NovelToon NovelToon

Bukan Wanita Simpanan

Perjodohan

"Apa Bapak yakin Ainaya mau menikah dengan Haris?" Bibi duduk di samping paman yang sibuk membaca dokumen di tangannya.

"Mau gak mau pokoknya pernikahan ini harus tetap dilangsungkan karena aku sudah janji pada dia," jawab paman menegaskan.

Wanita paruh baya itu memilih mengikuti rencana suaminya daripada harus kehilangan pekerjaan. Terlebih, Haris Mahendra adalah orang yang pernah berjasa besar di keluarganya.

Ainaya yang dari tadi menguping dibalik pintu utama itu meneteskan air mata mendengar percakapan antara paman dan bibi. Dadanya terasa sesak hingga harus mensuplai oksigen untuk bernapas.

Selama ini ia memenuhi semua permintaan mereka, namun kali ini tak bisa.

"Aku gak boleh diam saja."

Ainaya mengusap air matanya. Mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk membela diri. Bagaimanapun juga ia harus angkat bicara demi masa depannya.

"Maaf, Paman. Tapi aku gak mau dijodohkan," ucap Ainaya dari ambang pintu.

Paman dan bibi beranjak dari duduknya. Wajah mereka mendadak pias mendengar ucapan Ainaya yang berbanding balik dengan keinginannya.

Paman mendekati Ainaya, sedangkan bibi tetap berdiri di tempatnya. Meskipun begitu, ia mendukung penuh apa yang dilakukan suaminya.

Gadis cantik bermata coklat dan memiliki rambut hitam pekat sebahu serta hidung mancung itu menundukkan kepala. Takut melihat tatapan tajam sang paman.

"Sejak kapan kamu berani melawan permintaanku, hah?" bentak paman dengan suara lantang.

Ainaya meremas ujung baju. Seluruh tubuhnya gemetar melihat amukan sang paman. Sedikitpun tak berani untuk membantah, apalagi melawan.

Bibi yang berdiri tak jauh dari mereka pun tak membelanya. Justru wanita itu terus mendorong suaminya.

"Sekarang masuk! Dandan yang cantik, sebentar lagi Haris ke sini."

Paman meninggalkan Ainaya yang masih sesenggukan.

Pintu kamar tertutup rapat. Kini hanya ada Ainaya dan bibi di ruangan sempit itu. Gadis yang masih memakai seragam kantor itu berlari kecil menghampiri bibi.

"Aku mohon, Bi. Batalkan perjodohan ini," Ainaya menangkup kedua tangannya di dada. Berharap penuh bibi mau menolongnya.

Bibi tersenyum sinis. "Aku tidak akan membatalkan perjodohan ini. Haris itu orang terpandang, dan bibi yakin hidupmu akan bahagia setelah menikah dengan dia. Lagi pula apa yang kamu harapkan dari Nian. Dia itu hanya karyawan biasa. Sedangkan Haris, dia ahli waris keluarga Mahendra," terang bibi panjang lebar.

Kemudian, meninggalkan Ainaya yang nampak kalut.

Sebuah kenyataan yang tak pernah terselip di hati Ainaya. Gadis yang berumur dua puluh dua tahun itu tak bisa berbuat apa-apa selain mematuhi permintaan mereka.

Kakinya mengayun menuju kamar. Tidak ada semangat sedikitpun, ia merasa masa depannya suram tanpa arah.

Menikah dengan orang yang tak dikenal pasti akan menjadikan hidupnya hampa, namun ia tak bisa mengelak dari perjodohan ini.

"Aku harus mencari cara."

Ainaya mengunci pintu kamarnya. Merogoh ponsel yang ada di tas lalu duduk di tepi ranjang.

Jari-jarinya mulai aktif mengetik sesuatu. Meminta tolong pada teman-temannya untuk memberikan solusi.

"Maaf, Nay. Aku gak bisa bantu, tapi kalau kamu memang tidak mau dijodohkan lebih baik secepatnya menikah dengan Nian."

Berbagai jawaban mengalir, bahkan kebanyakan dari mereka menyarankan untuk segera menikah dengan sang pacar. Namun, Ainaya tak bisa melakukan itu tanpa restu dari bibi dan paman selaku pengganti orang tuanya.

Ainaya menyerah, seolah keadaan semakin menghimpitnya dan menganggap itu jalan satu-satunya demi bukti untuk membalas jasa.

