Sudah hampir satu minggu Ainaya dilanda demam. Sekalipun Haris tak menjenguknya. Pria itu hanya dua kali mengirim makanan dan vitamin membuat Ainaya kesal.
Seperti saat ini, Ainaya hanya bisa berdiam diri. Menanti kedatangan bubur yang dibeli secara online. Jangankan untuk memasak, untuk berjalan saja ia tak mampu karena tubuhnya terlalu lemah.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Ainaya. Ia berjalan sempoyongan membuka pintu. Ternyata penjual bubur yang datang.
"Makasih ya, Bu," ucap Ainaya dengan bibir bergetar.
"Sama-sama," jawab wanita itu kemudian berlalu.
Ainaya menutup pintu. Kembali ke ruang makan. Membuka bubur ayam. Semenjak mendengar ucapan Ida, ia tidak bisa tenang. Menerkagnerka sebenarnya apa yang terjadi.
Ingin sekali bertanya pada Haris, namun pria itu tak pernah datang ke rumahnya.
"Kalau seperti ini terus kasihan anakku." Mengusap perutnya.
Buliran bening menetes dari sudut matanya. Bayangan kedua orang tuanya melintas seolah memberikan kekuatan untuk bisa berdiri tegak. Menantang masalah yang kian menampar.
"Aku harus menelpon mas Haris."
Kali ini Ainaya nekad menghubungi Haris. Apapun tanggapan pria itu, ia akan tetap tinggal di rumah paman dan bibinya.
"Halo, ada apa? Bukankah aku sudah bilang jangan sering menelponku. Aku gak mau istriku tahu," ucap Haris dengan nada ketus.
Ainaya tak peduli, bodo amat dengan aib orang lain. Yang saat ini ia butuhkan adalah kenyamanan untuk melangsungkan hidup.
"Maaf, Mas. Aku cuma mau bilang kalau aku akan pulang ke rumah paman dan bibi."
"Siapa, Sayang?" Suara seorang wanita di balik telepon. Sudah dipastikan itu adalah sura istri pertama Haris.
"Bukan siapa-siapa. Tolong bikinin aku kopi," jawab Haris mesra.
Jihan meninggalkan Haris yang masih menempelkan benda pipih di telinga. Menjalankan perintah pria itu.
"Jangan ke mana mana, aku akan datang." Haris menutup sambungannya. Menghampiri Jihan yang hampir merebus air.
"Gak jadi, Sayang. Aku keluar sebentar ada urusan penting." Merapikan penampilannya yang sedikit kusut, mencium Jihan tanda pamit.
Ainaya menghela napas panjang. Mencoba menelan buburnya, meskipun sulit. Demi anaknya ia rela makan memakan makanan yang hambar.
Lima belas menit Haris tiba di rumahnya. Pria itu masuk tanpa mengetuk pintu. Mendekati Ainaya yang nampak cuek.
Bukan sapaan lembut layaknya seorang suami pada istrinya, justru Haris menunjukkan amarah dengan menggebrak meja.
"Berani kamu pergi dari sini, hah?" Haris mencengkram dagu Ainaya kuat-kuat. Matanya menyala penuh kebencian.
Ainaya membisu menahan rasa sakit akibat tangan kokoh Haris. Air matanya terus mengalir membanjiri pipinya. Bukan lemah dan tak bisa melawan, hanya saja tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak.
"Aku sakit. Aku tidak bisa hidup sendiri seperti ini." Kedua tangan Ainaya gemetar saat menyentuh lengan sang suami.
Haris melepas dagu Ainaya dengan kasar. Memalingkan tubuhnya. Memunggungi Ainaya.
"Tidak bisa, kamu hanya boleh pergi setelah anak yang kamu kandung itu lahir," ucap Haris menekankan, namun ujarnya sedikit lembut dan tidak menakutkan.
Ainaya mencoba mengerti keinginan Haris, namun kali ini tidak bisa jika harus melakukan apapun seorang diri.
"Kalau begitu temani aku sehari saja," pinta Ainaya memancing.
Bukan ingin berada di dekat Haris, namun mencoba menguji kepedulian pria itu terhadap anak kandungnya sendiri.
"Baiklah, tapi aku hanya bisa dua jam di sini."
Ainaya menundukkan kepala. Sedikit ragu untuk mengucap apa yang dari tadi menjanggal.
"Kamu bilang istrimu tidak bisa hamil, tapi kenapa orang tuamu bilang kalau dia hamil?" Ainaya mengucap dengan lugas.
Haris terbelalak. Dadanya meletup-letup dengan ucapan Ainaya yang menurutnya sangat lancang.
