Waktu terus bergulir. Pernikahan Ainaya dan Haris menginjak sepuluh bulan. Kini mereka menantikan kelahiran sang buah hati. Meskipun begitu, sikap Haris pun tak berubah, ia jarang datang ke rumah Ainaya dan lebih mementingkan Jihan. Wanita yang sangat dicintainya.
''Aku lapar, Mas,'' rengek Jihan membangunkan Haris yang masih terlelap.
Haris membuka mata perlahan menatap Jihan yang berbaring di sampingnya.
''Mau makan di rumah apa di luar?'' tawar Haris menyibak selimut yang menutupi sekujur tubuhnya.
''Di luar,'' jawab Jihan turun dari ranjang.
Haris ikut turun dan ke kamar mandi membersihkan diri. Kemudian memakai baju santai.
Seperti biasa, sebelum keluar Jihan menyiapkan bantal untuk mengelabui mertuanya. Sandiwara yang masih tertutup rapat itu sebentar lagi akan berakhir setelah Ainaya melahirkan.
''Sebenarnya aku bosan memakai ini, Mas,'' keluh Jihan menatap penampilannya di depan cermin.
Perutnya yang terlihat membuncit karena sumpalan membuatnya tak nyaman.
''Kita hanya butuh waktu beberapa hari, Sayang.'' Haris mencoba menenangkan. Berharap Jihan akan bersabar.
''Demi kamu, aku akan bersabar dan melakukan apapun.'' Membalikkan tubuhnya lalu duduk di pangkuan sang suami.
Kemesraan mereka memang tak dapat dipungkiri, bahkan semakin hari Haris terus membuktikan cintanya dengan berbagai macam cara. Selalu memenuhi semua permintaan wanita itu, baik dari hal yang kecil sampai hal yang terbesar sekaligus.
''Makasih ya, setelah ini kamu gak usah pura-pura lagi,'' tuturnya, mengelus lembut pipi Jihan.
Baru saja keluar dari rumah, Bu Ida menghubungi Haris dan menyuruhnya untuk makan di rumah.
''Memangnya ada acara apa, Ma?'' tanya Haris membukakan pintu mobil untuk Jihan.
''Hari ini mama merayakan ulang tahun kecil-kecilan, kamu dan Jihan datang.''
Haris menepuk jidatnya, ia lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahun sang mama yang ke 55.
''Kebetulan sekali, Ma. Aku dan Jihan mau keluar. Nanti sekalian beli kado untuk, Mama.''
Haris masuk ke mobil. Ia tersenyum saat melihat Jihan merapikan lipstiknya.
''Hari ini mama ulang tahun. Kita disuruh ke rumah," ujar Haris menyalakan mesin.
''Gak papa dong, itu artinya kita gak jadi makan di restoran.'' Jihan tersenyum bahagia. Semenjak pura-pura hamil Bu Ida sangat menyayanginya, dan itulah yang membuat betah berada di rumah mertuanya.
Sebelum ke rumah bu Ida, Haris mampir ke sebuah toko perhiasan. Ia membeli kalung sebagai hadiah untuk sang mama.
''Aku gak bawa apa-apa?'' tanya Jihan saat Haris kembali mobil.
"Gak usah. Lagipula mama gak suka kado, yang penting kita datang sudah cukup."
Kembali melajukan mobilnya ke arah rumah bu Ida.
Tak butuh waktu lama, Haris sudah tiba di rumah orang tuanya. Ia turun dan menggandeng tangan Jihan. Layaknya orang hamil, wanita itu pun menyangga perutnya di bagian bawah dan berjalan pelan.
''Selamat datang,'' seru bu Ida menghampiri Haris dan Jihan yang ada di ambang pintu.
''Selamat ulang tahun, Ma,'' ucap Jihan sambil memeluk bu Ida.
''Makasih, Sayang,'' jawab bu Ida mengusap lembut perut Jihan.
''Aku membawa hadiah untuk, Mama.'' Haris menyerahkan sebuah kotak kecil pada sang mama.
''Apa ini?'' tanya Bu Ida penasaran.
''Buka saja, pasti Mama suka.'' Haris menggiring bu Ida dan Jihan ke ruang makan.
Bu Ida memungut kalung yang ada di kotak perhiasan itu lalu mengucapkan terima kasih pada Haris dan Jihan.
Jihan dan Haris menikmati makan siang bersama dengan bu Ida dan pak Indrawan. Mereka terlihat bahagia karena sebentar lagi akan menyambut cucu pertamanya. Terlebih bu Ida, ia yang paling antusias di antara mereka.
''Apa kamu sudah menyiapkan nama untuk bayi mu, Ris?'' tanya bu Ida pada Haris.