Tak berselang lama, suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Ainaya. Ia segera mengusap pipinya yang di penuhi air mata lalu membukanya.

Ternyata bibi yang datang. Wanita itu terlihat rapi dan memakai baju baru.

"Haris sudah datang. Sekarang kamu ganti baju, jangan terlihat menyedihkan seperti ini." Bibi mendorong Ainaya masuk lalu menutup pintu.

"Jangan mempermalukan bibi dan paman. Ingat Nay! Haris itu pernah membantu ayah kamu saat operasi, jadi jangan menyakiti dia. Apa susahnya menurut," kata bibi sambil membuka pintu lemari.

Memilih-milih baju yang bagus lalu menghampiri Ainaya yang mematung di samping ranjang.

"Sekarang cepat ganti baju, bibi gak mau karena keteledoranmu Haris marah."

Bibi meninggalkan Ainaya setelah memberikan baju pilihannya.

Ainaya menatap wajahnya yang sangat menyedihkan dari pantulan cermin.

"Seandainya ayah dan ibu masih hidup, pasti hidupku tidak akan menderita seperti ini."

Haris melihat jam yang melingkar di tangannya. Sudah hampir tiga puluh menit menunggu, namun belum ada tanda-tanda Ainaya keluar.

"Kalau Ainaya tidak mau menikah denganku, terpaksa aku akan memecat paman dari perusahaan," ancam Haris serius.

Paman beranjak berjalan menuju kamar Ainaya. Tanpa mengetuk pria itu membukanya lalu masuk. Menghampiri Ainaya yang duduk menatap ke arah luar jendela.

"Cepat keluar! Atau malam ini aku akan menjualmu di klub malam." Paman menarik tangan Ainaya dengan paksa.

Tidak ada pilihan lain. Ainaya mengikuti perintah paman daripada harus melepas keperawanannya pada pria hidung belang.

Ainaya duduk di tengah-tengah paman dan bibi, tepatnya di depan Haris dan satu orang pria lainnya.

"Sapa Haris!" Bibi berbisik sambil menyenggol siku Ainaya yang nampak membuang muka.

Sementara paman menatap tajam membuat Ainaya takut.

"Selamat sore," sapa Ainaya berat. Mengulurkan tangannya ke arah Haris tanpa menatap.

Pria berjas hitam itu menerima uluran tangan Ainaya dan menjawab sapaannya. Melepaskannya dengan cepat seolah jijik dengan tangan wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.

"Kamu pasti sudah tahu apa tujuanku datang ke sini?" Haris menyodorkan sebuah map berwarna hijau di depan Ainaya.

Ainaya hanya melirik map itu dan kembali menatap ke arah lain.

"Sekarang cepat tandatangani karena aku gak punya banyak waktu."

"Apa itu?" tanya Ainaya ketus.

"Surat perjanjian," jawab Haris santai.

Ainaya menatap semua orang bergantian. Kemudian berhenti pada pamannya.

"Jangan banyak berpikir, kamu tanda tangan saja!" titah paman menyungutkan kepalanya ke arah pulpen yang tersedia.

Ainaya membukanya dan membaca larik demi larik kalimat yang tersusun rapi.

Sesekali kepalanya menggeleng saat mendapati kalimat yang tak masuk akal.

"Aku gak mau." Ainaya menutup map itu dan meletakkannya.

Rahang Haris mengeras dengan kedua tangan mengepal.

"Kamu harus mau, Nay. Ini demi kebaikan kita semua," bujuk paman.

Ainaya tetap menggeleng. "Apa Paman gak memikirkan masa depanku? Jelas-jelas dalam surat itu tertulis, bahwa aku akan menjadi istri kedua. Itu artinya aku bukan satu-satunya."

Haris terdiam, matanya tak teralihkan dari paman, meng kode pria itu untuk segera bertindak.

"Kalau kamu gak mau menikah dengan Haris, itu artinya kita akan bersiap tidur di kolong jembatan."

Ainaya tak bisa berkutik lagi. Tidak mungkin ia membiarkan itu terjadi pada paman dan bibi yang sudah membesarkannya. Ainaya mengangguk tanda setuju.

Harus tersenyum menyeringai.

Ainaya setuju menikah denganku, itu artinya sebentar lagi aku dan Jihan akan memiliki anak dari dia.

Ya, Haris menikahi Ainaya hanya ingin memiliki anak. Setelah itu peenikahan mereka akan berakhir.