Apa dia sengaja bertemu dengan mama sd an papa. Jangan-jangan dia berani membongkar semuanya.
Haris kembali murka. Menatap Ainaya lagi dengan tatapan tajam.
"Itu bukan urusanmu. Sekarang lebih baik kau diam. Atau aku akan menghancurkan keluargamu," ancam Haris serius.
Haris meninggalkan ruang makan. Ia duduk di ruang tamu. Sesekali menoleh ke arah Ainaya yang kesulitan menelan makanan.
Kapan dia bertemu dengan papa dan papa? Apa ini hanya akal-akalan saja supaya dia bisa bersamaku?
Haris memejamkan matanya. Meskipun jiwa raganya ada di rumah Ainaya, hatinya tetap berada di rumah bersama dengan Jihan.
Senyum mengembang di sudut bibir Ainaya saat mendengar dengkuran Haris. Ini bukan pertama kali ia melihat sang suami tertidur pulas, namun ada sesuatu yang berbeda dengan pria itu.
Ainaya yang tadinya sangat lemah kini bisa melakukan aktivitasnya, bahkan ia pergi ke dapur dan memasak untuk Haris.
"Kira-kira makanan kesukaan mas Haris apa ya?" tanya Ainaya pada diri sendiri.
Ainaya membuat makanan sederhana. Tak berharap Haris suka setidaknya ia bisa melayani layaknya istri yang lain.
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Namun, belum ada tanda-tanda Haris bangun. Ainaya yang ada di kamar hanya bisa mondar-mandir tak berani membangunkan.
"Tapi kalau gak dibangunin pasti dia marah." Ainaya keluar dari kamarnya. Berjalan pelan menghampiri Haris. Hal yang pertama ia lakukan adalah mengusap lengan pria itu.
"Bangun! Sudah sore. Katanya kamu mau pulang," ucap Ainaya berbisik.
Tidak ada jawaban, napas Haris terdengar teratur. Artinya pria itu masih tenggelam dalam mimpinya.
"Apa aku biarkan saja dia, tapi bagaimana kalau nanti marah?"
Ainaya kembali membangunkan Haris dengan lembut, ia tak ingin membuat pria itu menyalahkannya.
"Sudah sore, Tuan. Bangun! Katanya kamu mau pulang," ucap Ainaya dengan suara yang lebih tinggi.
Haris menggeliat membuka matanya perlahan. Mengumpulkan nyawanya yang masih tercecer kemudian menatap Ainaya yang berdiri di sisi sofa.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Haris memijat pangkal hidungnya. Mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum tidur.
"Aku sudah siapkan makanan untukmu," ucap Ainaya tanpa rasa ragu.
Diterima ataupun tidak ia juga ingin menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri.
"Tidak perlu, aku bisa makan di rumah." Tanpa pamit, Haris keluar dari rumah Ainaya.
Kecewa itu pasti, namun Ainaya tak pernah menyesal melupakan sikap Haris yang masih dingin dan angkuh.
Sesampainya di rumah, Haris langsung berjalan menuju meja makan. Tangannya mengulur membuka tudung saji yang ada di meja.
Namun, semua tak sesuai ekspektasi, tidak ada satu pun makanan yang tersaji di sana hingga membuat Haris kesal.
"Jihan…" teriak Haris menatap pintu kamar yang tertutup rapat.
Tak berselang lama Jihan keluar dari kamarnya menghampiri Haris.
"Ada apa sih, Mas?" pekik Jihan sambil membenarkan bulu alisnya yang hampir lepas.
"Kamu gak masak?" tanya Haris lirih. Memegang perutnya yang terasa lapar.
"Gak, memangnya kenapa? Aku kira kamu makan di luar," ucap Jihan santai. Sedikitpun tak merasa bersalah sudah membuat Haris marah.
Haris memilih pergi ke kamar. Memendam emosi yang hampir memenuhi ubun-ubunnya.
"Kalau tahu begini mendingan aku makan di rumah Ainaya. Tanpa sadar, ia teringat dengan istri keduanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Aulia_ Zahra8944
huuuu dasar lelaki 😡🤭🤭🤭🤭
2022-11-17
1
Fety Nurfathia
Mau pergi, pergi aja Ainaya. Ga usah bilang sama suami laknat macam Haris. Bikin Ainaya pergi tanpa jejak bawa bayinya, thor. Lelaki sih mau ambil anaknya aja, orang hamil butuh support dan kasih sayang. Si Haris cuma anggap Aina mesin penghasil anak aja
2022-11-13
1