Jihan masuk berhamburan memeluk Haris yang masih terbaring lemah di atas brankar. Wanita itu menangis sesenggukan di dada bidang sang suami.
"Aku takut kamu kenapa-napa, Mas," ucap Jihan terputus-putus menatap beberapa luka yang ada di bagian pipi Haris.
"Aku gak papa. Aku yang takut kamu kenapa-napa. Syukurlah kamu baik-baik saja." Mengingat kecelakaan tadi sempat membuat mereka pingsan, namun Jihan baik-baik saja, sedangkan Haris yang mengalami luka dibagian kepala dan kaki.
"Aku sudah menyuruh Andik ke sini. Katanya dia juga bilang ke mama dan papa."
Haris terdiam namun tiba-tiba teringat dengan Ainaya.
Bagaimana kalau Andik bilang apa Ainaya?
Haris mengambil benda pipihnya yang sedikit retak dan mencoba menyalakannya.
"Sayang tolong ambilkan minum, aku haus."
Jihan menghadap ke arah meja. Ternyata tidak ada minuman di sana, terpaksa ia keluar dari kamar itu.
Haris bergegas menghubungi Andik dan mengatakan pada pria itu untuk tidak memberitahu Ainaya.
"Ada apa, Pak?" tanya Ainaya pada Andik yang nampak bimbang.
"Itu, Nona," jawab Andik ambigu, bahkan ia tak mampu melanjutkan ucapannya lagi. Apalagi Aniaya sudah antusias dan siap berangkat.
"Apa?" tanya Ainaya menekankan.
Andik menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mencoba mencari kata-kata yang pas untuk mengucapkan apa yang tadi di ucapkan Haris lewat ponsel.
Saat ini Andik dan Ainaya sudah berada di bandara, namun karena suatu hal mereka tak jadi berangkat.
"Saya akan berangkat sendiri, Nona. Tuan Haris melarang Anda untuk datang."
Tas yang ada di tangan Ainaya terjatuh seketika mendengar itu. Seolah Haris sangat jijik padanya hingga tak mengizinkan untuk dijenguk.
"Anda tidak apa-apa?" Andik mengambil tas yang beberapa saat teronggok di lantai. Ia sendiri merasa tak enak dengan ucapanya.
"Aku gak papa," jawab nya sembari tersenyum paksa.
Mengambil tas nya dari tangan Andik.
"Pak Andik pergi saja, aku akan mendoakan Mas Haris di rumah," ucapnya menguatkan diri nya sendiri.
Dengan berat hati, Andik pergi sendirian tanpa Ainaya. Dari lubuk terdalam ia tak tega meninggalkan wanita hamil itu, namun perintah dari bos nya lebih utama dan wajib ia lakukan.
Ainaya hanya bisa menelan kekecewaan karena tak bisa pergi. Namun, bukan itu yang ia sesalkan, melainkan sikap Haris yang tetap saja membencinya disaat seperti ini.
"Pak Andik sudah menerima telepon dari mas Haris, itu artinya dia sudah membaik."
Ainaya membalikkan tubuh. Ia duduk di kursi depan bandara menunggu kendaraan. Sebagai seorang istri ia pun cemas dan membuat hatinya tak bisa tenang.
"Aku gak bisa diam seperti ini. Mas Haris suamiku. Bagaimanapun juga aku harus melihat keadaannya."
Ainaya mengambil ponsel lalu menghubungi Lidya. Hanya wanita itu yang bisa membantunya.
"Ada apa, Nay?" tanya Lidya dari balik telepon.
Ainaya tersenyum renyah. Berharap wanita itu ada waktu luang untuk membantunya.
"Apa kamu mau membantuku, Di? Ini penting," ucap Ainaya tanpa rasa ragu.
"Bantu apa? Asalkan aku bisa, pasti aku akan membantumu."
Ainaya semakin tersenyum lebar. "Antarkan aku ke Bali. Masalah biaya kamu tenang saja, aku yang akan membayar semuanya."
Lidya mengernyitkan dahi. "Bali, kamu mau apa ke sana? Perutmu sudah besar," tanya Lidya menyelidik.
Ainaya menceritakan pada Lidya tentang keadaan Haris yang saat ini di rumah sakit.
"Baiklah, aku akan meminta temanku untuk membelikan tiket."
Lidya yang ada di restoran pun terpaksa pergi demi membantu Ainaya. Bukan pasal pergi dengan mode gratis, namun ia tak tega menolak permintaan wanita itu. Apalagi mereka berteman sudah lama bagaikan keluarga.