Menikah

Ainaya terjepit dalam keadaan yang rumit. Di satu sisi ia ingin pergi sejauh mungkin untuk menghindari perjodohan itu. Namun, di sisi lain ada paman dan bibi yang membutuhkan dirinya. Sebab, Haris mengancam akan membuat mereka sengsara jika perjodohan itu batal. 

"Baiklah, aku menerima perjodohan ini." Dengan berat hati Ainaya menerimanya. 

Andik, sang asisten mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. Ia mengatakan bahwa pernikahan akan dilangsungkan hari ini juga. Dan fakta itu membuat Ainaya kembali tak terima. 

"Kenapa harus sekarang?" protes Ainaya dengan cepat. 

Haris tersenyum sinis.  Mencondongkan kepalanya ke depan. 

"Apa kamu tidak membaca isi perjanjian tadi?" cetus Haris mengingatkan. 

Ainaya membisu. Bagaimana bisa Haris berbicara seperti itu, bahkan sampai kapanpun ia tak pernah lupa bahwa sebentar lagi akan menjadi istri kedua Haris Mahendra.

"Aku ingin kita segera menikah dan secepatnya punya anak, jadi untuk apa di tunda. Itu hanya akan membuang-buang waktu saja,'' jelasnya. 

"Aku tahu itu, tapi aku juga butuh waktu." Suara Ainaya tercekat di tenggorokan. Percuma saja ia membantah, toh ujung-ujungnya kalah juga. 

Ainaya kembali ke kamar. Menatap nanar kebaya putih yang menggantung di depan  lemari. Berjalan pelan mendekati dan menyentuh baju itu. 

Seharusnya baju seperti ini dipakai orang yang bahagia. Bukan orang yang sedih sepertiku.

Ainaya menumpahkan air matanya. Ingin sekali menjerit, namun ia tahan demi kehormatan bibi dan pamannya. 

Tak berselang lama, suara mobil berhenti di depan rumah. Ainaya bergegas memakai baju pemberian Haris serta memakai make up tipis untuk menyamarkan matanya yang sedikit bengkak. Duduk di depan cermin. Mencoba sekuat apapun, air matanya terus mengalir menunjukkan sisi kerapuhannya. 

"Nay, cepat keluar!" teriak bibi diiringi suara ketukan. 

Ainaya bergeming. Matanya tak teralihkan dari pisau yang ada di samping botol parfum nya. 

Mungkin mati akan menjadi jalan satu-satunya ia bisa lepas dari jeratan seorang Haris, begitulah pikirnya. 

Ainaya memegang pisau itu dengan tangan gemetar, seolah-olah sudah siap kehilangan nyawanya. 

Lebih baik aku banyak dosa daripada harus menikah dengan dia. 

Disaat Ainaya sudah siap untuk menghabisi nyawanya sendiri, tiba-tiba saja sebuah tangan kekar menepis pisau itu dari tangannya hingga jatuh. 

"Kamu apa-apaan sih?" pekik paman tak terima. 

"Sekarang cepat keluar atau Haris kehabisan kesabaran," imbuhnya. Membantu Ainaya mengusap air mata lalu menariknya keluar dari kamar. Lantas, duduk di samping Haris yang sudah berada di depan penghulu. 

Beberapa orang pun menyaksikan acara sakral yang penuh dengan tekanan tersebut. 

"Apa Kalian sudah siap?" tanya penghulu serius. 

"Sudah, Pak." Hanya Haris yang menjawab, sedangkan Ainaya menundukkan kepala. Sedikitpun tak ingin melihat Haris ataupun yang lainnya. 

"Bagaimana dengan Mbak Ainaya? Apa Anda sudah siap?" 

Hampir lima menit suasana menjadi hening karena Ainaya tak menjawab. Bibi yang ada di belakang pun menggeser duduknya lalu mencubit pinggang sang keponakan. 

"Siap, Pak?" jawab Ainaya lugas. 

Prosesi akad nikah dimulai. Di sinilah Ainaya masuk dalam sebuah perangkap, dimana ia tak bisa mundur lagi. Jalan satu-satunya adalah menerima nasib yang menimpa. 

"Sah…" ujar para saksi serempak. 

Beberapa tamu yang hadir menengadahkan tangan. Begitu juga dengan Ainaya, meskipun ini adalah paksaan, ia berharap tidak terlalu tersakiti dengan statusnya. 

"Mulai hari ini kamu adalah istriku, jadi kamu harus nurut semua perintah ku," ucap Haris setelah mencium kening Ainaya. 

