Bukan Wanita Simpanan
"Apa Bapak yakin Ainaya mau menikah dengan Haris?" Bibi duduk di samping paman yang sibuk membaca dokumen di tangannya.
"Mau gak mau pokoknya pernikahan ini harus tetap dilangsungkan karena aku sudah janji pada dia," jawab paman menegaskan.
Wanita paruh baya itu memilih mengikuti rencana suaminya daripada harus kehilangan pekerjaan. Terlebih, Haris Mahendra adalah orang yang pernah berjasa besar di keluarganya.
Ainaya yang dari tadi menguping dibalik pintu utama itu meneteskan air mata mendengar percakapan antara paman dan bibi. Dadanya terasa sesak hingga harus mensuplai oksigen untuk bernapas.
Selama ini ia memenuhi semua permintaan mereka, namun kali ini tak bisa.
"Aku gak boleh diam saja."
Ainaya mengusap air matanya. Mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk membela diri. Bagaimanapun juga ia harus angkat bicara demi masa depannya.
"Maaf, Paman. Tapi aku gak mau dijodohkan," ucap Ainaya dari ambang pintu.
Paman dan bibi beranjak dari duduknya. Wajah mereka mendadak pias mendengar ucapan Ainaya yang berbanding balik dengan keinginannya.
Paman mendekati Ainaya, sedangkan bibi tetap berdiri di tempatnya. Meskipun begitu, ia mendukung penuh apa yang dilakukan suaminya.
Gadis cantik bermata coklat dan memiliki rambut hitam pekat sebahu serta hidung mancung itu menundukkan kepala. Takut melihat tatapan tajam sang paman.
"Sejak kapan kamu berani melawan permintaanku, hah?" bentak paman dengan suara lantang.
Ainaya meremas ujung baju. Seluruh tubuhnya gemetar melihat amukan sang paman. Sedikitpun tak berani untuk membantah, apalagi melawan.
Bibi yang berdiri tak jauh dari mereka pun tak membelanya. Justru wanita itu terus mendorong suaminya.
"Sekarang masuk! Dandan yang cantik, sebentar lagi Haris ke sini."
Paman meninggalkan Ainaya yang masih sesenggukan.
Pintu kamar tertutup rapat. Kini hanya ada Ainaya dan bibi di ruangan sempit itu. Gadis yang masih memakai seragam kantor itu berlari kecil menghampiri bibi.
"Aku mohon, Bi. Batalkan perjodohan ini," Ainaya menangkup kedua tangannya di dada. Berharap penuh bibi mau menolongnya.
Bibi tersenyum sinis. "Aku tidak akan membatalkan perjodohan ini. Haris itu orang terpandang, dan bibi yakin hidupmu akan bahagia setelah menikah dengan dia. Lagi pula apa yang kamu harapkan dari Nian. Dia itu hanya karyawan biasa. Sedangkan Haris, dia ahli waris keluarga Mahendra," terang bibi panjang lebar.
Kemudian, meninggalkan Ainaya yang nampak kalut.
Sebuah kenyataan yang tak pernah terselip di hati Ainaya. Gadis yang berumur dua puluh dua tahun itu tak bisa berbuat apa-apa selain mematuhi permintaan mereka.
Kakinya mengayun menuju kamar. Tidak ada semangat sedikitpun, ia merasa masa depannya suram tanpa arah.
Menikah dengan orang yang tak dikenal pasti akan menjadikan hidupnya hampa, namun ia tak bisa mengelak dari perjodohan ini.
"Aku harus mencari cara."
Ainaya mengunci pintu kamarnya. Merogoh ponsel yang ada di tas lalu duduk di tepi ranjang.
Jari-jarinya mulai aktif mengetik sesuatu. Meminta tolong pada teman-temannya untuk memberikan solusi.
"Maaf, Nay. Aku gak bisa bantu, tapi kalau kamu memang tidak mau dijodohkan lebih baik secepatnya menikah dengan Nian."
Berbagai jawaban mengalir, bahkan kebanyakan dari mereka menyarankan untuk segera menikah dengan sang pacar. Namun, Ainaya tak bisa melakukan itu tanpa restu dari bibi dan paman selaku pengganti orang tuanya.
Ainaya menyerah, seolah keadaan semakin menghimpitnya dan menganggap itu jalan satu-satunya demi bukti untuk membalas jasa.
Tak berselang lama, suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Ainaya. Ia segera mengusap pipinya yang di penuhi air mata lalu membukanya.