Hampir tiga jam menunggu di bawah terik yang menyengat, Akhirnya Lidya datang dengan seorang pria tampan.
"Ayo, Nay." Membantu Ainaya membawa tas. Sementara pria yang ada di belakang mereka nampak sibuk dengan benda pipih di tangannya.
Setibanya di bandara internasional Bali, Ainaya menghubungi Andik. Menanyakan alamat rumah sakit tempat Haris dirawat.
Lagi-lagi sang asisten di ambang kebingungan. Pasalnya ia tak berani mengatakan tempat Haris saat ini, namun juga kasihan pada Ainaya.
"Aku cuma mau melihat kondisinya, Pak," ucap Ainaya memelas.
Andik merasa terenyuh mengingat perjuangan wanita itu. Terpaksa ia memberitahu tentang keberadaan Haris. Tapi dengan satu syarat, menyuruh Ainaya diam dan tidak membawa namanya dalam keberangkatannya itu.
"Kita ke rumah sakit," ajak Ainaya pada Lidya.
''Kita cari hotel dulu, Nay. Kamu pasti capek. Lagipula ini sudah hampir malam." Lidya meraih tangan Ainaya dan menuntunnya. Mereka naik kendaraan umum menuju hotel sebelum ke rumah sakit.
Namun di tengah perjalanan, Ainaya harus menelan kekecewaan yang kedua kali saat mendapatkan pesan dari Andik.
Anda dilarang menemui Tuan Haris, Nona. Saya takut beliau marah jika tahu Anda ada di Bali. Di sini juga ada Bu Ida dan Pak Indrawan, takutnya nanti mereka curiga.
Ainaya menghela napas panjang. Menyandarkan punggungnya di jok.
Tidak apa-apa, Mas. Mungkin aku yang terlalu khawatir padamu. Semoga kamu cepat sembuh.
Ainaya terdiam dan menatap ke arah luar.
Disaat sakit pun kamu tidak mengizinkan aku untuk menemuimu. Apa wajahku ini terlalu buruk di matamu.
"Di, setelah ini aku akan istirahat. Kamu jalan-jalan saja." Ainaya memberikan sejumlah uang pada Lidya, namun segera ditolak oleh wanita itu.
"Aku sudah punya uang, kamu simpan saja untuk kebutuhan nantinya."
Pria yang statusnya adalah pacar Lidya ikut memberikan semangat pada Ainaya yang nampak redup.
Lydia memesan kamar yang ada di lantai bawah. Ia tidak ingin Ainaya terlalu lelah karena perjalanan mengingat usia kandungannya yang sudah tua.
Baru beberapa menit duduk di tepi ranjang. Ainaya dikejutkan dengan janinnya yang terus bergerak hingga membuatnya meringis.
"Kamu lapar ya, Nak. Maaf mama lupa makan."
Ainaya keluar dari kamarnya. Baru beberapa langkah ia berhenti saat ada seseorang memanggilnya dari belakang. Meskipun bukan namanya, Ainaya yakin panggilan itu dituju untuknya.
Pria tampan yang berpenampilan cool itu menghampiri Ainaya yang nampak terpaku. Dilihat dari wajahnya pria itu baru berumur 30 an. Namun entahlah, terkadang wajah pun bisa mengecoh pandangan.
"Maaf aku pikir temanku," ucap pria itu tanpa merasa bersalah.
Ainaya hanya mengangguk dan tersenyum tipis.
"Eh Nona." Pria itu kembali dan berdiri di depan Ainaya.
"Apa boleh kita kenalan?" ucapnya sembari mengulurkan tangan.
Ainaya menggulung sepuluh jemarinya. Enggan menerima tangan pria lain, terlebih orang yang saat ini berdiri di depannya itu adalah orang asing.
"Maaf, aku harus pergi." Ainaya melewati tubuh pria itu dan berlalu.
Cantik, Sayang sekali sudah hamil, itu artinya istri orang.
Pria itu berkacak pinggang dan kembali keluar dari hotel.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Tati Suwarsih Prabowi
klo udah kahiran minta d cerain...ama cowok itu aj nay
2023-01-20
0
Aisyah Luqman
pergi aja naya ...
tuh ada cowok baru, semoga aja jodohmu nay
2022-11-28
0
mariammarife
mudah2an pria yg mengajak kenalan sama Ainaya jodoh yg sesungguhnya Ainaya.
2022-11-28
1