Haris menghampiri Andik yang dari tadi berdiri di samping pintu depan. 

"Apa Jihan menelponku?" tanya Haris pada sang asisten. 

"Tidak, Tuan," jawab Andik memeriksa kembali ponsel milik Haris. 

"Mungkin Nyonya asyik jalan-jalan dengan teman sosialitanya," lanjutnya. 

"Kalau begitu kamu katakan padanya, kalau malam ini aku tidak pulang." 

Setelah memberi perintah, Haris menghampiri paman dan bibi serta Ainaya. Sedangkan, beberapa tamu sudah mulai berhamburan meninggalkan tempat itu. 

"Malam ini aku dan Ainaya akan menginap di hotel." Mengeluarkan kartu dan memberikan pada paman. 

"Pinnya ada di situ, dan paman berhak menggunakannya." 

Menarik tangan Ainaya dan mengajaknya keluar. 

"Lepaskan! Sakit," keluh Ainaya mencoba mencengkal tangan Haris, namun tenaganya yang sangat kecil tak mampu melawan pria tersebut. 

Haris mendorong tubuh mungil Ainaya hingga terhempas di mobil, setelah itu mengungkungnya. Menatap manik mata sang istri yang nampak sendu. 

"Siapkan diri kamu, aku tidak mau menunda malam pertama kita." Membuka pintu mobil. 

Setibanya di kamar hotel, Haris memerintahkan Ainaya membuka baju. 

"Gak, aku gak mau," tolak Ainaya mencengkeram kancing kebaya nya yang masih terkait. Berjalan mundur menghindari Haris yang terus mendekatinya. 

"Jangan membuatku emosi, Nay. Kamu sudah mau menikah denganku, itu artinya juga siap melayaniku." Haris menegaskan. 

"Jangan sekarang, Mas. Aku belum siap." Ainaya menghentikan langkahnya saat punggungnya menabrak lemari. Kini ia merasa terpojok dan tak bisa menghindar lagi. 

Sementara Haris sendiri sudah melucuti jas dan kemeja nya. Tak peduli dengan rengekan Ainaya, yang pasti ia harus segera menjalankan misi terselubungnya. 

"Jangan panggil aku, Mas. Tapi panggil aku Tuan."

"Baik, Tuan."

Hati Ainaya hancur berkeping-keping. Kini masa depannya benar-benar hancur saat Haris berhasil menangkapnya. 

Malam pertama yang seharusnya menjadi malam yang istimewa itu kini berubah menjadi malam kelam yang menyakitkan. Ainaya hanya bisa meneteskan air mata saat Haris berhasil merenggut mahkotanya dengan kasar, bahkan selama berhubungan pria itu terlihat penuh nafsu, bukan karena cinta dan kasih. 

Hingga beberapa menit kemudian, Haris ambruk di sisi Ainaya, pria itu tak merasa bersalah dengan perbuatannya. Justru menganggap ini adalah awal dari kebahagian dengan istri pertamanya, yaitu Jihan. 

Aku berharap kamu cepat hamil.

Haris meringkuk memunggungi Ainaya, begitu juga sebaliknya. 

Hampir semalaman  penuh Ainaya tak bisa memejamkan mata. Tubuhnya terasa remuk akibat ulah brutal Haris. Kedua matanya bengkak dan memerah karena kelamaan menangis. 

Haris yang merasa terusik dengan suara isakan Ainaya itu pun membuka mata lalu menoleh ke arah sumber suara. 

Menatap punggung Ainaya yang naik turun dengan posisi duduk di samping ranjang. 

Ia terbangun, menggeser tubuhnya hingga berada di belakang Ainaya. 

Tanpa aba-aba Haris menaikkan tubuh Ainaya ke atas ranjang. 

"Kamu mau apa, Tuan?" tanya Ainaya dengan bibir bergetar. Takut melihat wajah Haris yang nampak penuh hasrat. 

Haris mendekatkan bibirnya di telinga Ainaya yang saat ini berada di bawahnya. 

"Karena kamu menggangguku, aku akan mengulangi yang semalam," bisiknya sambil melanjutkan aksinya. 

Ainaya menggeleng. Namun, tak bisa lari karena tubuhnya terlalu lemah, sehingga kejadian yang menyakitkan itu terulang lagi. 

Bahkan, saat ini lebih sakit karena Haris melakukannya dengan kasar, sedikitpun tak ada belas kasihan pada Ainaya yang meronta minta dilepaskan. 

