Kak Evan."
"Dan apa kamu masih yakin ingin keluar kamar menemui Kakek?" tanya Arga.
"Sangat yakin, Kak Arga!" jawab Darel.
"Tapi Kakak khawatir padamu, Rel! Kamu di kamar saja ya. Biar Kakek saja yang menemui kamu," tutur Elvan.
"Tidak, Kak. Aku akan tetap keluar," jawab Darel kekeh.
"Tapi, Rel...," ujar Vano.
"Kakak!!" rengek Darel.
"Kalau sakit kepala tambah parah, bagaimana?" tanya Andre.
"Aku kan sudah katakan. Hanya pusing sedikit, Kak!" sela Darel.
"Di kamar saja ya. Nanti Kakak akan belikan apapun yang kamu minta," bujuk Nevan.
"Tidak mau. Aku tetap akan menemui Kakek diluar." Darel tetap pada pendiriannya.
"Kakak mohon. Kamu di kamar saja ya," pinta Raffa.
"Tidak! Kalau kalian tidak mau membantuku untuk keluar menemui Kakek. Ya, sudah! Aku bisa jalan sendiri!" seru Darel.
"Hah! baiklah!" jawab para kakak-kakaknya kompak.
Terukir senyuman manis di bibirnya. "Terima kasih, Kak. Aku menyayangi kalian."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 412 Episodes
Comments
Aman 2016
betapa senangnya punya kakak 12 yang menyayangi adik bungsunya apalagi keluarganya kaya
2024-06-22
0
Ryo gunawan
dabel up lah thor
2022-11-17
2
Sandra Yandra
Terima kasih
2022-11-17
1