Sudah dua hari Haris pergi ke Bali. Sekalipun tak memberi kabar pada Ainaya. Sebab penasaran, ia membuka akun sosmed milik sang suami. Terlihat beberapa unggahan foto bersama di tempat-tempat wisata di pulau itu. Mereka terlihat mesra dan membuat semua orang iri.
"Padahal aku yang awalnya ingin datang ke tempat ini, Mas. Tapi kamu hanya mengajak mbak Jihan."
Teringat saat ia ingin pergi ke Bali namun ditolak oleh Haris secara mentah-mentah, bahkan menganggapnya itu hanya pura-pura saja.
Ainaya mengambil tas lalu keluar dari kamar. Ia merasa jenuh dan ingin melihat indahnya pemandangan luar untuk menghilangkan rasa kesal melihat kemesraan suami nya dan Jihan.
''Aku datang ke rumah bibi saja. Sudah lama juga tidak ke sana." Menghentikan ojek yang melintas.
Sejak pindah rumah, Ainaya memang tak pernah datang ke rumah bibi, ia hanya sesekali menanyakan kabar mereka lewat sambungan telepon. Dan kali ini ingin mengunjungi sekaligus meminta doa supaya dilancarkan saat melahirkan nanti.
Baru saja turun dari ojek, salah satu warga memanggil Ainaya dari arah kejauhan.
Ainaya menoleh ke arah sumber suara sembari mengelus perutnya yang terus bergerak-gerak.
"Ada apa, Bu?" tanya Aniaya pada seorang wanita yang menghampirinya.
Wanita itu tak menjawab, matanya fokus pada perut buncit Ainaya kemudian beralih menatap wajahnya dengan tatapan curiga.
"Aku hamil, Bu. Aku sudah menikah sepuluh bulan yang lalu.'' Ainaya membongkar statusnya yang kini menjadi istri Haris.
Wanita itu manggut-manggut, namun raut wajahnya nampak tak percaya.
"Di mana suamimu? Kok aku gak pernah lihat?" tanya nya dengan nada sinis.
Ainaya tersenyum. Ia bingung mau menjawab apa. Pasalnya, saat menikah pun disembunyikan dari tetangga seperti nasibnya kini yang tersembunyi layaknya wanita simpanan.
"Sekarang aku tinggal di rumah suamiku, dan dia memang gak pernah datang ke sini," jawab Ainaya berbohong.
Demi apapun, ia tak ingin berada di situasi seperti ini. Hanya saja keadaan membawanya pada posisi yang sangat sulit dan rumit.
"Permisi, Bu." Ainaya meninggalkan wanita itu. Menghindari pertanyaan yang mungkin akan sulit dijawab.
Ainaya berdiri di depan pintu rumah paman. Terlihat dengan jelas sikap warga yang sangat berbeda, bahkan dari mereka terang-terangan mengolok dan menghinanya.
"Pantas saja gak pernah kelihatan ternyata dia hamil," pungkas seorang pria yang baru saja melintas.
Ainaya mencoba menutup telinga dan mengabaikan pembicaraan mereka. Memejamkan mata untuk tidak melihat tatapan mereka yang mengintimidasi.
Suara tawa terdengar dari dalam. Ainaya yang hampir memegang knop mengurungkan niatnya. Mendengar percakapan antara paman dan bibinya dari luar.
"Semoga Ainaya dan Haris tetap menjadi suami istri. Dengan begitu kehidupan kita terjamin, Pak," ucap bibi diiringi suara tawa.
Ainaya hanya bisa menghela napas panjang. Ternyata tak hanya Haris dan Jihan yang menikmati kebahagiaan di atas penderitaannya, paman dan bibinya pun sama. Mereka seolah menginginkan nya terus menderita di bawah tekanan batin menjadi istri kedua.
"Iya, Bu. Semoga Haris tidak menceraikannya sampai nanti," imbuh sang paman.
Ainaya membalikkan tubuhnya. Untuk apa dia datang pada orang yang tak menginginkan kehadirannya sama sekali. Lebih baik pergi mencari tempat yang lain untuk menenangkan hatinya sendiri.
Ainaya kembali sebelum bertemu paman dan bibi. Ia datang ke restoran yang ada di dekat rumahnya.
Ainaya duduk di bagian pinggir. Tepat di belakang jendela kaca yang menghubungkan dengan taman kota. Termenung menelusuri hubungan yang terjadi antara dirinya dan Haris.