Hamil

Dua bulan berlalu

Setelah kejadian malam pertama itu, Ainaya tinggal di rumah paman dan bibi atas permintaan Haris. Pria itu hanya menjemputnya saat menginginkan saja, juga meminta untuk bungkam tentang pernikahannya. Tidak ada satupun keluarga Haris yang tahu, termasuk mama dan papanya. 

Semenjak menikah, Ainaya tak memiliki semangat hidup. Setiap hari ia hanya bisa mengurung diri di kamar. Hubungannya dengan teman-teman dan mantan pacarnya pun putus begitu saja. Harapannya pupus. Masa depannya pun seakan hitam kelam seolah ia hanya patung hidup yang hanya bisa bernafas. 

"Makan dulu, Nay." Bibi meletakkan sepiring nasi di atas meja yang ada di samping Ainaya duduk. 

Tidak ada jawaban, Ainaya terhanyut dalam lamunan yang penuh duka. Tatapannya kosong, menyesal dengan apa yang terjadi.

Baru saja menatap makanan itu beberapa detik, tiba-tiba saja perut Ainaya terasa mual. Ia bergegas keluar dari kamar menuju kamar mandi. 

Bibi yang melihat itu hanya bisa mengernyitkan dahi. Kemudian melanjutkan aktivitasnya di dapur. 

Ainaya bersandar di dinding. Satu tangannya mengelus perutnya yang sedikit lega, sedangkan yang satu memijat pelipisnya yang terasa pusing. 

Ada apa denganku? 

Ainaya menyeret kakinya keluar dari kamar mandi. Ia duduk di kursi makan karena tak mampu untuk berjalan lagi. 

"Kamu kenapa, Nay?" Bibi menghampiri Ainaya. 

Dari raut wajahnya, wanita itu nampak pucat dan tak memiliki gairah. 

Ainaya hanya menggeleng tanpa suara. Malas berbicara dengan bibi yang selalu menyudutkannya. 

"Kamu sakit?" tanya nya lagi, kali Ini bibi  terlihat cemas. 

"Gak, Bi. Mungkin cuma masuk angin saja," jawab Ainaya lirih. Kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar. 

Bibi menghubungi paman, takut dengan keadaan Ainaya yang tak seperti biasa. 

Ainaya melihat kalender yang menggantung di dinding. Sudah hampir dua bulan tidak ada lingkaran merah, itu artinya ia belum datang bulan. 

"Jangan-jangan aku hamil," terka Ainaya yakin. 

Ia duduk di tepi ranjang. Seharusnya kabar itu membuatnya bahagia karena berhasil memberikan keturunan untuk Haris, namun tetap saja Ainaya sedih karena posisinya yang hanya sebagai istri kedua.

Ainaya meraih tas dan merapikan penampilannya. Ia harus memastikan apakah  benar-benar hamil atau hanya kebetulan saja.

Tanpa pamit, Ainaya pergi mengendarai motor maticnya. Membelah jalanan yang dipenuhi dengan kendaraan melintas. Meskipun pikirannya sedikit kacau, ia tetap mementingkan keselamatannya. 

Menghentikan motornya di depan apotik. Tanpa rasa ragu ia langsung masuk ke dalam. 

"Saya mau membeli testpack, Mbak." Ainaya menyodorkan uang pecahan lima puluh ribu di depan wanita cantik yang melayaninya. 

Wanita itu memberi tiga pilihan, dan langsung diambil semua.

"Hamil pertama ya, Mbak?" tanya wanita cantik yang sedikit tua dari Ainaya. 

Ainaya hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Sedikitpun tak ada kebahagiaan yang hinggap jika itu benar terjadi.

Jika aku hamil, apa Tuan Haris akan berubah dan peduli padaku?

Ainaya sedikit berharap Haris akan memperlakukannya layaknya seorang istri. Bukan wanita simpanan yang hanya disentuh saat membutuhkan.

Setibanya di rumah, Ainaya langsung ke kamar. Ia tak menghiraukan paman dan bibi yang memanggilnya dari ruang tamu. 

"Mungkin dia capek, Pak." Bibi melarang paman yang hampir beranjak. 

Ainaya membuka ketiga testpacknya dan membawa ke belakang. Meskipun melintasi paman dan bibi, ia pun tak menyapa mereka. 