Ternyata bibi yang datang. Wanita itu terlihat rapi dan memakai baju baru.
"Haris sudah datang. Sekarang kamu ganti baju, jangan terlihat menyedihkan seperti ini." Bibi mendorong Ainaya masuk lalu menutup pintu.
"Jangan mempermalukan bibi dan paman. Ingat Nay! Haris itu pernah membantu ayah kamu saat operasi, jadi jangan menyakiti dia. Apa susahnya menurut," kata bibi sambil membuka pintu lemari.
Memilih-milih baju yang bagus lalu menghampiri Ainaya yang mematung di samping ranjang.
"Sekarang cepat ganti baju, bibi gak mau karena keteledoranmu Haris marah."
Bibi meninggalkan Ainaya setelah memberikan baju pilihannya.
Ainaya menatap wajahnya yang sangat menyedihkan dari pantulan cermin.
"Seandainya ayah dan ibu masih hidup, pasti hidupku tidak akan menderita seperti ini."
Haris melihat jam yang melingkar di tangannya. Sudah hampir tiga puluh menit menunggu, namun belum ada tanda-tanda Ainaya keluar.
"Kalau Ainaya tidak mau menikah denganku, terpaksa aku akan memecat paman dari perusahaan," ancam Haris serius.
Paman beranjak berjalan menuju kamar Ainaya. Tanpa mengetuk pria itu membukanya lalu masuk. Menghampiri Ainaya yang duduk menatap ke arah luar jendela.
"Cepat keluar! Atau malam ini aku akan menjualmu di klub malam." Paman menarik tangan Ainaya dengan paksa.
Tidak ada pilihan lain. Ainaya mengikuti perintah paman daripada harus melepas keperawanannya pada pria hidung belang.
Ainaya duduk di tengah-tengah paman dan bibi, tepatnya di depan Haris dan satu orang pria lainnya.
"Sapa Haris!" Bibi berbisik sambil menyenggol siku Ainaya yang nampak membuang muka.
Sementara paman menatap tajam membuat Ainaya takut.
"Selamat sore," sapa Ainaya berat. Mengulurkan tangannya ke arah Haris tanpa menatap.
Pria berjas hitam itu menerima uluran tangan Ainaya dan menjawab sapaannya. Melepaskannya dengan cepat seolah jijik dengan tangan wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.
"Kamu pasti sudah tahu apa tujuanku datang ke sini?" Haris menyodorkan sebuah map berwarna hijau di depan Ainaya.
Ainaya hanya melirik map itu dan kembali menatap ke arah lain.
"Sekarang cepat tandatangani karena aku gak punya banyak waktu."
"Apa itu?" tanya Ainaya ketus.
"Surat perjanjian," jawab Haris santai.
Ainaya menatap semua orang bergantian. Kemudian berhenti pada pamannya.
"Jangan banyak berpikir, kamu tanda tangan saja!" titah paman menyungutkan kepalanya ke arah pulpen yang tersedia.
Ainaya membukanya dan membaca larik demi larik kalimat yang tersusun rapi.
Sesekali kepalanya menggeleng saat mendapati kalimat yang tak masuk akal.
"Aku gak mau." Ainaya menutup map itu dan meletakkannya.
Rahang Haris mengeras dengan kedua tangan mengepal.
"Kamu harus mau, Nay. Ini demi kebaikan kita semua," bujuk paman.
Ainaya tetap menggeleng. "Apa Paman gak memikirkan masa depanku? Jelas-jelas dalam surat itu tertulis, bahwa aku akan menjadi istri kedua. Itu artinya aku bukan satu-satunya."
Haris terdiam, matanya tak teralihkan dari paman, meng kode pria itu untuk segera bertindak.
"Kalau kamu gak mau menikah dengan Haris, itu artinya kita akan bersiap tidur di kolong jembatan."
Ainaya tak bisa berkutik lagi. Tidak mungkin ia membiarkan itu terjadi pada paman dan bibi yang sudah membesarkannya. Ainaya mengangguk tanda setuju.
Harus tersenyum menyeringai.
Ainaya setuju menikah denganku, itu artinya sebentar lagi aku dan Jihan akan memiliki anak dari dia.
Ya, Haris menikahi Ainaya hanya ingin memiliki anak. Setelah itu peenikahan mereka akan berakhir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
yukmier
huuuu ceritanya kok penindasan pd kaum hawa yaa...
2024-05-26
0
Anonymous
keren
2024-01-26
0
Riwid
nyimak dulu
2023-01-24
0