''Aku menderita karena keputusanku sendiri. Berulang kali mas Haris mengatakan bahwa dia hanya ingin memiliki anak, tapi aku yang terlalu percaya diri dan mencintainya. Sampai kapanpun cintanya hanya untuk mbak Jihan, bukan untukku."
Mengaduk-aduk makanan yang ada di depannya. Selera makannya tiba-tiba saja lenyap mengingat kemesraan mereka.
"Permisi, Nona," sapa suara berat dari arah samping membuyarkan lamunan Ainaya.
"I–ya, ada apa?" jawab Ainaya gugup.
"Tidak ada tempat lagi. Apa saya boleh duduk di sini?" tanya pria yang berdiri sambil membawa makanan.
Ainaya mengabsen setiap kursi. Ternyata semua sudah penuh hanya tinggal satu kursi yang kosong yaitu di depan nya.
"Silakan!" suruh Ainaya memalingkan pandangannya.
Disaat Ainaya berdiri, tiba-tiba ponsel dari tas nya berdering. Terpaksa ia duduk lagi.
Nama Andik berkelip di layar membuat Ainaya mengernyitkan dahi.
"Ada apa, ya?" tanya Ainaya dalam hati. Seketika jantungnya berdegup kencang. Seolah ada rasa takut yang menyelimuti.
Ainaya menggeser lencana hijau tanda menerima.
"Halo, ada apa Pak Andik?" tanya Ainaya ragu.
"Maaf mengganggu, Nona. Saya hanya ingin memberitahu kalau Tuan Haris kecelakaan," ujar Haris dengan jelas.
Ainaya tercengang. Baru beberapa menit ia melihat unggahan gambar dari akun suaminya, dan sekarang ia mendengar kabar bahwa pria itu kecelakaan.
"Bagaimana keadaan dia, Pak?" tanya Ainaya dengan bibir bergetar. Sekujur tubuhnya lemah hingga tak mampu untuk berdiri.
Pria yang duduk itu terpaksa menghentikan aktivitasnya dan mengambil tisu lalu memberikannya pada Ainaya.
"Saya belum tahu, Nona. Sekarang saya ada di depan rumah, Anda." Andik celingukan mencari keberadaan Ainaya.
"Saya ada di restoran. Tunggu di situ sebentar lagi sampai. Ainaya memutus sambungannya. Sekuat tenaga ia berdiri lalu pergi dengan buru-buru. Mengabaikan perutnya yang terasa sakit, yang penting saat ini ia harus bertemu dengan sang asisten.
Hanya selang dua puluh menit, Ainaya sudah tiba di rumah nya. Ia menghampiri Andik dan kembali menanyakan keadaan suaminya.
"Saya belum tahu, rencananya saya akan ke Bali. Apa Anda mau ikut?" tanya Andik antusias.
Ainaya menundukkan kepala. Dari lubuk hati terdalam ingin bertemu dengan Haris, namun ia takut pria itu marah karena sudah lancang menyusul.
"Saya akan ikut," jawab Ainaya setelah beberapa detik terdiam. Bagaimanapun juga ia harus memastikan Haris baik-baik saja.
Ainaya bergegas ke kamar. Ia memasukkan beberapa baju ke dalam tas. Sementara Andik mengurus keberangkatannya ke Bali. Membeli tiket untuk dua orang, sekaligus memberitahu bu Ida dan pak Indrawan. Tidak mungkin mereka berangkat bersama mengingat ada Ainaya.
Ainaya menitihkan air mata. Mengusap lembut perutnya.
"Sebentar lagi anakmu akan lahir. Aku tidak mau dia hadir menjadi anak yatim. Bertahanlah demi anakmu, Mas."
Seketika Haris terbangun setelah beberapa jam tak sadarkan diri. Seolah bisikan Ainaya terdengar membangkitkan dirinya yang hampir tumbang.
Beberapa dokter yang ada di dalam ruangan itu terkejut dan saling tatap. Mereka langsung memasang selang pernapasan di hidung Haris yang nampak linglung.
"Sa--- saya di mana, Dok?" tanya Haris dengan suara terputus-putus.
Dokter tersenyum kecil. Menceritakan kejadian yang menimpa Haris beberapa waktu lalu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Eleanor
selang infus kok di hidung, thor?
2022-12-08
0
Eli Masmuda
apa kecelakaan nya sama Jihan??? semoga awal jd ketahuan kl Jihan hanya pura2 hamil.
2022-11-27
0
Aisyah Luqman
ish kenapa sadar sih ... ???
kasih naya kebahagiaan yg baru aja
2022-11-27
1