Haris menggeleng, ia memang belum memikirkan nama untuk anaknya dan lebih sibuk bekerja.
''Nanti saja kalau dia sudah lahir,'' jawab Haris sembari memotong daging.
Jihan yang dari tadi melihat video dari layar ponselnya tiba-tiba tersenyum renyah.
''Mas, aku ingin pergi ke Bali,'' ucap Jihan manja.
''Bali?'' ulang Haris memastikan.
Jihan mengangguk. ''Aku pingin liburan ke sana sebelum melahirkan, Mas,'' bujuk Jihan penuh harap.
Haris menatap papa dan mamanya bergantian lalu kembali menatap Jihan yang nampak merengut.
''Gak bisa, Sayang. Aku banyak kerjaan. Lagipula kita bisa ke sana nanti.'' Haris menolak dengan cara halus. Teringat saat waktu itu pernah menolak ajakan Ainaya.
Jihan membuang muka tanda marah yang membuat bu Ida ikut angkat bicara.
''Ajak saja, Ris. Biarkan Jihan bersenang-senang sebelum nanti dia disibukkan dengan bayi kalian.'' Bu Ida mencoba memberi pengertian pada Haris dan berharap pria itu memenuhi permintaan menantunya.
"Tapi, Ma __"
"Gak Ada tapi-tapian," sergah bu Ida menghentikan ucapan sang putra.
Terpaksa Haris setuju daripada harus berdebat dengan orang tuanya. Ia menghubungi Andik untuk menyiapkan keberangkatannya.
Bagaimana dengan Ainaya? Bagaimana kalau dia melahirkan saat aku ada di Bali? Lalu siapa yang akan mengurus dia.
Ada sedikit rasa cemas yang menyesakkan dada Haris, namun ia berusaha menepis dan yakin bahwa ia akan pulang sebelum wanita itu melahirkan.
Hampir setengah hari Haris dirundung gelisah, ia terus memikirkan Ainaya yang tinggal sendiri dalam keadaan hamil besar.
"Ma, Pa, aku keluar sebentar. Tolong jaga Jihan," pamit Haris pada kedua orang tuanya sembari menatap pintu kamar yang tertutup rapat.
"Mau ke mana? Bukankah keberangkatan mu sudah beres?" tanya Bu Ida menyelidik.
"Ada beberapa urusan penting yang harus aku selesaikan sebelum berangkat," jawab Haris lalu pergi meninggalkan rumah tersebut.
Haris datang ke rumah Ainaya. Nampak wanita itu bersusah payah mengangkat jemuran dari halaman belakang. Jika dilihat dari tubuhnya yang terlalu kecil dan perutnya yang besar membuat Haris iba, namun lagi-lagi ia menepis perasaannya.
Ainaya tak bertanya, ia melewati bubuh tegap Haris yang mematung di samping pintu.
''Besok aku mau ke Bali.''
Hati Ainaya terasa nyeri hingga tak menjawab ucapan sang suami. Ia memilih menyibukkan diri melipat bajunya daripada meladeni Haris yang sering mengabaikannya.
''Kamu jaga anakku baik-baik. Aku belum tahu kapan pulang. Seandainya nanti kamu akan melahirkan, panggil paman dan bibi mu," ucap Haris panjang lebar.
Ainaya membius bibirnya. Menganggap ucapan Haris hanya tiupan angin yang berhembus. Sebab, ia akan terus merasakan sakit mendengar ungkapan sang suami yang seolah hanya sebuah iming-iming saja.
''Apa kamu mau nitip sesuatu?'' tanya Haris mendekati Ainaya.
''Tidak,'' jawab Ainaya singkat tanpa menatap. Hatinya sudah terlalu beku untuk ramah pada pria itu.
"Baiklah kalau begitu aku pergi."
Setelah Haris menghilang bersamaan pintu yang tertutup rapat, Ainaya menumpahkan air matanya. Sekeras apapun ia mencoba untuk kuat tetap saja hatinya terlalu rapuh menerima kenyataan pahit itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
neng ade
aku heran sm Ibu Ida sampai sejauh ini bisa dibohongi .. biasa nya saat mengelus perut Jihan pasti nya mengatakan pergerakan sang bayi dan menanyakan nya .. ini cuma di elis begitu aja .. tapi aku yakin sedikit lagi akan terbongkar semua sandiwara nya Haris dan Jihan .. saat itulah kehancuran akan menimpa kedua nya ..
2023-02-06
0
Yanti Jelita
kamu tlfn mama nya aris aja
biar mereka tau jihan berbohong
2022-11-27
0
Riri Aries
nanggung thor
2022-11-27
0