Hampir lima belas menit berada di kamar mandi, kini sudah mendapatkan hasil. Ketiga testpack dengan merk yang berbeda masing-masing menunjukkan dua garis merah. Itu artinya Ainaya positif hamil. 

Namun, itu adalah kabar buruk bagi Ainaya yang pasti setelah ini akan memikul beban lebih berat lagi. 

"Aku harus memberitahu Tuan Haris, dia harus tahu kalau aku mengandung." 

Ainaya membuang testpack itu dan kembali ke kamar. Seperti yang dilakukan tadi, ia tak menoleh ke arah paman dan bibi yang terus melihat pergerakannya. 

"Kamu mau ke mana, Nay?" tanya paman saat Ainaya tiba di ambang pintu depan. 

"Aku mau pergi sebentar, Paman," jawab Ainaya tanpa menoleh, lalu melanjutkan langkahnya. 

Tiga puluh menit membelah jalanan, akhirnya Ainaya tiba di depan rumah Haris. Ia turun dari motor dan mendekati satpam yang berada di depan pintu gerbang. 

"Saya mau bertemu dengan Tuan Haris, Pak?" ucap Ainaya ke inti. 

Satpam itu melihat penampilan Ainaya dari atas hingga bawah. Cukup sederhana, dan ini pertama kali ada seorang gadis yang mencari majikannya. 

"Nama Anda siapa?" tanya satpam itu. 

"Bilang saja saya karyawannya," jawab Ainaya teka-teki. Tak mungkin ia berkata jujur, pasti Haris akan murka. 

Mana ada karyawan berani datang ke rumah, cantik lagi. 

Satpam meninggalkan Ainaya tanpa membuka pintu gerbang. Tak berselang lama pria yang memakai seragam putih itu kembali diikuti Haris dari belakang. 

"Tinggalkan aku sendiri!" pinta Haris pada satpam yang berdiri tak jauh darinya. 

Haris mencengkeram lengan Ainaya kuat hingga membuat sang empu meringis. 

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Haris geram. "Nanti kalau istriku tahu bagaimana?" 

Hati Ainaya tersayat, meskipun tidak ada cinta setidaknya Haris menghargainya sebagai ibu dari calon anaknya.

"Aku ke sini hanya ingin mengatakan padamu bahwa aku hamil," ungkap Ainaya tanpa basa-basi. 

Mata Haris berbinar-binar. Kabar itu adalah sebuah kejutan yang dinanti. 

"Dan selama hamil, aku mau tinggal di sini," pinta Ainaya. 

Haris menggeleng. "Sampai kapanpun kamu gak akan pernah tinggal di sini dengan Jihan. Istriku tidak boleh tahu tentang ini. Tunggu aku di ujung jalan." Meninggalkan Ainaya yang sangat kecewa dengan keputusannya. 

Seperti permintaan Haris, Ainaya berhenti diujung jalan yang dekat dari rumah pria itu. 

Tak lama kemudian, Haris datang membawa mobil. Mereka masuk ke sebuah gang sempit yang ada di belakang perumahan mewah. 

"Kita mau ngapain ke sini?" tanya Ainaya bingung. 

Haris turun. Tangannya menunjuk rumah sederhana yang ber cat putih. "Itu adalah rumah kamu, jadi kamu boleh menempatinya. Ingat! Jangan pernah datang ke rumahku, karena aku tidak mau Jihan tahu kalau kita suami istri." 

Ainaya mencoba untuk menerima kenyataan itu tanpa membantah. Setidaknya Haris masih peduli dan memberikan rumah padanya, walaupun sederhana. 

Haris membuka pintu lebar-lebar. Meskipun jauh dari kata mewah, perabot di rumah itu lengkap. 

"Aku akan sering mengirim uang ke rekening mu. Jangan gunakan kehamilanmu sebagai alasan supaya bisa dekat denganku. Karena sampai kapanpun aku tidak akan pernah mencintaimu." 

Ainaya malas untuk berdebat dan memilih membisu. Cukup mendengarkan peringatan dari Haris tanpa protes.

Bunyi ponsel dari saku celana Haris berdering. Ia segera mengangkatnya setelah melihat nama yang berkelip di layar. 

"Iya, Sayang. Aku akan segera pulang." Haris meninggalkan rumah Ainaya setelah berbicara mesra dengan istrinya. 

Sebenarnya apa maksudmu menikahi ku, kalau bukan karena cinta, lalu apa? Bukankah istrimu cantik dan sempurna?

Ainaya hanya bisa bertanya-tanya dalam hati l.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!